BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Preseden Tahun Kelima

Preseden Tahun Kelima

Written By gusdurian on Jumat, 12 Juni 2009 | 14.07

Preseden Tahun Kelima

*Bambang Soesatyo,* Ketua Komite Tetap Perdagangan Dalam Negeri
Kadin/Koordinator Wilayah Jawa Tengah Partai Golkar

Efektivitas pemerintahan dan kabinet sekarang tampak terus melemah
kendati sisa periode kerjanya relatif masih panjang, lima bulan lagi.
Gejala ini merupakan pengulangan atas kejadian serupa yang menimpa
pemerintahan sebelumnya, lima tahun yang lalu. Dalam konteks
efektivitas, dua pemerintahan kita di era reformasi ini terbilang
“memble” karena tak becus menjelang akhir masa bakti. Apakah preseden
pecah di tahun kelima akan selalu berulang?

Penampakan efektivitas pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) belakangan ini mungkin hanya terlihat pada rapat presiden dengan
para menteri di kantor presiden serta beberapa kegiatan seremoni. Hanya
itu. Apakah para menteri masih bisa dan mampu berkoordinasi di antara
sesama mereka, sudah patut diragukan. Sebab, menjelang pemilihan
presiden 2009, para menteri pun punya kesibukan sendiri-sendiri.

Keraguan publik akan efektivitas pemerintahan saat ini diperkuat oleh
intensitas perang kata-kata atau saling sindir antara SBY dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla (JK). Intensitasnya terus meningkat dan cenderung
makin tajam. Ketika SBY menyinggung pemimpin yang juga mengurusi bisnis
keluarga, publik menafsirkannya sebagai sindiran terhadap JK. Di Palu,
JK membalas dengan mengatakan pemimpin peragu tak akan membawa kemajuan
bagi bangsa. Sebelumnya, keduanya juga bertolak belakang menyikapi
masalah Ambalat. JK menegaskan, RI siap berperang dengan siapa saja,
sementara SBY mengatakan perang sebagai opsi terakhir dan menomorsatukan
cara lebih beradab, diplomasi.

Keretakan duet kepemimpinan SBY-JK tampak telanjang di mata wartawan
yang sehari-hari dekat dengan keduanya. Mereka paham betul bahwa minat
para menteri untuk menghadap atau melapor ke JK sudah amat minim. Para
menteri gamang. Takut disangka yang bukan-bukan oleh para pembantu SBY
jika mereka menghadap ke JK. Para menteri punya kesan kuat bahwa para
pembantu SBY tidak senang terhadap JK.

Disharmoni SBY-JK sudah final. Kecenderungan ini tak bisa ditutup-tutupi
lagi, baik oleh SBY maupun JK. Publik hanya bisa meraba, tak bisa
merasakannya, karena pemrosesan banyak hal yang berkaitan dengan
kepentingan publik ditangani para menteri, direktur jenderal, atau para
pemimpin proyek. Merekalah yang merasakan langsung akibat rendahnya
koordinasi pemerintahan saat ini.

Amat disayangkan tentunya, mengingat kemerosotan efektivitas
pemerintahan justru terjadi di tengah upaya kita menangkal dampak
krisis. Apalagi, sisa masa bakti pemerintahan SBY terbilang masih
panjang. Dalam rentang waktu dari sekarang hingga pertengahan Oktober
2009, masih banyak yang bisa dikerjakan bersama, didukung para menteri
dan dirjen, para gubernur dan bupati.

Para praktisi di dunia usaha menangkap kesan bahwa kadar kepedulian
pemerintah terhadap program-program pemulihan ekonomi sudah jauh
menurun. Stimulus fiskal 2009 sudah dipastikan tidak akan mencapai
target besarnya. Sebab, beberapa departemen yang mendapatkan jatah
proyek stimulus gagal merealisasi proyek tepat waktu. Memasuki
pertengahan 2009 ini, belum banyak proyek stimulus yang direalisasi.

Publik tak pernah tahu bagaimana sikap Presiden SBY terhadap lambannya
realisasi proyek-proyek stimulus ini. Padahal, dalam konteks kinerja,
realisasi stimulus fiskal 2009 bisa menjadi taruhan bagi SBY.
Setidaknya, jika segala sesuatunya berjalan mulus, semua proyek
infrastruktur dalam paket stimulus itu akan membuka jutaan lapangan
kerja di banyak daerah. Namun, sikap Presiden yang terkesan biasa-biasa
saja menandakan bahwa stimulus ekonomi tidak dilihat sebagai sesuatu
yang urgen. Kegagalan para menteri memaksimalkan manfaat stimulus
ekonomi membuktikan bahwa /sense of crisis/ jajaran pemerintah terbilang
rendah.

Pemerintah pun terkesan minimalis menyikapi status mati suri sektor riil
dalam negeri. Sikap seperti itu bisa dilihat dari tak adanya langkah
atau program yang sistematis untuk menurunkan suku bunga pinjaman,
faktor yang sudah lama ditunggu-tunggu praktisi bisnis di sektor riil.
Terhitung sejak awal 2009 hingga kini, Bank Indonesia sudah menurunkan
BI Rate sebesar 250 /basis point/. Namun, skala penurunan suku bunga
acuan sebesar itu belum mampu mendorong perbankan menurunkan suku bunga
pinjaman. Dewasa ini, bunga pinjaman masih di kisaran 14 persen. Kita
belum tahu bagaimana cara mengoreksi bunga pinjaman bank.

Koordinasi otoritas moneter dan otoritas fiskal pun menjadi tidak
efektif lagi, karena BI tak punya gubernur. Sebab, Boediono, yang
sebelumnya menjabat Gubernur BI, malah diajak berkompetisi sebagai calon
wakil presiden pada pemilu presiden 2009. Padahal, dalam situasi seperti
sekarang, kepala pemerintahan perlu berkompromi dengan Gubernur BI guna
mencari cara paling efektif mengoreksi suku bunga.

Katakanlah, demi perbaikan kinerja pemerintahannya, Presiden bisa
mendesak Gubernur BI mengkoordinasikan penurunan suku bunga perbankan.
Sebaliknya, kepada Presiden, Gubernur BI bisa mengatakan bahwa penurunan
suku bunga pinjaman bisa diwujudkan jika otoritas fiskal atau pemerintah
berhenti atau mengurangi langkahnya menerbitkan surat utang negara
(SUN), karena penerbitan SUN baru pasti menyedot likuiditas di pasar
uang. Otoritas moneter dan fiskal pun bisa bekerja sama mewujudkan
/pooling fund/ untuk menurunkan suku bunga.

Hari-hari ini, wujud pendekatan atau model koordinasi seperti itu makin
sulit diharapkan karena sosok-sosok yang memegang kendali koordinasi
lebih disibukkan oleh kegiatan mempersiapkan keikutsertaan mereka dalam
pilpres 2009. Sekarang, segala sesuatunya berjalan apa adanya. Sulit
mengharapkan adanya terobosan baru yang progresif menangkal dampak
krisis. Banyak orang bingung dan gamang ketika SBY berkali-kali
mengatakan keadaan sekarang makin baik. Kalau konsumsi rumah tangga 2009
turun menjadi 4,1 persen dari 5,7 persen per 2008, itu pertanda hidup
keseharian masyarakat kita tidak bertambah baik. Bulog tahun ini
mengalokasikan beras untuk keluarga miskin (raskin) bagi 17,1 juta rumah
tangga miskin. Data ini menjelaskan kemiskinan masih merupakan masalah
krusial.

Kita butuh pertumbuhan yang berkualitas untuk bisa menjawab semua
persoalan yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat. Untuk mendapatkan
pertumbuhan yang berkualitas, pemerintah harus terfokus dan terus
bekerja keras. Sekali lagi, rentang waktu hingga Oktober 2009 bukan
waktu yang sedikit. Masih banyak yang bisa dilakukan untuk memperbaiki
kinerja pemerintah. Presiden harus mengefektifkan kembali
pemerintahannya. Ini memang tahun terakhir masa pemerintahannya, tapi
jangan sia-siakan waktu yang masih panjang itu.

Apakah rontoknya efektivitas pemerintahan di tahun kelima, atau tahun
terakhir masa bakti, akan menjadi preseden? Setidaknya, dua pemerintahan
terakhir sudah menunjukkan preseden itu, yakni bermasalah di ujung masa
bakti. Para menteri indisipliner. Mereka meninggalkan pos tugasnya tanpa
ada yang bisa mengendalikan, sementara gaji dan tunjangan dari negara
jalan terus. Kalau bicara rugi, tentu saja negara dan rakyat yang
dirugikan. Kontrak politik mereka lima tahun penuh. Namun, dalam
prakteknya, mereka “memaksakan diskon” waktu yang kelewat besar,
menyia-nyiakan waktu berbulan-bulan.

Akankah preseden buruk ini kita biarkan? Mestinya tidak jika para
pemimpin kita negarawan tulen dari sononya, bukan derajat kenegarawanan
yang dibentuk oleh kerja pencitraan lewat iklan atau intrik-intrik
politik. Negarawan sejati memprioritaskan masalah negara dan rakyat di
atas segala-galanya, bukan berfokus mengatur strategi “mengalahkan”
lawan politik untuk meraih kursi kepemimpinan periode lima tahun kedua.

Kita imbau para legislator menggarisbawahi preseden rontoknya
efektivitas pemerintahan di tahun kelima ini. Harus ada semangat untuk
mengakhiri kecenderungan yang tidak produktif ini. Mungkin, diperlukan
revisi terhadap undang-undang kepresidenan dan UU tentang kabinet. Hasil
revisi harus mengikat dan menjadi jaminan bahwa sebuah pemerintahan
tetap utuh dan efektif hingga akhir masa bakti, tahun kelima. *

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/12/Opini/krn.20090612.167913.id.html
Share this article :

0 komentar: