Siswa Miskin Tak Perlu Mimpi RSBI
Oleh: Nadlifah Hafidz
*Di* negara ini, siswa tak boleh atau ''diharamkan'' miskin. Kalau
miskin, nyaris mustahil mereka bisa memenuhi keinginan atau cita-cita
besarnya. Jika pun ada di antara siswa miskin mampu memenuhi ambisinya
atau berhasil menuai prestasi gemilang, itu terbilang kelangkaan atau
bagian dari cerita ''mencari jarum'' di tengah lautan.
Memang, ada saja cerita soal anak miskin berprestasi atau masuk sekolah
atau perguruan tinggi ternama. Tapi, mereka bisa sampai ke sana tidaklah
dengan gratis. Mereka bisa berprestasi cemerlang didukung oleh semangat
atau kegigihan untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa dirinya mampu
mengisi ranah sejarah sebagai ''orang''.
Tantangan yang dihadapi siswa miskin, selain kompleks, juga berat. Hal
itu lebih berelasi pada akar kemiskinan yang mengimpitnya. Kalau saja
mereka tidak masuk golongan ''anak-anak akar rumput'', tentulah apa yang
seharusnya menjadi problem tidak jadi hambatan yang membelenggu atau
menistanya.
Kalau orang kaya punya logika borjuistis dan kapitalistis dalam
menyekolahkan anak-anaknya, orang miskin menyekolahkan anak-anaknya
berdasar sisi pragmatisme. Komunitas elite ekonomi memperlakukan sekolah
ibarat ''pasar'' yang wajib hukumnya direbut dengan pertaruhan segala
kemampuan ekonomi serta harga diri.
Sementara itu, orang miskin bermaksud menyekolahkan anaknya supaya kelak
anaknya itu bisa menjadi elemen strategis bangsa yang sukses menjadi
pembebas, bukan sebagai generasi parasit yang membenani masyarakat,
keluarga, serta negara.
Sayangnya, kondisi disparitas di negeri ini, tampaknya, masih tetap
berlangsung dan bahkan semakin tajam. Komunitas elite (kaya) bisa
memilih sekolah sesuka hati. Bahkan mampu menjadikan sekolah itu sebagai
objek ''olimpiade keserakahan'' atau ambisi-ambisinya. Komunitas kaya
tersebut berlomba, bersaing, serta berambisi merebut label sekolah
terbaik, unggulan, dan berstandar internasional, layaknya pelari yang
memburu gelar dalam suatu olimpiade.
Mereka bermaksud mengisi ranah sebagai ''/upper class/'' atau kelas
pemenang lewat sekolah-sekolah yang ''terjual'' di masyarakat. Semakin
banyak sekolah bertarif mahal yang dijual atau ''diolimpiadekan''
kalangan pebisnis dan produsen pendidikan. Layaknya kacang goreng,
sekolah-sekolah model itu diburu komunitas yang haus pengabsahan status
sosial tersebut.
Produsen sekolah, yang bisa membaca peta mentalitas komunitas elite,
terus bereksperimen dengan mengumpankan model-model sekolah yang bisa
menarik minat konsumen elite tersebut. Produsen itu bahkan mengemas
sekolahnya dengan menghadirkan /output/ pendidikan bermerek luar negeri,
kendati /output/ itu sebenarnya tidak mengambil profesi di bidang
edukatif (sebagai guru).
***
Ketika proyek rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) mengisi
ranah publik, kelompok elite di masyarakat langsung memburu. Tidak ada
RSBI yang kehabisan kuota pendaftaran. Mereka itu tidak memperhitungkan
berapa pun biaya yang dikeluarkan untuk mengisi donasi RSBI, asalkan
anaknya bisa masuk. Uang jutaan rupiah sudah pasti menjadi bagian dari
syarat yang menentukan masuk RSBI.
Kondisi tersebut tentu saja membuat disparitas di jagat pendidikan
sangat mencolok. Di satu sisi, komunitas elite bisa menjadikan RSBI
sebagai objek ''olimpiade'' ambisinya. Di sisi lain, kelompok masyarakat
miskin nyaris mustahil bisa merebut kursi di RSBI.
Penyelenggara RSBI bisa saja berdalih bahwa RSBI bukan hanya untuk
komunitas elite atau siswa kaya, tapi juga untuk siswa miskin yang
mempunyai prestasi akademik bagus dengan beasiswa. Namun, belum
ditemukan, setidaknya belum terpublikasikan, bahwa RSBI yang memberi
jasa siswa miskin benar-benar menggratiskan semua lini pembiayaan.
Menyikapi realitas itu, komunitas miskin tidaklah selayaknya memaksakan
memburu RSBI. Pertama, daripada mengeluarkan biaya yang tergolong sangat
besar (untuk ukurang orang miskin), lebih baik uang yang dimiliki
digunakan untuk mendukung atau menopang kepentingan lainnya. Era
multikrisis yang selalu dihadapi orang miskin membutuhkan persiapan uang
untuk berjaga-jaga.
Realitas tersebut diperparah turunnya anggaran untuk bantuan siswa
miskin. Meski porsi anggaran pendidikan sudah 20 persen dari APBN, itu
tidak otomatis mendongkrak bantuan untuk siswa miskin jenjang SMA.
Sebaliknya, tahun ini (2009), anggaran bagi siswa miskin justru anjlok.
Subsidi pemerintah melalui bantuan khusus murid (BKM) turun menjadi Rp
194 miliar. Padahal, tahun-tahun sebelumnya, pemerintah mengalokasikan
dana rata-rata Rp 242 miliar.
Kedua,/ /memaksakan anak masuk ke RSBI, bagi orang miskin, ibarat
menciptakan ''dunia baru'' yang tentu saja berbeda dari dunia anak-anak
dari kalangan miskin. Mereka bisa bertemu berbagai bentuk gaya,
penampilan, atau pola hidup yang berkemasan menonjolkan ''selebritas''.
Itu bisa menjadi siksaan atau /pressure/ psikologis tersendiri.
Ketiga,/ /RSBI masih merupakan produk sekolah bersifat ''eksperimen''
yang tentu saja tidak selayaknya orang miskin ''taklid'' terhadap apa
yang dilakukan komunitas elite. Namanya juga produk eksperimen,
kelayakan kualitas /output-/nya, khususnya proses pembelajarannya, mau
ke mana dan dikemanakan lulusannya, masihlah menjadi pertanyaan besar.
/*). Nadlifah Hafidz/ * /,/ * / pekerja di sebuah lembaga penerbitan dan
peneliti masalah anak-anak serta perempuan/
http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=75275
Siswa Miskin Tak Perlu Mimpi RSBI
Written By gusdurian on Selasa, 16 Juni 2009 | 11.37
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar