BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Runtuhnya Waktu (Penguasa)

Runtuhnya Waktu (Penguasa)

Written By gusdurian on Senin, 15 Juni 2009 | 15.25

Runtuhnya Waktu (Penguasa)

Tahun yang terus bergerak maju, 1999, 2000, 2001, 2002,2003...mungkin
membuat kita sukar membayangkan bagaimana waktu memiliki sifat yang lain
dari itu.

Tahun yang bergerak maju membuat kehidupan seakan sebuah
perjalanan,menuju ke sebuah titik dengan meninggalkan titik sebelumnya.
Entah sejak kapan, perjalanan maju itu tak bisa dilepaskan dari sifat
sebagai komoditas politik penguasa.Mungkin sedari awal keduanya tak bisa
saling dipisahkan, sebagaimana pada pengalaman kita: imajinasi akan
waktu yang dibangun pada periode kolonial persis dengan yang
dikonstruksikan kepada kita hari ini,waktu bergerak maju bersama
penguasa dan meninggalkan mereka di luar penguasa yang diam, tak sanggup
berubah,primitif.

Dan saya coba runut (silahkan Anda juga),beberapa upaya memutakhirkan
diri itu antara lain: melepaskan diri dari Indonesia lampau yang
otoriter,memisahkan diri dari Indonesia lampau yang tak mengalami
subsidi beras, melampaui Indonesia lampau yang gagal mengendalikan harga
komoditas.

Tidak Sadar

Aneka usaha itu berupaya membuktikan diri yang murni dari masa
lampau.Waktu yang berjalan maju merupakan penanda paling efektif untuk
memagari antara titik yang ditinggalkan, titik lepas landas, dan titik
yang dituju. Selanjutnya penguasa tinggal melakukan pengeramatan
terhadap titik-titik yang mereka anggap milik mereka dan
mendesakralisasi sisanya.

Apa yang kemudian terjadi adalah waktu politik menjadi sama absurdnya
dengan sebuah tren, digerakkan oleh hasrat semata. Bagaimana seseorang
tak pernah menyadari apa yang dikenakannya, apa filsafat dari busananya
itu,kecuali betapa yang dikenakannya itu meninggalkan mode lalu yang
sudah kuno. Walhasil, tak pernah disadari bagaimana masa lalu mendikte
hari ini dan mengendalikan masa depan. Bagaimana kerinduan bawah sadar
terhadap sosok orde besar di masa lalu terus-menerus hadir dalam
komunikasi politik partai-partai yang selalu memproyeksikan diri sebagai
sosok pengayom yang merangkul “semua”.

Bagaimana apa yang dikatakan sebagai lompatan besar demokrasi
meninggalkan masa lalu yang otoriter tak pernah menumbuhkan oposisi yang
setia memperjuangkan suatu isu atau kelompok yang tertindas, hanya
memecah penguasa ke fragmen-fragmen yang lebih kecil.Bagaimana pula
perlakuan buruk yang diterima di masa lalu bukan hanya diampuni, tapi
sekaligus dilupakan beserta segenap perbedaan ideologi demi mendirikan
suatu koalisi absolut yang tak tertandingi.

Deja vu orde totaliter yang dikatakan telah dilewati. Terhadap
ambiguitas yang dipegang setia ini, pertanyaanpertanyaan pun meluncur:
bila waktu bergerak maju, sejauh apa sebenarnya kita telah bergerak
maju? Ataukah kita sedang berjalan maju dengan mata yang tertutup, tak
bisa membedakan antara titik yang dituju dengan titik yang ditinggalkan?

Substansi Politik

Dan waktu yang terus-menerus dimanfaatkan orde kekuasaan itu pun
kehilangan kemampuannya melukiskan realitas.Ia tak mampu menanggung
realitas getir milik mereka yang dimarginalisasi,yang menjadi korban
gerak politik yang tak pernah menengok ke belakang. Kerap, bagi mereka
waktu adalah semacam perputaran, siklus, rotasi,bukan perjalanan ke depan.

Masa lalu, penggusuran, pelanggaran, penenggelaman, bukan sesuatu yang
ditinggalkan, tetapi terus berada—terbayang-bayang— di hadapan mereka
dan bisa tibatiba menyergap mereka kembali. Dalam abstraksi yang lebih
teoretis, pandangan semacam itu dinyatakan Pramoedya Ananta Toer,
pengarang yang selamanya dimusuhi oleh orde-orde kekuasaan. “Dengan
rendah hati aku mengakui: aku adalah bayi semua bangsa dari segala
zaman, yang telah lewat dan yang sekarang.

Tempat dan waktu kelahiran,orangtua, memang hanya satu kebetulan, sama
sekali bukan sesuatu yang keramat,” tutur Pram tidak menerima sejarah
dipagar-pagari dengan pengeramatan. Sebab implikasi paling segera dari
pemotongan sejarah adalah manusia tak bisa mengenali dirinya, pasalnya
dia tak dapat mengidentifikasi hal-hal yang membentuk dirinya. Karena
itu jangan heran bila akhirnya di dunia politik kita relasi (kekuasaan)
menentukan substansi (pendirian).

Melalui jeritan-jeritan getir manusia yang tergilas, kita terus menerus
diperingatkan bahwa waktu politik yang bergerak maju adalah sebuah
kontradiksi: seseorang, atau suatu bangsa, tak bisa sesungguhnya
berjalan ke depan dengan meninggalkan masa lalunya. Juga kita
diperingatkan bahwa konsep waktu yang lain selalu dimungkinkan: waktu di
mana masa lalu selalu siap menyergap di hadapan, seperti siklus, dan
politik menjadi prosedur untuk selalu menghadirkan mereka yang
terlampaui kembali ke hadapan kita. Bukankah di sana substansi politik
sejatinya ditemukan?

Selaku prosedur menggali Indonesia sebagai kehidupan bersama yang tak
menisbikan manusianya sendiri? Meski begitu substansi politik ini tentu
tak dipahami penguasa. Sebab,yang kita ketahui,justru politik yang
menjadi tujuan akhir mereka,yang dituju dengan berjalan sambil
tertidur,menutup mata, menutup telinga, menutup jalan lain di luar dari
jalan mereka. Namun rakyat,di mana substansi politik dijumpai, tak akan
pernah bisa dihentikan di bawah sepatu sempit mereka.(*)

Geger Riyanto
Pegiat Bale Sastra Kecapi, Alumnus Sosiologi Universitas Indonesia


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/244854/
Share this article :

0 komentar: