BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Nanti Saya Contreng Semua

Nanti Saya Contreng Semua

Written By gusdurian on Senin, 22 Juni 2009 | 14.49

Butet Kartaredjasa:
Nanti Saya Contreng Semua

BUKAN Butet namanya kalau tak senggol-sini-sentil-sana. Biar ditambahi
Kartaredjasa, tetap saja presiden ecek-ecek dan ”raja monolog” tanpa
mahkota—tapi pecandu jamu mahkota dewa—itu sekali waktu bisa bikin
setori. Misalnya ketika ”ngamen” dalam Deklarasi Pemilu Damai yang
digelar Komisi Pemilihan Umum, Rabu malam dua pekan lalu.

Dalam acara yang dihadiri tiga pasang calon presiden/wakil presiden
itu—Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, Megawati Soekarnoputri-Prabowo
Subianto, dan Jusuf Kalla-Wiranto—Butet menyindir lembaga survei pemilu
yang dianggapnya tidak independen. ”Mau menang satu putaran bisa, mau
yang paling populer juga bisa,” katanya.

Butet juga ”memuji” kehebatan pesawat-pesawat TNI. ”Enggak dipakai
perang, jatuh sendiri,” katanya, disambut gelak ramai hadirin. Adapun
mengenai Komisi Pemilihan, ”KPU memang konsisten,” kata Butet, ”yaitu
konsisten untuk tidak capable.”

Tak dinyana, ada bagian seloroh Butet yang membuat kubu SBY-Boediono
tidak nyaman. Apalagi putra sulung mendiang Bagong Kussudiardjo itu
tampil atas permintaan tim kampanye Mega-Prabowo.

Namun Butet kalem-kalem saja. Dia yakin, SBY tak tersinggung oleh isi
monolognya. ”Mereka yang teriak-teriak itu kan yang ada di belakang?”
katanya Rabu pekan lalu, ketika berada di Pantai Sanur, Bali. Kepada
Rofiqi Hasan dari Tempo, ia menjawab berbagai pertanyaan seraya sesekali
berkelakar.

*Ini bukan pertama kalinya Anda ”bermasalah” dengan SBY?*

Konon begitu. Ceritanya..., dalam perayaan Natal 2005, saya bersama
Nano Riantiarno dan Djaduk Ferianto diminta Konferensi Wali Gereja
Indonesia mentas dengan cerita Habitus Baru atau impian mengenai
masa depan. Nah, saya kan mesti cerita apa yang terjadi di masa
lalu? Maka kami tampilkan juga kisah seorang penguasa yang terlalu
lama memerintah. Di situ saya sesekali menirukan suara Presiden
Soeharto.

*Bukankah isinya tidak menyinggung Presiden SBY?*

Waktu itu SBY datang, dan rasanya memang tidak ada apa-apa. Kami
percaya diri, karena naskah yang dibuat Nano kan juga disortir oleh
Konferensi Wali Gereja? Waktu latihan dan geladi resik, ada juga
menteri yang datang, dan tidak ada masalah. Jadi, kalau kemudian ada
orang-orang di sekitar SBY yang ribut, kami cuek saja. Tapi ternyata
masalahnya benar-benar serius. Sebab, dua tahun kemudian, ketika
Konferensi Wali Gereja mengajukan nama saya untuk tampil lagi,
ternyata ditolak oleh Istana.

*Apa yang terjadi pada ulang tahun koran Jurnal Nasional, dua tahun lalu?*

Saya diundang tampil membaca puisi, bersama SBY dan Sutardji Calzoum
Bachri. Dalam jumpa pers, Andi Mallarangeng juga jelas mengatakan,
malam itu akan ditampilkan bersama tiga presiden: Presiden Republik
Mimpi, Presiden Penyair, dan Presiden Republik Indonesia. Nah,
ternyata saya dipaksa pembawa acara naik ke panggung sebelum SBY
datang. Saya keki juga, kok beda dengan rencana awal. Tapi akhirnya
saya ngerti. Begitu saya selesai membaca puisi Tanah Air Mata karya
Sutardji, hadirin langsung diminta berdiri karena SBY memasuki
ruangan. Wah, jan lucu tenan....

*Setelah semua kejadian itu, bagaimana SBY di mata Butet Kartaredjasa?*

Saya berprasangka baik, SBY itu seorang demokrat. Tapi mungkin
orang-orang di sekitarnya ingin memagari. Sebab, setiap kali Andi
Mallarangeng menjadi tamu di Republik Mimpi, pasti dia bilang ada
titipan salam dari Pak SBY. Setelah acara Natal itu, saya juga
beberapa kali bertemu SBY, dan beliau biasa-biasa saja mengajak saya
ngobrol.

*Kabarnya, Anda malah sempat memberikan buku untuk SBY?*

Ya. Waktu itu beliau sedang di Yogya, dan karena saya baru saja
meluncurkan buku baru, saya hubungi Andi untuk minta waktu.
Akhirnya, saya diterima di Gedung Agung ketika sarapan pagi. Jadi,
kesan saya: beliau seorang demokrat sejati karena tak marah ketika
dikritik. Kalau zaman Pak Harto, kan tidak mungkin seperti itu?

*Ada maksud khusus memberikan buku Presiden Guyonan itu?*

Saya harap beliau sempat membaca buku itu, dan bisa tertawa. Ada
beberapa bagian yang mengkritik kebijakan beliau, seperti soal Padi
Supertoy dan Blue Energy. Sampai saya bilang, daripada sok serius
dan terus salah, kenapa tidak jadi presiden guyonan saja yang
sesekali benar? Ha-ha-ha….

*Ketika acara di KPU itu, apa sudah menduga akan ada masalah?*

Yang ada dalam benak saya hanyalah, mereka orang matang, jadi bisa
diajak bercanda. Saya sempat melihat dari panggung, SBY kelihatan
berubah gesture tubuhnya, tapi saya ragu apakah dia marah. Mereka
yang teriak-teriak itu kan yang ada di belakang? Kalau ternyata
benar-benar marah, berarti saya salah.

*Anda kok mau diminta tampil mewakili tim Mega-Prabowo?*

Ceritanya, sebelum itu saya sebetulnya sudah tampil memparodikan
sosok Boediono yang tayang di JakTV dan sebuah TV lokal. Saya
bersedia karena mestinya acara itu berlangsung terus, dan saya
diminta memparodikan masing-masing capres dan cawapres. Nah, sebelum
memparodikan Boediono, saya sempat di-briefing tentang materinya
oleh Rizal Mallarangeng, anggota tim kampanye SBY-Boediono. Dia
minta supaya saya bisa membantu (SBY-Boediono), dan saya jawab,
”Gampanglah....” Ternyata, seminggu kemudian malah tim Mega-Prabowo
yang menghubungi saya. Dan karena secara politik saya netral, ya
saya iyakan saja.

*Ada syarat-syaratnya? *

Syaratnya, tidak ada propaganda harus memilih ini atau itu. Saya
juga meminta tidak ada sensor naskah untuk pertunjukan lima belas
menit itu. Mereka ternyata setuju. Ketika saya bacakan naskahnya,
hanya ada satu koreksi, yang meminta kata ”pertama-tama” diubah
menjadi ”yang nomor satu”.

*Apakah ini bisa diartikan mendukung Mega-Prabowo?*

Ini bukan keberpihakan. Hal itu juga saya katakan di panggung. Saya
di situ ibarat tukang jahit, terima pesanan saja. Kalau Jusuf Kalla
ingin saya tampil untuk dia, ya saya iyakan juga. Memang bisa dicap
oportunis, tapi saya kan memang bukan politikus? Saya ini aktor.

*Bayarannya lebih tinggi dari biasanya?*

Dibayar lebih tinggi, cukup untuk beli kuda kerakyatan, ha-ha-ha....
Persisnya berapa, itu aurat, tidak boleh diperlihatkan.

*Setelah kejadian itu, apakah sempat kontak dengan SBY atau tim suksesnya?*

Enggak. Ya, ketemu di acara itu saja. Malah yang kemudian mengontak
saya tim Mega-Prabowo. Saya diminta menjadi bintang iklan mereka.
Mereka menanyakan tarifnya. Saya bilang, kalau yang itu, ceritanya
lain. Saya tolak.

*Ada kesulitan memparodikan pasangan calon presiden itu?*

Kesulitannya, saya bukan mengimitasi, tapi mengartikulasikan harapan
khalayak kepada mereka langsung di depan mereka. Kalau di Republik
Mimpi, lebih gampang karena Effendi Gazali yang mengatur, saya
tinggal main.

*Dari ketiga pasangan calon itu, Anda sebenarnya condong ke mana?*

Semua bagus, tapi sekaligus bermasalah. SBY itu bagus, tapi Partai
Demokrat mendukung Undang-Undang Pornografi. Kalau pasangan lainnya,
saya khawatir rekam jejak calon yang berasal dari militer. Kita
sama-sama tahulah.... Jadi, posisi saya berprasangka baik pada
semuanya. Nanti bisa saya contreng semua, kecuali kalau ada malaikat
yang membisikkan harus contreng yang mana. Ini namanya golput plus.

*Tidak memilih yang paling peduli pada kebudayaan dan seni?*

Faktanya, selama lima tahun ini tidak ada perubahan yang mendasar
pada bidang kebudayaan. Kebudayaan hanya jadi kelangenan untuk
dijual sebagai bagian dari pariwisata. Bukan sebagai upaya nation
and character building, seperti kata Bung Karno. Saya belum melihat
ketiga pasangan itu paham dan punya komitmen.

*Apa pentingnya masalah kebudayaan itu sekarang?*

Di tengah pergaulan dunia, kebudayaan sangat penting karena
memberikan ciri dan karakter suatu bangsa. Apa beda Jakarta dengan
Singapura, kan hanya seperti mata rantai industri kapitalis? Hanya
jadi outlet saja. Lihat saja Yogyakarta, kok sampai ada tujuh mal,
padahal kota kebudayaan. Beda kalau kita ke India dan Cina, rasanya
ada atmosfer lain. Kalau melihat anak muda Indonesia sekarang, hanya
genetiknya yang tampak sebagai orang Indonesia, bukan budayanya.

*Sepertinya Anda yang lebih layak jadi presiden?*

Jangan begitulah.... Ini omongan serius. Kan karena Anda bertanya?
Jadi saya mesti menjawab, ha-ha-ha....

*Bagaimana kalau banyak yang serius mendukung?*

Jadi presiden itu susah, full penderitaan. Ke mana-mana dikawal, isi
dompet harus diperlihatkan dengan laporan harta kekayaan. Padahal,
soal itu bagi saya merupakan aurat. Lebih ueeenak jadi manusia
merdeka, bebas ketawa-ketawa seperti sekarang. Cukup di dunia teater
saya jadi presiden. Penampilan dimirip-miripkan dengan SBY, padahal
wajah tentu beda.

*Apa sudah ada yang pernah menggugat Anda?*

Belum. Saya sudah mempelajari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kayaknya belum ada yang berbahaya. Semoga tidak ada peninjauan
kembali pada undang-undang itu.

*Sebetulnya posisi Anda di mana?*

Saya suka pada komentar Veven Sp. Wardhana. Dia bilang, saya ini
seperti pemain sandiwara dalam cerita Hamlet yang disewa Hamlet
untuk membuat pertunjukan. Isinya mengkritik dan menelanjangi
kekuasaan.

*Jadi, akan terus berada di luar lingkaran politik?*

Pokoknya emoh, lebih baik berteman saja dengan mereka. Kebetulan
saya dekat dengan banyak di antara mereka, dan kalau ketemu ya tetap
bercanda dan saling maki. Lagi pula saya tahu, kok, tim-tim sukses
itu kalau di luar juga teman-teman sendiri, saling bercanda dan
main-main. Jadi, boleh dibilang, pemilihan presiden sekarang ini
juga semacam sandiwara besar.

*Tapi sebagian besar rakyat menganggapnya sangat serius?*

Sebaiknya rileks sajalah. Serius boleh, tapi tidak usah terlalu
kenceng, sampai bertengkar. Jangan terlalu muluk-muluk berharap.
Jangan menyangka semua serius dan mampu melakukan perubahan besar.

*Atau ada calon lain yang lebih pantas versi Butet?*

Siapa, ya? Apa Sumanto? Slogannya, ”Bersatu Padu Memilih yang
Keliru”, ha-ha-ha....

*Anda sepertinya selalu penuh tawa. Memang hidup Anda seperti itu?*

Kesalahan pertama saya, seperti yang saya tulis di Facebook, adalah
saya selalu percaya filsafat ”Urip mung mampir ngguyu” (hidup itu
hanya mampir tertawa). Ternyata saya sering salah, karena ada banyak
orang yang selalu serius. Padahal, bagi saya serius itu pun hanya
guyonan belaka....

*Butet Kartaredjasa* *Lahir:* Yogyakarta, 21 November 1961 *Pendidikan:*
Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia (tidak tamat,
1982) *Karier:* Teater Dinasti (1982-1985) | Teater Gandrik
(1985-sekarang) | Komunitas Pak Kanjeng (1993-1994) | Komunitas Seni Kua
Etnika (1995-sekarang)

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/06/22/WAW/mbm.20090622.WAW130638.id.html
Share this article :

0 komentar: