Ambalat: Sadumuk Bathuk, Sanyari Bumi
*Alexandra Retno Wulan,* peneliti Departemen Hubungan Internasional
Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta
Indonesia lagi-lagi mendapat tantangan besar dalam isu keamanan
nasionalnya. Setelah jatuhnya pesawat Hercules yang menunjukkan betapa
sangat rapuhnya alat utama sistem persenjataan (alutsista) Indonesia,
selama beberapa hari terakhir perairan Indonesia di wilayah Ambalat
lagi-lagi dimasuki kapal cepat milik pemerintah Malaysia dengan
frekuensi lebih sering.
Blok Ambalat, atau Blok ND bagi Malaysia, adalah wilayah seluas 15.235
kilometer persegi yang penuh dengan minyak dan gas bumi. Wilayah ini
merupakan bagian dari perairan Indonesia di kawasan Laut Sulawesi
menurut Konvensi Laut Internasional 1982. Selama 2008, /Koran Tempo/
mencatat bahwa pelanggaran wilayah perairan Indonesia oleh kapal-kapal
milik Tentara Laut Diraja Malaysia terjadi 28 kali. Selama 2009, intrusi
kapal Malaysia sudah dicatat sebanyak 13 kali dan tidak hanya oleh kapal
tentara tapi juga kapal-kapal kepolisian Malaysia. Dengan kata lain,
pemerintah Malaysia justru sudah menganggap wilayah Blok Ambalat atau
Blok ND sebagai wilayah di bawah otoritas kementerian dalam negerinya.
Menurut teori ilmu hubungan internasional, kedaulatan negara masih
merupakan isu utama dan penting dalam hubungan bilateral, regional,
maupun internasional. Karena itu, batas teritorial negara menjadi salah
satu prinsip yang harus diperjuangkan dan dipertahankan. Hampir semua
perang yang terjadi dalam sejarah adalah perang memperebutkan wilayah
teritorial negara. Selain itu, ilmu hubungan internasional juga
mengajukan bahwa perang harus dianggap sebagai alternatif terakhir
sebuah proses politik. Theodore Roosevelt dalam sebuah pidatonya di New
York pada 1899 pernah mengatakan bahwa sebaiknya menghindari memukul
orang, tetapi apabila harus dilakukan, lakukanlah dengan keras hingga
terjatuh. Dengan demikian, ada dua hal yang harus diperhatikan dalam
kaitannya dengan interaksi negara dalam konteks hubungan internasional.
Pertama, penting bagi setiap negara untuk dapat memanfaatkan secara
maksimal seluruh sumber daya yang dimilikinya untuk menghindari perang
dalam kaitannya dengan mempertahankan kedaulatan teritorialnya.
Diplomasi selama ini dipercaya merupakan instrumen utama dalam interaksi
antarnegara. Dalam kasus Ambalat, Departemen Luar Negeri Indonesia
menyatakan telah berkali-kali mengirim nota protes. Tetapi, dengan
kenyataan bahwa frekuensi intrusi meningkat selama dua tahun terakhir,
tampaknya hampir dapat dipastikan diplomasi Indonesia dipandang tidak
cukup bergigi oleh Malaysia, apalagi setelah kasus Sipadan dan Ligitan.
Karena itu, Indonesia harus memikirkan langkah langkah strategis lain
dalam proses diplomasi kasus ini, misalnya dengan mempertimbangkan
peningkatan tahap protes diplomatik dengan memberikan ancaman pemutusan
hubungan bilateral di antara kedua negara.
Kedua, persiapan untuk memukul lawan tetap harus dilakukan oleh
Indonesia. Adagium Latin /si vis pacem para bellum/, atau dalam bahasa
Indonesia "untuk mencapai perdamaian harus mempersiapkan perang",
mungkin masih sangat signifikan dalam kerangka kontemporer masa kini.
Karena itu, hitungan anggaran perang yang harus disiapkan sebesar Rp 20
triliun per bulan apabila Indonesia menyatakan perang menjadi kurang
penting dibandingkan dengan kebutuhan konkret untuk mempersiapkan
peningkatan anggaran pertahanan negara untuk mencapai persentase ideal
10-15 tahun mendatang. KRI Suluh Pari, KRI Untung Surapati, dan KRI
Hasanuddin telah menunjukkan keandalannya menghalau segala bentuk
pelanggaran wilayah perairan Indonesia yang dilakukan oleh kapal cepat
Malaysia. Tetapi tetap alutsista Indonesia secara relatif kalah gesit
dibandingkan dengan kapal-kapal tentara laut dan bahkan dengan kapal
polisi Malaysia. Jelas bahwa kebutuhan transformasi pertahanan Indonesia
akan modernisasi alutsista adalah sebuah keniscayaan, terutama setelah
berbagai kasus yang menunjukkan lemahnya alat utama sistem persenjataan
Indonesia dan masih kurang gesitnya Indonesia menghalau berbagai
pelanggaran terhadap wilayah perbatasan laut dan udaranya.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang secara tegas menyatakan bahwa
kedaulatan di Ambalat adalah harga mati. Tapi, selama masa
pemerintahannya, tampaknya usaha diplomasi maupun pertahanan, terutama
dalam kasus Ambalat, tidak menunjukkan hasil. Peningkatan frekuensi
pelanggaran batas wilayah justru terjadi selama dua tahun terakhir sejak
kasus Ambalat mengemuka pada 2003. Meminjam adagium Jawa soal pentingnya
mempertahankan keutuhan wilayah, kedaulatan negara, dan martabat bangsa,
jelas Indonesia membutuhkan pemimpin yang memiliki agenda jelas dan
komitmen tegas untuk usaha mempertahankan wilayah teritorial dan
kedaulatan serta martabat bangsa Indonesia di masa mendatang, sehingga
tidak ada lagi kasus Sipadan-Ligitan yang sangat menyakitkan hati
seluruh bangsa Indonesia. *
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/12/Opini/krn.20090612.167914.id.html
Ambalat: Sadumuk Bathuk, Sanyari Bumi
Written By gusdurian on Jumat, 12 Juni 2009 | 14.08
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar