BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Berakhirnya Hubungan Istimewa Amerika Serikat-Israel?

Berakhirnya Hubungan Istimewa Amerika Serikat-Israel?

Written By gusdurian on Senin, 15 Juni 2009 | 15.24

Berakhirnya Hubungan Istimewa Amerika Serikat-Israel?

*Shlomo Ben-Ami*

# mantan Menteri Luar Negeri Israel

Kunjungan yang baru-baru ini dilakukan Perdana Menteri Israel Benjamin
Netanyahu ke Washington menunjukkan ketidaksepakatan mendasar antara
pemerintah Israel sekarang ini dan pemerintahan Presiden Barack Obama.
Netanyahu berkukuh mempertanyakan obsesi Obama akan solusi dua negara
guna mengakhiri konflik Israel-Palestina. Netanyahu tidak bisa menerima
kaitan antara perdamaian Israel-Palestina dan kemampuannya untuk
mengekang ambisi nuklir Iran--yang diyakini Obama.

Begitu juga Netanyahu terutama tidak senang dengan keengganan Obama
untuk menetapkan tenggat yang tegas dalam pembicaraan yang diupayakannya
dengan Iran. Israel yakin bahwa Iran sedang berusaha keras untuk
bergabung dengan klub negara-negara nuklir, dan dengan cerdik
memanfaatkan prospek pembicaraan dengan AS itu untuk mencegah sanksi
yang lebih berat atau serangan militer.

Krisis dan ketidaksepakatan yang mendalam bukan hal yang baru dalam
hubungan di antara kedua negara yang tidak seimbang ini. Namun, betapa
mendasarnya perbedaan yang ada sekarang. Yang paling merisaukan Israel
adalah kecurigaan bahwa Obama sudah siap menggeser hubungan
Amerika-Israel yang unik itu.

Pertautan kepentingan dan emosi yang mendalam terhadap Israel dan Yahudi
sejak Holocaust menjadi kekuatan penggerak di balik apa yang mungkin
merupakan salah satu aliansi yang paling menggugah dalam hubungan
internasional. Sebenarnya tidak ada yang bisa memberikan penjelasan yang
pasti mengenai komitmen Amerika yang begitu gigih terhadap Israel serta
gema yang unik dan begitu kuat dalam membela kepentingan Israel di
Amerika Serikat.

Semua presiden Amerika sejak Harry Truman, pemimpin dunia pertama yang
mengakui Israel pada 1948 (bertentangan dengan nasihat Menteri Luar
Negeri Jenderal George C. Marshall saat itu), telah menunjukkan dalam
berbagai derajat aspek emosional atau aspek /real-politics/ hubungan
ini. Kecurigaan di Israel sekarang adalah bahwa Barack Obama tidak
terikat baik pada aspek emosional maupun aspek /real-politics/ itu.

Obama merupakan fenomena revolusioner dalam sejarah Amerika. Ia pasti
tidak pas dengan pola tradisional presiden Amerika sejak Perang Dunia
II. Ia tidak terbentuk oleh ajaran-ajaran agama dan Injili seperti para
pendahulunya, dan naratif sejarah Yahudi serta munculnya Israel dari
debu Holocaust tidak menjadi sentimen primordial dalam sikap yang
diambilnya terhadap konflik Arab-Israel. Naratif tragedi Palestina pasti
tidak kurang kuatnya dalam menjelaskan pandangannya mengenai Timur Tengah.

Tapi bahkan ketika pemerintah AS tidak menunjukkan keterikatan emosional
dengan Israel, ia tetap mendukung Israel, asalkan keterikatan itu
didukung oleh pertimbangan /real-politics/. Itulah yang dilakukan
Richard Nixon, seorang presiden yang tidak pernah menderita cinta Yahudi
yang berlebihan namun tetap merupakan salah seorang sekutu Israel paling
gigih yang pernah berdiam di Gedung Putih.

Tanpa keterikatan emosional dengan Israel dan risau oleh kebijakan yang
dijalankannya di wilayah-wilayah yang didudukinya, Obama merupakan
penampakan di sebuah Gedung Putih di mana tidak terdapat persamaan cinta
maupun kepentingan dengan Israel.

Kebijakan Timur Tengah Obama--mendamaikan Amerika dengan Arab dan dunia
muslim--bentrok dengan strategi Netanyahu. Karena kebijakan Obama yang
sedang tumbuh ini berasumsi bahwa jalan terbaik menangani tantangan
terorisme Islamis dan mencegah terperosoknya kawasan ini ke dalam
proliferasi nuklir yang tidak terkendalikan adalah dengan memaksa Israel
menghentikan pembangunan permukiman yang baru, menarik diri dari
wilayah-wilayah yang didudukinya guna membuka jalan terbentuknya negara
Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, serta berdamai
dengan Suriah dengan mengembalikan Dataran Tinggi Golan.

Tapi semua ini tidak berarti kita tengah menyaksikan berakhirnya
"hubungan istimewa" AS-Israel. Bahkan seorang presiden yang revolusioner
pun tidak akan melepaskan diri dari komitmen inti Amerika terhadap
Israel, yang tengah berjuang mencapai posisi yang layak dan yang dapat
dibela secara moral. Sejauh ini Obama sudah berhati-hati tidak akan
beranjak dari posisi tradisional Amerika mengenai keamanan Israel. Ia
telah menerima logika status nuklir yang khusus dimiliki Israel dan
posisinya sebagai penerima utama bantuan militer Amerika. Lagi pula
/watchdog/ yang membela kepentingan Israel, yaitu Kongres AS, bakal
tetap waspada.

Netanyahu sadar bahwa tugas berat mempertahankan hubungan Israel dengan
AS merupakan keharusan strategis yang vital sama pentingnya dengan
keharusan memenuhi kebutuhan dalam negeri. Di ujung jalan pasti akan ada
keterpautan yang lebih erat ketika ia nanti memutuskan menarik garis
merah Israel yang sebenarnya, bukan garis ideologis. Semua ini karena
Netanyahu didorong oleh tekad yang sangat mendalam untuk mencegah Iran
memperoleh jalan untuk menghancurkan Israel, bahwa ia mungkin bersedia
menerima perubahan mendasar dalam posisinya mengenai Palestina, asalkan
Obama mencapai kemajuan yang nyata dalam upayanya menghentikan program
nuklir Iran. Dalam pandangan Netanyahu, diselesaikannya masalah
Palestina tidak akan menghapus ancaman dari Iran; sebaliknya, justru
dinetralisasinya ancaman terhadap eksistensi Israel itu yang bakal
membuka jalan terbentuknya negara Palestina.

Netanyahu juga sadar bahwa kegagalan di pihak Arab telah meningkatkan
radikalisasi Zionisme. Seperti dikatakan John Kerry, Ketua Komisi Luar
Negeri Senat AS, "proses perdamaian ini bukan jalan satu arah", di mana
semua kesalahan ditimpakan kepada Israel. Masih harus dilihat apakah
dunia Arab yang mengalami disfungsi yang sangat berat dan
organisasi-organisasi non-negara yang ada di tengah-tengah mereka,
seperti Hamas dan Hizbullah, bakal memberi respons seperti yang
diharapkan Obama.

Lebih penting lagi, kepemimpinan Palestina harus mengubah kembali bentuk
dan menyatukan kembali aparat-aparat pemerintahannya guna menghadapi
tantangan mengelola suatu negara. Sejauh ini tugas mendamaikan Hamas dan
Fatah tampaknya tidak kurang pentingnya dari tugas mencapai perdamaian
dengan Israel.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/08/Opini/krn.20090608.167499.id.html
Share this article :

0 komentar: