Membangun Manusia Paripurna
*Herry Tjahjono *
Indonesia dikenal kaya karena berlimpahnya sumber daya alam dan sumber
daya manusia. Ironisnya, negara dan rakyatnya tetap miskin.
Penyebabnya, ada perlakuan eksploitatif terhadap sumber daya alam dan
sumber daya manusia (SDM). Seperti apa?
*SDM sebagai ”liability”*
Selama ini SDM diperlakukan sebagai liability (kewajiban, tanggungan,
pertanggungjawaban). Maka, Wikipedia mengartikan ”liabilitas” sebagai
segala hal yang menempatkan seseorang pada situasi tak menguntungkan.
Di berbagai perusahaan di Indonesia, praktik eksploitasi dengan
memperlakukan karyawan sebagai liabilitas masih terjadi. Karyawan
menjadi komponen produksi. Ungkapan yang dipakai adalah ”mendayagunakan”
karyawan (konotasi negatif), yakni bagaimana karyawan diarahkan mencapai
target perusahaan. Dari sana nasib karyawan ditentukan tanpa
mempertimbangkan faktor esensial, seperti pemberdayaan dan hak karyawan,
karena hanya akan muncul sebagai faktor biaya.
Tragikomedi nasib TKW/TKI kita di sejumlah negara juga akibat prinsip
manajemen pemerintah yang memperlakukan SDM (TKW/TKI) sebagai
liabilitas. Meski mungkin bersifat tak langsung, mereka ”didayagunakan”
untuk bekerja di luar negeri tanpa mempertimbangkan faktor pemberdayaan,
perlindungan, dan lainnya (faktor yang dianggap biaya). Toh, itu bisa
mengurangi pengangguran sekaligus menambah devisa negara.
Dalam dimensi pendidikan, ujian nasional, misalnya, sama saja.
Standardisasi lebih sebagai upaya memenuhi kepentingan pragmatis
pemerintah (Departemen Pendidikan Nasional) tanpa memedulikan esensi
pendidikan manusia, seperti proses aktualisasi diri siswa, keunikan
individu, perbedaan irama belajar, dan akses pendidikan. Semua dimatikan
atas nama standardisasi. Pada titik ini, eksploitasi peserta didik
berlangsung diam-diam. Pada tahap liabilitas ini, kita ”membangun
manusia produksi”.
*SDM sebagai aset*
Faktor kedua, SDM sebagai aset. Tahap ini jauh lebih baik dibandingkan
dengan tahap liabilitas. Namun, unsur eksploitasi— meski lebih
halus—masih terkandung di sana. Pengertian sederhana aset adalah segala
sesuatu yang punya nilai dan siap dikonversikan menjadi uang. Dan SDM
adalah intangible asset.
Maka, proses eksploitasi diam- diam terjadi saat SDM dipertimbangkan
dari sudut nilai ekonomis. Frase manajemen yang berlaku di sini adalah
”memberdayakan” manusia (SDM). Namun, semuanya hanya diarahkan pada
pemenuhan target organisasi (kepentingan organisasi). Maka, ketika
seorang karyawan dianggap incapable, dia akan diberdayakan melalui
berbagai pelatihan di perusahaan. Ketika anak didik dianggap kurang
mampu memenuhi standar, ia segera diikutkan dalam berbagai ”bimbingan
belajar” atau kursus.
Semua hanya untuk memenuhi target jangka pendek, terbatas kepentingan
pragmatis-situasional. Karena itu, kata ”pendidikan” amat asing di
sebuah perusahaan dan lebih akrab dengan pelatihan. Seandainya ada
departemen pendidikan dan pelatihan (diklat), tetapi dalam praktik,
unsur pelatihan lebih menonjol. Pihak sekolah dan orangtua lebih
mempraktikkan prinsip persekolahan dibandingkan pendidikan dalam arti utuh.
Nilai ekonomis tetap menjadi pedoman. Karyawan diberdayakan agar mampu
memenuhi target yang mengandung nilai ekonomis. Anak didik diberdayakan
agar memenuhi standar, didasari pada pertimbangan nilai ekonomis yang
bisa dihitung dari kemampuan memenuhi standar. Pada tahap ini, kita
”membangun manusia profesional”.
*Membangun manusia*
Prinsip berbagai perusahaan atau organisasi bahwa SDM merupakan aset
terpenting akhirnya ”gagal” karena praktik eksploitasi meski tidak
seliar tahap liabilitas. Karena itu lahir tahap ketiga yang mencoba
meninggalkan prinsip eksploitasi dan mengacu pada Adrian Levy (RLG
International), yang didasari pada praktik dan observasi pada berbagai
great companies: People are not the most important assets of a company -
they are the company. Everything else is an asset.
Pada tahap ini, prinsip manajemen yang dipakai adalah ”membangun manusia
paripurna”, tak sekadar manusia produksi atau manusia profesional. Ia
tidak hanya diarahkan untuk memenuhi target, tetapi diberi hak,
kesempatan memenuhi tujuan hidup termulia sebagai manusia. Pada tahap
ini, perusahaan sudah akrab dengan prinsip pendidikan. Jika anak didik,
ia tidak sekadar diarahkan untuk memenuhi standar kelulusan, tetapi juga
tujuan mendasar dan mulia sebagai (calon) manusia dewasa. Demikian juga
TKW/TKI diberi kesempatan dan didampingi agar menjadi ”TKW/TKI
paripurna”, TKW/TKI bermartabat.
Ringkasnya, SDM adalah perusahaan itu sendiri. Maka, sebagai aset,
sumber daya lain wajib didayagunakan untuk membangun manusia paripurna
yang sadar, punya hak, mau, dan mampu—bukan hanya memenuhi tujuan hidup
pribadi termulia, tetapi juga tujuan dan nasib lingkungan, orang lain,
perusahaan, sekolah, bangsa, bahkan dunia.
Hanya dengan membangun manusia paripurna SDM Indonesia bisa dijadikan
benar-benar kaya. Sayang visi dan program ”membangun manusia paripurna”
tidak muncul dalam kampanye capres-cawapres. Sungguh ironis nasib SDM
Indonesia.
Herry Tjahjono /HR & President The XO Way, Jakarta
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/25/03170378/membangun.manusia.paripurna
Membangun Manusia Paripurna
Written By gusdurian on Senin, 29 Juni 2009 | 11.35
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar