Seharusnya Laut Memerdekakan
*Gesit Ariyanto *
Seusai menggelar Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Bali,
Desember 2007, Indonesia menggelar Konferensi Kelautan Dunia di Manado,
Sulawesi Utara, 16 Mei 2009.
Pertanyaannya, benarkah Indonesia sukses menggelar Konferensi Kelautan
Dunia (WOC) yang dihadiri lebih dari 70 negara? Sebagai tuan rumah,
sukses itu disertai beberapa catatan.
Secara substansi, Indonesia menambah kredit poin dalam pergaulan dunia.
Sukses mengumpulkan sejumlah petinggi negara membahas laut terkait
perubahan iklim; pertemuan pertama setelah Konvensi Hukum Laut (UNCLOS)
tahun 1982.
Kebanggaan bertambah dengan disepakatinya Deklarasi Manado (MOD) dan
deklarasi Prakarsa Segitiga Terumbu Karang (CTI) oleh enam pemimpin
pemerintahan. Kurang sebulan, Indonesia sudah membentuk tim khusus untuk
menyosialisasikan ke dunia internasional bahwa dimensi kelautan patut
diadopsi dalam Pertemuan Para Pihak Ke-15 UNFCCC di Kopenhagen, Denmark,
Desember 2009.
Di tengah euforia sukses sebagai tuan rumah, sejumlah pertanyaan kritis
datang; di manakah sebenarnya posisi nelayan dan masyarakat pesisir
dalam ajang internasional? Jawaban datang dari panitia nasional, WOC-CTI
merupakan ajang pertemuan politis para petinggi negeri.
Jika perwakilan nelayan tidak dilibatkan, bukan berarti dilupakan. Hanya
soal waktu saja.
*Isu konservasi*
Salah satu isu terpanas selama pertemuan sepekan adalah soal konservasi
laut. Di sela-sela pertemuan, pemerintah meluncurkan kawasan konservasi
perairan Laut Sawu seluas tiga juta hektar. Ditambah kawasan konservasi
laut yang sudah ada, jumlahnya melampaui target Departemen Kelautan dan
Perikanan (DKP) seluas 10 juta ha tahun 2010.
Secara angka, melampaui target merupakan prestasi. Yang digugat
masyarakat pesisir dan LSM pendamping adalah proses penentuan kawasan,
konsep pengelolaan, dan rencana aksi di lapangan. Selama ini, bagi
masyarakat pesisir dan nelayan, konservasi terkait berbagai larangan
yang meminggirkan mereka. Secara turun temurun hidup dari sepetak
kawasan tangkap, masyarakat pesisir bisa serta-merta kehilangan hak
waris itu. Mengatasnamakan hukum, mereka diminta menyingkir dari
kesehariannya.
Pengajar Universitas Sam Ratulangi, Manado, yang juga aktivis pendamping
nelayan, Rignolda Djamaludin, menyebut model konservasi top down itu
sebagai biang persoalan. Kearifan lokal masyarakat pesisir tak berarti
apa pun saat konsep konservasi datang dari luar.
Keanehan yang sering muncul, kawasan konservasi (yang identik pelarangan
aktivitas) ada di bekas kawasan tangkap nelayan tradisional. Artinya,
mereka dipaksa pergi dan mencari lokasi lain. Ketika nelayan-nelayan
tradisional kembali menangkap di kawasan lama itu, serta-merta mereka
dicap pelanggar kawasan. ”Pada saat itulah mereka dikriminalkan,” kata
Rignolda.
Sebaliknya, proses pengambilalihan hak masyarakat pesisir oleh
pemerintah atau rekanan resmi pemerintah tidak dianggap melanggar hak
asasi manusia. Bila ditelaah, cara-cara penetapan kawasan dan
pengelolaan kawasan konservasi semacam itu justru melanggengkan
kemiskinan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir.
Di tengah kondisi itu, masyarakat Lamalera di Pulau Lembata, NTT,
memilih menolak rencana pemerintah memasukkan kawasan lautnya ke dalam
kawasan konservasi. Bila mereka setuju, luas kawasan konservasi Laut
Sawu menjadi lebih luas lagi.
Juru Bicara Forum Masyarakat Peduli Tradisi Penangkapan Ikan Paus
Lamalera Bona Beding mengatakan, masyarakat tahu risiko yang akan
dihadapi. Maka, mereka mengirim surat resmi penolakan kepada pemerintah.
*Suara dari bawah*
Seperti harapan wajar masyarakat pesisir, pesan penolakan warga Lamalera
jelas; dengarkan suara dari bawah. Mereka tak menolak konsep konservasi,
tetapi meminta negara mendengarkan dan mencerna konsep konservasi
tradisional mereka.
Apa yang terjadi di sela-sela WOC semoga tidak mewakili sikap negara,
yakni menolak suara masyarakat pesisir. Seperti diberitakan, polisi
membubarkan aksi massa Aliansi Manado dan menangkap dua tokohnya.
Sebanyak 15 peserta kongres dari Filipina juga digiring ke Kantor
Imigrasi dan diusir dari Manado. Di persidangan, kedua tokoh aktivis
Aliansi Manado dituding melawan perintah petugas yang bekerja di bawah
undang-undang.
Perlu dicerna pernyataan anggota Panel Ahli Antarpemerintah tentang
Perubahan Iklim dan Penasihat Khusus Presiden Seychelles Rolph Payet,
pembahasan kelautan tanpa menyinggung keseharian nelayan adalah sia-sia.
Nelayan tak hidup bagi diri sendiri. Kepada mereka, gizi keluarga, yang
berguna bagi kecerdasan manusia, disandarkan.
Sayang, justru mereka tergolong paling rentan dalam persoalan laut
sekaligus luput dari perhatian soal kesejahteraan.
Tak hanya di negara kepulauan kecil seperti Seychelles, nasib nelayan
dalam kerentanan. Di Indonesia, enam kali pergantian presiden, nasib
nelayan tak bergerak; sebatas jadi obyek perhatian musim kampanye.
Laut yang luar biasa kaya, tak cukup memerdekakan nelayan dan masyarakat
pesisir dari ketergantungan dan kemiskinan. Sebaliknya, laut menjadi
semacam kutukan hidup. Sah-sah saja Indonesia bangga karena sukses
menjadi tuan rumah ajang kelautan besar dunia. Namun, itu saja tidak
cukup. Ada masyarakat pesisir, yang entah harus bersuara seperti apalagi
agar benar-benar diperhatikan.
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/24/03091184/seharusnya.laut.memerdekakan..
Seharusnya Laut Memerdekakan
Written By gusdurian on Rabu, 24 Juni 2009 | 09.39
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar