BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Politik Pelayanan Publik

Politik Pelayanan Publik

Written By gusdurian on Jumat, 12 Juni 2009 | 15.14

Politik Pelayanan Publik


*Robert Endi Jaweng*

Preferensi ideologis suatu rezim berkuasa jelas memengaruhi pilihan
model pelayanan publik, utamanya terkait derajat peran negara dan posisi
warga negara dalam sektor publik.

Bagi penganut affirmative state, khususnya yang bervarian welfare state,
pelayanan publik adalah hak dasar warga dan tanggung jawab negara
memenuhinya. Melalui pelayanan publik—seperti terlihat dalam regulasi
dan instrumen fiskalnya—negara mengupayakan kesejahteraan rakyat dan
akses keadilan atas sumber daya sosial, ekonomi, dan politik. Paham ini
menjadi favorit para aktivis sosial yang mendorong perspektif pelayanan
publik berbasis hak (HAM).

Sementara dalam mazhab minimal state (neolib dan neoinstitusionalis),
pilihan moral dan teknis terbaik bagi suatu negara adalah jika
pemerintahnya sekadar menjadi penjaga malam: menjamin masyarakat yang
teratur dan taat hukum. Di luar itu, termasuk urusan pelayanan publik,
biarlah masyarakat memenuhinya sendiri melalui mekanisme pasar di mana
niscaya bekerja the invisible hand yang mendorong tercapainya titik
imbang (ekuilibrium).

Di Indonesia, khususnya di aras lokal seiring desentralisasi, pengaruh
kedua aliran ini mulai meresapi kebijakan sektor publik kita. Tipologi
inovasi pelayanan di sebagian daerah cenderung bercorak welfare state,
sementara yang lain lagi berkategori neoinstitusionalis.

Jika yang pertama, pemda mengutamakan program kredit mikro, pendidikan
gratis, asuransi kesehatan; pada kategori kedua, arah kebijakan
ditujukan memfasilitasi investasi, seperti reformasi perizinan dan
deregulasi.

*Alasan politik*

Desain kebijakan publik umumnya mengambil dua pendekatan pokok:
teknokrasi dan politik. Pendekatan teknokrasi mendasari perumusan
kebijakan secara rasional dan terukur, tetapi elitis, sentralistik, dan
terkesan naif karena mengandaikan para pengambil kebijakan ”bebas
nilai”. Pada pendekatan politis, sektor publik dilihat sebagai arena
silang kepentingan di mana kebijakan publik adalah mekanisme
institusional-demokratis penetapan ”konsensus” ataupun ”dominasi”.

Fakta menunjukkan, tendensi untuk mengedepankan ”ideologi” pelayanan
publik tertentu tak semata berdasarkan pertimbangan teknokratik, tetapi
lebih sering karena alasan politik. Tidak heran, misalnya, suatu daerah
yang miskin dan ber-SDM lemah bukannya terlebih dulu memilih reformasi
pelayanan sektor dasar pendidikan/kesehatan, tetapi mengalokasikan
sebagian besar anggaran dan merestrukturisasi birokrasinya bagi masuknya
investasi dari luar. Problem relevansi kebijakan ini adalah ongkos dari
pilihan politik penguasa yang dilatari sejumlah alasan.

Pertama, dalam konteks pemilihan langsung (seperti pilkada), meski
legitimasi kekuasaan bersumber dari suara rakyat, transaksi politik yang
lebih mengikat adalah antara penguasa dan sedikit elemen inti penggerak
mesin politik, seperti para investor sebagai sumber pendanaan. Ini
adalah utang, dalam arti sesungguhnya, yang wajib dibalas kepala daerah
lewat instrumen kebijakan berpihak dan melayani para tuan kapital tersebut.

Kedua, jalan investasi jelas berute pendek dibandingkan dengan membangun
pendidikan/ kesehatan. Hasil instan ekonomi tak saja lekas membuka
lapangan kerja dan menggenjot fiskal daerah (PAD), secara politis itu
jadi modal besar bagi stabilitas kekuasaan dan pencalonan pada periode
berikut. Sebaliknya, tak ada bukti penguasa jatuh gara-gara banyaknya
anak tak bersekolah atau buruknya mutu lulusan, tetapi ekonomi yang
suram selalu pasti menjadi sumber masalah politik yang gawat.

Pada aras dasar, pilihan ideologi berdasarkan alasan politik itu
mendistorsi relasi negara dan warga negara. Secara historis, silih
bergantinya posisi warga ini sudah lama terjadi, sebagaimana terlihat
pada evolusi paradigma administrasi publik: old public administration
(OPA) yang membai’atnya sebagai ”rakyat”/obyek, new public management
(NPM) yang menempatkannya sebagai customer bisnis sehingga mereduksi
makna ke-publik-an dalam pelayanan publik dan kini new public service
(NPS) dengan konsep democratic-citizenship.

*Catatan akhir*

Menyoal ideologi dalam pelayanan publik tidak terutama menyangkut level
keterlibatan negara atau bagaimana peran swasta, tetapi pertama-tama
ihwal makna eksistensial warga negara. Dalam OPA yang melibatkan peran
penuh pemerintah dan NPM yang meminimalkan domain negara, warga negara
sama-sama marjinal posisinya (baik oleh negara dalam OPA, oleh pasar
dalam NPM). Sebaliknya, NPS yang menilai tinggi intervensi pemerintah
memberikan nilai sama bagi keberadaan/keberfungsian warga negara.
Intinya, apakah sistem itu menempatkan ”publicservice, democratic
governance, and civis engagement at the center” (Denhardt, 2004).

Dalam konteks itu, bagi urusan pelayanan publik, polemik soal program
capres-cawapres (neolib atau bukan) hari-hari ini harus diuji langsung
dengan indikator. Pertama, adakah dan seberapa prioritas agenda dan
alokasi fiskal bagi perbaikan sektor dasar; Kedua, bagaimana posisi
warga negara dan mekanisme keterlibatan mereka sebagai subyek; Ketiga,
seberapa terikat negara pada kewajiban pelayanan publik dan jaminan hak
dasar warga (termasuk melihat sikap konkret mereka atas RUU Pelayanan
Publik saat ini), dan selebihnya secara kritis melihat (keempat) derajat
peran negara (terkait government failure) dan skala privatisasi
penyelenggaraannya oleh pihak swasta (mengantisipasi economic and social
market failure).

/*Robert Endi Jaweng* Manajer Hubungan Eksternal Komite Pemantauan
Pelaksanaan Otonomi Daerah

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/11/05052051/politik.pelayanan.publik
Share this article :

0 komentar: