BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Keterbukaan Informasi dan Ironi Demokrasi

Keterbukaan Informasi dan Ironi Demokrasi

Written By gusdurian on Rabu, 24 Juni 2009 | 11.22

Keterbukaan Informasi dan Ironi Demokrasi
Oleh: Ibnu Hamad

*TULISAN* singkat ini hendak menyoroti pentingnya keterbukaan informasi
terkait dengan calon pejabat. Sebab, penciptaan pemerintahan terbuka dan
transparan (/open and transparence government/) sebagai target
ditetapkannya UU Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) mustahil berhasil
jika para calon pejabat tidak terbuka dan tidak bersih.

Hemat penulis, keterbukaan informasi tentang para kandidat justru jauh
lebih penting dengan tiga alasan terkait. Pertama, cita-cita pembentukan
pemerintahan yang bersih itu dapat kita lakukan sejak awal pemilihan
para pejabat, baik di lingkungan eksekutif (presiden, gubernur, bupati,
wali kota) maupun lingkungan legislatif (DPR, DPD, DPRD I, dan DPRD II).

Kedua, dengan mengetahui kandidat yang bersih atau kotor sejak awal,
lebih mudah bagi kita untuk memproyeksikan bentuk pemerintahan yang akan
dicapai melalui pemilu, pilpres, maupun pilkada. Kalau yang terpilih
rata-rata politisi bermoral, bolehlah kita berharap pemerintahan yang
terwujud adalah pemerintahan yang baik dan bersih (/good and clean
government/). Sebaliknya, jika yang terpilih umumnya politisi busuk,
yang terjadi niscaya adalah pemerintahan yang jelek dan kotor (/bad and
dirty government/).

Ketiga, pengetahuan yang cukup mengenai kandidat seharusnya mendorong
pemilih untuk ikut bertanggung atas pilihannya. Jika ada pilihan
kandidat yang bersih dan bermoral di antara sejumlah kandidat lainnya,
tapi yang menang justru kandidat yang kotor dan bermasalah, selaku
pemilih, semestinya kita bertanya, mengapa hal itu bisa terjadi?

Tapi, inilah faktanya. Akibat ketidakterbukaan informasi yang terkait
dengan para kandidat, sejumlah caleg tetap terpilih menjadi anggota
DPR/DPRD. Beberapa cagub, cabup, cawalkot yang diindikasikan tidak
bersih dan melanggar moral terpilih, bahkan ada yang memperoleh suara
lebih dari 60 persen.

Menjelang Pemilu 2009, caleg bermasalah bertebaran di daerah. Untuk DPR
pusat, 21 Oktober 2008, anggota KPU Endang mengungkapkan kepada publik
mengenai adanya 253 caleg bermasalah. Sesuai masukan masyarakat, di
antaranya ada yang diduga terlibat kasus hukum (13 calon), menggunakan
ijazah palsu (13 calon), dan diduga melakukan korupsi (45 calon). /Toh/
demikian, beberapa di antara yang bermasalah itu tetap terpilih.

*Ironi Demokrasi *

Banyak yang bilang, itulah ironi demokrasi di negara kita. Yang banyak
uang -meski banyak masalah- sanggup menyingkirkan yang benar. Yang lebih
ironis, dari pemilu/pilkada ke pemilu/pilkada berikutnya, kejadiannya
selalu berulang. Coba kita tengok ke Pemilu 2004.

Dari hasil Pemilu 5 April 2004, /Ratusan Wakil Rakyat Terpilih
Bermasalah/ (/Tempo Interaktif/, 5/8/2004). Panwaslu mengungkapkan, di
luar Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi
Selatan, dan Irian Jaya Barat yang laporannya belum masuk saat itu, ada
257 legislator terpilih bermasalah.

Ketua Panwaslu Didik Supriyanto menjelaskan, masalah-masalah itu terkait
dengan persyaratan pendidikan; ketentuan harus mengundurkan diri dari
pegawai negeri, TNI, atau Polri; terlibat kasus pidana; serta
persyaratan kesehatan.

Sekarang, kita lihat hasil Pemilu 9 April 2009. Selain menemukan caleg
bermasalah yang kembali terpilih, kita juga mendapati ''masalah yang
tidak disebut masalah''. Itulah dia caleg dinasti, yakni para caleg yang
berasal dari satu keluarga. Fenomena ini sesungguhnya sama buruknya
dengan caleg bermasalah karena berpotensi melakukan pembusukan demokrasi.

Sebagaimana dicatat Adkhilni M. Sidqi (/Harian Radar Banten/, 20 Mei
2009), politik dinasti, antara lain, terjadi di Tanah Banten. Beberapa
nama terpilih sebagai anggota legislatif (anleg), baik tingkat daerah
hingga pusat, masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan para pejabat
di Banten. Dan keluarga Gubernur Rt Atut Chosiyah paling banyak terpilih
sebagai anleg.

Yakni, Hikmat Tomet (suami, DPR, Golkar); Andika Hazrumy (putra, DPD);
Ade Rossi Khaerunisa (menantu, DPRD Kota Serang, Golkar); Ratna
Komalasari (ibu tiri, DPRD Kota Serang, Golkar); Heryani (ibu tiri, DPRD
Pandeglang, Golkar); Rt Tatu Chasanah (adik, DPRD Provinsi Banten,
Golkar); serta Aden Abdul Cholik (adik ipar, DPRD Provinsi Banten, Golkar).

Selain dari keluarga gubernur, anleg terpilih memiliki hubungan
kekeluargaan dengan para kepala daerah di Banten. Di antaranya, Tb Iman
Aryadi (putra wali kota Cilegon, DPR, Golkar); Ahmed Zeki (putra bupati
Tangerang, DPR, Golkar); Iti Octavia Jayabaya (putri bupati Lebak, DPR,
Partai Demokrat); Diana Jayabaya (anak bupati Lebak, DPRD Prov Banten,
PDIP); Mulyanah (adik bupati Lebak, DPRD Lebak, PDIP); Agus R. Wisas
(adik ipar bupati Lebak, DPRD Banten, PDIP); dan Irna Narulita (istri
bupati Pandeglang, DPR, PPP).

Tentu saja kita patut bertanya, mengapa para caleg dinasti bisa menang?
Apakah karena teknik kampanye dan strategi pemasaran politiknya sangat
canggih? Atau karena kepiawaiannya bermain politik? Seandainya kita
selaku pemilih memiliki informasi yang cukup mengenai para caleg atau
pejabat publik itu, tentulah kita tidak akan memilih dengan sekenanya.
Itulah salah satu pentingnya keterbukaan informasi.

Apalagi, menjelang pelaksanaan pemilihan presiden, keterbukaan informasi
tentang rekam jejak calon presiden menjadi sangat penting. Publik harus
tahu siapa dan bagaimana calon pemimpin yang harus mereka pilih. Jika
tidak, pemilu di Indonesia hanya akan menghasilkan ironi demokrasi.

/*). / * /Ibnu Hamad/ * /, dosen Ilmu Komunikasi FISIP UI, Depok/

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=76863
Share this article :

0 komentar: