Prita Korban Pertama UU ITE
Prita Mulyasari, 32, adalah korban konflik antara warga negara kelompok
“air mata” dan kelompok “mata air”. Prita adalah representasi kelompok
“air mata”, yakni rakyat yang mengeluhkan pelayanan aparat
pemerintah,perlakuan kamtib dan penegakan hukum, kinerja wakil rakyat
dan badan usaha baik milik negara maupun milik swasta, termasuk
pelayanan rumah sakit.
Tegasnya, yang saya maksud dengan kelompok “mata air” adalah mereka yang
berkuasa baik dari segi politis, birokratis maupun finansial, sedangkan
kelompok “air mata” adalah mereka yang lemah baik dari segi politis,
birokratis maupun finansial. Prita, eks pasien RS Omni Tangerang,
melalui e-mail mengungkap fakta dan kebenaran yang dia alami ketika
dirawat di rumah sakit itu.
RS Omni mengadukan Prita ke jalur hukum, baik dalam perkara perdata
maupun perkara pidana, karena keluhan dan kritik Prita dinilai menghina
dan mencemarkan nama baik RS Omni. Memedomani Pasal 27 ayat (3) dan
Pasal 45 ayat (1) UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE), Kajari Tangerang menuntut Prita dipidana penjara
enam tahun dan didenda 1 miliar rupiah.
Sejalan dengan tuntutan itu, Prita langsung ditahan di penjara wanita
Tangerang sejak 13 Mei 2009. Konflik “air mata” dan “mata air” sudah
berlangsung sejak negeri ini dijajah oleh pemerintahan kolonial
Belanda.Ketika itu rakyat terjajah tidak mempunyai hak untuk mengeluh
dan mengkritisi kesewenang-wenangan aparat penjajah.
Keluhan dan kritik rakyat terjajah terhadap aparat kolonial Belanda dan
badan usaha milik Belanda dinilai sebagai penghinaan dan pencemaran nama
baik dan tindakan seperti itu adalah kejahatan. Ribuan orang pers dan
orang-orang pergerakan dipenjarakan sesuai dengan ketentuan KUHP.
Kelompok ”mata air” adalah kelompok penguasa, aparat kolonial Belanda
dan badan usaha milik orang-orang Belanda.Keluhan dan kritik yang
mengemukakan fakta dan kebenaran tentang kesewenang- wenangan aparat
kolonial dan badan usahanya adalah kejahatan. Sejumlah ketentuan KUHP
didesain untuk melindungi kelompok ”mata air” dari keluhan dan kritik
kelompok ”air mata”.
Derita Prita ditahan di penjara wanita Tangerang sejak 13 Mei 2009
menjadi pengetahuan publik setelah tiga anggota Dewan Pers bersama
sekitar 50-an wartawan media cetak, radio, televisi, dan internet pada 3
Juni 2009 pukul 11.00 WIB diberi izin oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan
Wanita Tangerang,Arti Widiastuti, untuk bertemu dan mem-blow up
penderitaan ibu dari dua anak kecil itu.
Dampaknya luar biasa.Keberhasilan jurnalis televisi menayangkan langsung
apa kata capres Megawati,Wapres Jusuf Kalla,dan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono–– yang memberi isyarat Prita tidak sepatutnya ditahan––agaknya
menjadi pertimbangan bagi hakim. Hanya beberapa jam setelah Dewan Pers
berhasil menggelar Prita Meet the Press,ibu muda itu dikeluarkan dari
penjara menjadi berstatus tahanan dalam kota.
Panggung Absurditas
Sejak Prita bebas dari penjara, media massa telah menjadi panggung
perbenturan pendapat, kenapa Prita yang mengeluhkan fakta dan kebenaran
harus dipenjarakan? Dari aneka ragam pendapat, tidak semua memberi
pencerahan, sebagaimana terekam berikut ini. Pertama, pendapat tidak
akurat.
Ketua DPR Agung Laksono (4/6/09) mempertanyakan kenapa Prita bisa sampai
masuk penjara, padahal UU ITE itu baru berlaku tahun 2010? Anggota
Komisi Hukum DPR Gayus Lumbuun mengatakan, “Pihak kejaksaan yang
mengusut kasus hukum Prita terindikasi melakukan kelalaian,UU itu
semestinya baru bisa digunakan pada 2010.
”Lebih lanjut mantan anggota Pansus DPR Pembahas UU ITE M Yamin
mengatakan bahwa UU itu belum bisa digunakan karena peraturan pemerintah
(PP) belum ada. Tiga anggota Dewan pembuat UU tersebut sangat mungkin
sudah lupa bahwa Pasal 54 ayat (1) menyebut,“ Undang-Undang ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.” Sementara Pasal 27 ayat (3) dan Pasal
45 ayat (1) yang mengirim Prita ke penjara adalah pasal-pasal yang tidak
memerlukan PP dan sudah berlaku sejak 21 April 2008.
Menjawab pertanyaan pers, mestinya anggota DPR pembuat UU itu tidak cuci
tangan dan mempersalahkan yang lain. Kemudian anggota Staf Khusus
Kepresidenan Bidang Hukum Denny Indrayana menyatakan langkah yang paling
tepat adalah mengajukan uji materi melalui Mahkamah Konstitusi (MK).
Langkah yang ditawarkan staf hukum kepresidenan itu sudah pasti tidak
bisa lagi ditempuh. Karena wartawan Iwan Piliang dan koalisi LBH Pers,
AJI, dan PBHI telah mengajukan uji materi UU ITE itu ke MK. Putusan MK
(5/5/09) norma Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE adalah
konstitusional dan tidak bertentangan dengan HAM dan prinsip-prinsip
negara hukum.
Pasal 27 ayat (3) menyebut, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Sementara Pasal 45 ayat (1) mengatakan,“Setiap orang yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp.1. 000.000.000,00- (satu miliar rupiah).” Kedua, pola pikir
paradoks.
Direktorat Reserse Kriminal Umum Polri kepada wartawan menegaskan bahwa
polisi hanya menjerat terdakwa Prita dengan Pasal 310 dan Pasal 311
KUHP.Kejaksaan yang memberikan petunjuk agar penyidik melengkapi dakwaan
dengan UU ITE.
Meskipun Kejaksaan Agung menyatakan ketidakprofesionalan jaksa penuntut
umum dalam menangani kasus Prita, Kejaksaan Tinggi Banten tetap
bersikukuh bahwa penggunaan Pasal 27 dan Pasal 45 UU ITE sudah sesuai
dengan materi dan substansi perkara.
Dalam rapat dengar pendapat dengan jajaran direksi RS Omni Internasional
(8/6/09), Komisi XI DPR mendesak agar RS Omni mencabut gugatan hukum
terhadap Prita yang sedang diadili di Pengadilan Negeri Tangerang. Jika
tidak dilakukan pencabutan,DPR akan mendesak pemerintah mencabut izin
operasi RS Omni.
Ketika bertemu dengan kuasa hukum RS Omni Risma Situmorang di Metro TV
(3/6/09), saya bertanya kenapa RS Omni begitu tega memenjarakan Prita?
Risma menegaskan, “Prita telah menghina dan mencemarkan nama baik klien
saya. Berlandaskan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) tindakan
kejaksaan sah dan sesuai dengan putusan MK bahwa pemberlakuan
pasal-pasal itu adalah konstitusional.”
Dari benturan pendapat sebagaimana dikemukakan di atas, timbul
pertanyaan izin operasi RS Omni-kah yang harus dicabut? Atau DPR justru
yang harus bersikap ksatria untuk mencabut dua pasal UU ITE tersebut?
Patut disayangkan sembilan anggota MK hanya menonton dan diam. Apa
reaksi mereka menyikapi perlawanan publik terhadap penggunaan dua pasal
UU ITE itu, rakyat ingin tahu.
Menurut Ketua SETARA Institute Hendardi, Prita korban UU ITE. UU kejam
ini menjadi “mainan” Depkominfo. UU ITE digunakan untuk mengkriminalkan
hak atas kebebasan berpendapat melalui transaksi elektronik seperti
milis, internet,dan telepon seluler. UU ITE itulah ”biang kerok” yang
digunakan RS Omni untuk mengirim Prita ke penjara.
Namun, celakanya, Depkominfo yang punya “mainan” itu justru cuci tangan
di atas penderitaan Prita. Jika UU itu terus berlaku, Prita-Prita lain
akan menyusul (Suara Karya,10/6/09). Segera setelah UU ITE itu
diundangkan,Dewan Pers bertemu Menteri Kominfo Muhammad Nuh dan Plt Staf
Ahli Menteri Bidang Hukum Depkominfo Edmond Makarim, salah satu otak di
belakang UU ITE itu.
Dewan Pers menyampaikan resistansinya. Pertama, mengapa Dewan Pers dan
organisasi pers tidak diundang untuk berpartisipasi dalam pembahasan?
Kedua,Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE itu lebih represif
dari produk hukum buatan penjajahan Belanda. Di Pasal 310 KUHP ancaman
penjara bagi pelaku penghinaan dan pencemaran nama baik hanya sampai
satu tahun dua bulan, di UU ITE sampai enam tahun.
Berdasar Pasal 310 pilihan hukuman penjara atau denda, berdasar UU ITE
bisa dipenjara dan didenda 1 miliar rupiah.Di Pasal 310, terdakwa baru
dipenjarakan setelah hakim memutus kesalahannya, sedangkan di UU ITE
tertuduh dapat langsung dimasukkan ke penjara. Menurut hemat saya, UU
ITE itu sengaja didesain untuk melindungi kepentingan kelompok “mata
air”dari keluhan,kritik,dan kontrol kelompok “air mata”.
Menjawab pertanyaan wartawan beberapa surat kabar tentang Prita yang
dipenjarakan karena curhatnya di e-mail yang dinilai menghina dan
mencemarkan nama baik RS Omni,Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial
Abdul Kadir Mappong mengatakan,“Para hakim diminta berhati-hati
menerapkan pasal-pasal pencemaran nama baik. Alasannya, keadaan sekarang
sudah berbeda dari saat pasal tersebut dibuat, yakni pada zaman Belanda.
Tidak tertutup kemungkinan kita akan hapus pasal-pasal itu, tentu nanti
dari Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi).” Sikap MA itu sepertinya
berseberangan dengan sikap MK. Mengacu putusan MK bahwa dua pasal UU ITE
itu adalah konstitusional, menurut hemat saya kecenderungan MK ialah
lebih melindungi HAM atas kelompok ”mata air”. Adapun MA sedang menuju
sikap lebih melindungi HAM bagi warga negara kelompok ”air mata”.
Kesimpulan
Setelah Prita Meet The Press, wartawan telah berhasil bukan saja
memanggungkan kasus hukum Prita menjadi pengetahuan publik, tapi juga
menampilkan reaksi dan pendapat para elite bangsa yang tidak cerdas,asal
omong,cuci tangan, dan tidak bernalar. Berkat pers, publik dapat
menonton pameran absurditas elite bangsa kita.
Tentang bagaimana mengatasi kasus Prita, terproyeksi langkahlangkah
jalan keluar mulai dari pendekatan simptomatis sampai bagaimana
mengatasi akar persoalan. Jika izin operasi RS Omni dicabut misalnya,
adakah jaminan kasus hukum yang dialami Prita tidak menimpa Prita-Prita
lain? Untuk mampu menemukan akar persoalan, tampaknya terlebih dahulu
perlu disepakati apa kehendak yang ingin dituju?
Apakah hak berekspresi, hak mengeluh, hak mengkritik rakyat yang
dizalimi, yang teralienasi masih harus dilindungi? Apakah hak warga
negara kelompok “air mata” masih perlu dilindungi? Bila jawabannya
ya,tiada pilihan lain kecuali menghilangkan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal
45 ayat (1) UU ITE.Penguasa yang berhak melakukannya adalah Menkominfo
dan semua Fraksi DPR seperti PDIP, Partai Golkar, Partai Demokrat, PKS.
Mereka yang membuat, mereka yang harus mengakhiri. Namun jika
kepentingan kelompok ”mata air” (pejabat bermasalah, politisi
bermasalah, penguasa bermasalah) yang harus dilindungi, solusinya adalah
tetap mempertahankan pasal-pasal UU ITE itu sejalan dengan legalisasi MK.
Untuk menghibur rakyat,obat pain killer-nya adalah mengganti Kajati
Banten dan menyuarakan pencabutan izin operasi RS Omni. Jika pasal-pasal
UU ITE itu tetap dipertahankan, dipenjarakannya Prita adalah peringatan
awal bagi kelompok ”air mata” agar jangan mengganggu kenyamanan kelompok
”mata air”.(*)
Leo Batubara
Anggota Dewan Pers
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/247408/
Prita Korban Pertama UU ITE
Written By gusdurian on Selasa, 16 Juni 2009 | 11.46
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar