BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Menakar ’Kerakyatan’ DPR

Menakar ’Kerakyatan’ DPR

Written By gusdurian on Jumat, 12 Juni 2009 | 15.24

Menakar ’Kerakyatan’ DPR
Oleh Toto Suparto Pengkaji Etika di Puskab Yogyakarta


KOMISI Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan anggota legislatif terpilih
(Senin, 25/5). Dari ketetapan KPU itu bisa kita ketahui profi l anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2009-20014, di antaranya 65,1%
merupakan wajah baru, sekitar 90% lulusan perguruan tinggi (S1 sebanyak
49,5%, pascasarjana 41,1%), 60% usia produktif, dan 56,7% adalah
orang-orang swasta.

Angka-angka itu melahirkan tafsir optimistis.

Setidaknya wajah baru yang berpendidikan tinggi, usia produktif, dan
bermental ‘orang swasta’, diharapkan membawa semangat baru K yang bakal
mengubah stereotip DPR periode sebelumnya. Bukan lagi rahasia bahwa DPR
2004-2009 belum memenuhi kehendak rakyat.

Secara makro potret DPR 2004-2009 digambarkan minus etika. Semua orang
tahu Ge dung DPR di Senayan menjadi kawasan rawan korupsi, rawan
perselingkuhan, dan bentuk lain dari penyimpangan kekuasaan. Kita kerap
mendengar berita tentang anggota DPR yang membolos sidang walau ada
tanda tangan di lembaran hadir. Kalau pun ikut sidang, tak sedikit yang
tertangkap kamera televisi sedang ngobrol, berSMS, baca koran, dan malah
tidur.

Di tengah minus etika itu, diwarnai pula dengan kemandulan legislasi.
Saat hampir habis masa jabatan legislatif tersebut, telah direalisasikan
157 undang-undang dari target 284 RUU.

Ketika 82 merupakan usulan DPR, dan sisanya (75) dari pemerintah. Justru
yang memprihatinkan adalah kualitasnya, hanya 10 undang-undang yang
terkait dengan upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat, selebihnya
terkait urusan politik, hukum, keamanan, dan pembentukan daerah.

Kita bisa membaca kinerja legislasi ini. DPR lebih mementingkan urusan
politik dan pembentukan daerah. Karena, urusan itu lebih menyentuh
kepentingan mereka maupun kelompoknya.

Urusan kesejahteraan rakyat belakangan saja.

Tindakan para anggota DPR itu sah saja karena sesuai kodrat. Dalam
bingkai filsafat moral jelas disebutkan bahwa setiap tindakan manusia
dimotivasikan kepentingan diri. Itulah yang diistilahkan egoisme
psikologis (Rachels, 2004).

Namun, jika dikaitkan dengan moralitas, hal yang dianggap sah itu
menjadi di luar kepatutan.

Sebab, moralitas menuntut kita untuk tidak berkutat diri (unselfish).
Memang ada yang menilai tuntutan ini berlebihan, seolah-olah hidup untuk
orang lain.

Sebenarnya tuntutan moralitas itu bisa dikompromikan, setidaknya kita
diharapkan peduli pada kebutuhan-kebutuhan orang lain dalam batas
tertentu. Konkretnya, orangorang saling mem bantu satu sama lain. Mereka
membangun perlindungan untuk orang-orang tan pa rumah, para petugas
pemadam kebakaran menanggung risiko nyawa untuk menyelamatkan orang
lain, dan tentu seorang legislator bertanggung jawab untuk membuat
undangundang demi kesejahteraan rakyat. Bukankah itu tuntutan moral yang
realistis? Bagi anggota DPR memperjuangkan kepentingan rakyat itu sesuai
dengan konsep filsuf John Locke.

Menurut Locke, kekuasaan pembuat undangundang adalah kekuasaan bersama
setiap anggota masyarakat, yang diberikan kepada orang atau majelis yang
menjadi pembuat undang-undang (legislator) itu, yang kemudian diberikan
kembali kepada rakyat.

Dari konsep itu jelas tergambar bahwa legislator itu bertanggung jawab
terhadap rakyatnya. Baik-buruk nasib rakyat ikut ditentukan
undang-undang yang diproduksi legislator.

Mereka yang anggota DPR akan merakyat jika peduli kepada rakyat. Mereka
mengembalikan kekuasaan yang diperoleh demi kepentingan rakyat. Di
situlah takaran ‘kerakyatan’ anggota DPR. Ia berada pada egoisme etis
dan altruism. Egoisme etis merupakan pandang an yang radikal bahwa
satu-satunya tugas adalah membela kepentingan diri sendiri. Sementara
itu, altruism mengajarkan, ‘hidupmu merupakan sesuatu yang hanya dapat
dikorbankan’. Dan seseorang berada di tengah keduanya jika
‘menyeimbangkan kepentingan kita dengan kepentingan yang lain’.

Dari sisi kepentingan itu, anggota DPR berkepentingan menjaga
kekuasaannya, sedangkan rak yat berkepentingan agar segenap aspirasinya
ada yang mau mendengar, memperhatikan, dan tentu memperjuangkannya.

Kadar intelektual Angka optimistis lainnya adalah 90% anggota DPR
2009-2014 lulusan perguruan tinggi (S1 sebanyak 49,5%, pascasarjana
41,1%). Sudah menjadi anggapan umum bahwa kian tinggi pendidikan
seseorang, makin tinggi pula kadar intelektualnya. Atas dasar itu
akademisi acap dikategorikan sebagai kaum intelektual. Para mahasiswa
adalah calon intelektual.

Jika kita menggunakan common sense itu, sama artinya DPR 2009-2014
didominasi kalangan intelektual. Sungguh merupakan anugerah tiada
terkira jika 90% kaum terdidik itu mau menjalankan fungsi
intelektualitas mereka. Hal itu menjadi jaminan bahwa mereka telah
berjalan pada jalur kerakyatan. Namun nanti dulu, benarkah mereka
intelektual? Jangan-jangan sekadar formalitas pendidikan.

Sebab, seseorang dikatakan intelektual manakala mereka membaktikan
hidupnya untuk berpikir demi kepentingan umum. Oleh karena itu,
intelektual ini acap dikatakan sebagai hati nurani bangsa. Kita kembali
kepada pandangan fi lsafat moral, intelektual itu bukan egoisme etis.

Ia berada di tengah antara egoisme etis dan altruism sebagaimana
dikemukakan sebelumnya.

Artinya, siapa pun orangnya, misalnya, doktor lulusan luar negeri, kalau
tetap memikirkan diri sendiri, gugurlah sebutan intelektual baginya.

Jadi, mau diingatkan di sini, kita tak bisa berharap banyak dari 90%
anggota DPR berpendidikan tinggi itu. Dalam tataran ini lagi-lagi
terbangun pesimisme. Seberapa banyak kaum berpendidikan yang mau
memikirkan kepentingan orang banyak? Ini sekadar contoh. Di luar negeri
telah dibuktikan intelektual pun bisa menghadirkan heroisme.

Ia dielu-elukan sebagai pahlawan. Ia adalah peraih Hadiah Nobel
Perdamaian bernama Muhammad Yunus asal Bangladesh. Ia seorang profesor
yang tak bisa diam tatkala melihat kemiskinan.

Yunus melihat orang miskin. Ia memberikan sinar kehidupan bagi kaum
miskin sehingga mereka tidak lagi meraba-raba dalam gelap. Tiba-tiba
eksistensi orang miskin diakui.

Sebelumnya, kaum miskin adalah mereka yang tak terlihat.

Godaan untuk mematikan fungsi intelektual itu sangatlah banyak.
Pragmatisme politik bisa saja memengaruhi wajah-wajah baru tadi. Mereka
terhegemoni sampai akhirnya membangun stereotip lama tanpa mampu
mengubahnya.

Justru di sinilah yang banyak dikhawatirkan khalayak, bahwa kadar
‘kerakyatan’ mereka masih saja diragukan manakala melihat kian kuatnya
pragmatisme mewarnai dunia politik kita. Maka, ada baiknya meminjam
ucapan analis politik, ‘wajah boleh baru, tetapi kelakuan masih bisa
model lama. Oleh karena itulah rakyat jangan banyak berharap dulu’.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/06/10/ArticleHtmls/10_06_2009_021_002.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: