Pilpres dan Keberpihakan Media
*EFFENDI GAZALI*
Lembaga Studi Demokrasi (Denny JA) membuat gerakan sosial agar pemilihan
presiden dan wakil presiden berlangsung dan selesai dalam satu putaran.
Untuk itu, Denny menyatakan ingin menyosialisasikan pernyataan dukungan
politik secara terbuka.
Sementara Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyatakan (4/6), memperkuat,
SBY akan dipilih 71 persen pemilih.
Tidak ada yang baru dengan pernyataan dan dukungan politik Denny JA.
Para kiai sudah melakukannya sejak era Soeharto, bahkan plus doa-doa
politik. Memang semakin banyak kalangan yang menyatakan secara terbuka,
semakin baik—meski konsistensi merupakan faktor penting—toh sesudah
pemilu semua diharap kembali bekerja sama.
Hasil survei LSI pun harus dipandang secara proporsional. Dalam ilmu
komunikasi politik, survei pesanan konsultan politik sebenarnya tidak
lazim diumumkan. Dasar teorinya jelas, jika ada bagian hasil yang jelek,
pasti tidak akan diumumkan. Tambahan, LSI pernah meleset memprediksi
hasil Pemilu Legislatif 2009 dengan menyatakan Partai Demokrat
memperoleh 26,6 persen, faktanya 20,85 persen. Selisihnya jauh di atas
toleransi kesalahan sekitar 2,3 persen. Menilai sumber dana dan rekam
jejak ini harus berlaku untuk semua lembaga survei; tidak boleh karena
sikap apriori terhadap LSI.
*Satu putaran*
Keinginan siapa pun untuk mencapai pilpres satu putaran juga wajar dan
sah. Masalahnya kemudian, apakah itu akan atau sedang ingin dicapai
dengan proses demokrasi yang jernih dan elegan?
Pada peluncuran hasil survei Lembaga Riset Informasi (7/6), Yuddy
Chrisnandi, juru bicara JK-Wiranto, dan Maruarar Sirait dari Tim
Mega-Pro mewanti-wanti agar survei dan aneka dukungan ini tidak menjadi
semacam ”payung” atau alasan pembenaran proses pemilu yang tidak
transparan. Maruarar bahkan menekankan soal framing media tertentu yang
selalu memojokkan mereka atau penolakan media atas iklan mereka.
Salah satu keunikan Era Pencitraan justru terletak pada kemampuan mesin
dan kreativitas pencitraan untuk membuat ”pembenaran-pembenaran” dari
jauh hari sebelumnya (”Skenario Pemilu”, Kompas, 9/4).
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dengan saksama saat ini.
Terutama adalah daftar pemilih tetap (DPT) yang bertambah sekitar 5
juta, anggaran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang dirasa tidak
mencukupi, serta pengurangan jumlah tempat pemungutan suara (TPS) hampir
69.000 buah.
Bagaimana membuat ketiga elemen ini masuk akal dengan logika seorang
anak SD sekalipun?
Ketika DPT bertambah, TPS dikurangi, akibatnya pemilih harus relatif
bergerak dari TPS terdekatnya atau antre lebih lama. Padahal, kita tahu,
jumlah mereka yang tidak memilih pada Pemilu Legislatif 2009 mencapai
49,67 juta. Di sisi lain, saat hampir semua pihak mengakui terjadinya
kecurangan dan pelanggaran dalam pemilu legislatif, bukankah seharusnya
anggaran Bawaslu ditingkatkan secara signifikan?
Namun, pencitraan telah bekerja. Komisi Pemilihan Umum kita mulai sibuk
dengan beberapa acara seremonial, seperti deklarasi damai, disertai
nyanyi-nyanyi dengan lagu dalam berbagai bahasa daerah!
*Keberpihakan media*
Pemilu-pemilu mutakhir di sejumlah negara telah memperlihatkan
keberpihakan media! Kenyataan ini justru terasa semakin penting untuk
membongkar Era Pencitraan yang kebanyakan mengandalkan iklan-iklan
kosong (without substance), tetapi indah dan mudah dihafal. Jangan lupa,
teori-teori pers yang netral dan independen dilahirkan sebelum Era
Pencitraan yang mampu menggoda media dengan penempatan iklan puluhan
sampai ratusan miliar rupiah.
Teori-teori pers yang sederhana tidak mampu lagi menangkap penyakit
utama media business complex bahwa media sekarang bukan lagi perusahaan
kecil dengan label ”alat perjuangan kemerdekaan” atau ”suara rakyat”.
Media umumnya sudah masuk jaringan korporasi yang punya kepentingan
bisnis ekspansif, afiliasi politik tertentu, sebaran donasi kampanye,
sampai catatan pelanggaran bisnis yang membawa bias terhadap isi media.
Tegasnya, media bahkan bisa dibangun sebagai alat pelindung bisnis dan
memelihara status quo.
Dengan begitu, netral di depan suatu isu sebetulnya juga keberpihakan;
dalam hal ini berarti tanpa sengaja ikut mendukung apa yang sedang
terjadi atau status quo.
Jadi, kini media sah untuk berpihak dengan sejumlah pertimbangan yang
rinci dan terus-menerus disampaikan atas nama kepentingan publik. Pew
Research Centre (2009) memperlihatkan sebaran kualitas isi media
menjelang pemilu Amerika lalu. Untuk Obama, 36 persen positif, 29 persen
negatif; sementara bagi McCain, 57 persen negatif, 14 persen positif.
Karena itu, media tidak perlu takut jika ada beberapa berita, kolumnis,
dan pengamat yang mendukung kubu tertentu karena alasan kepentingan
publik yang jelas. Media juga tidak perlu begitu takut tak mendapat
limpahan iklan pemilu saat isinya menyatakan sikap tertentu demi
analisis nasib rakyat. Media tidak boleh takut menayangkan sebuah iklan
sejauh sudah mengantongi surat tanda lolos sensor.
Konsultan politik modern seharusnya lebih tahu memenangkan hati media
daripada mengancamnya. Jika semua itu dijalankan, siapa pun harus
menerima apabila hasilnya nanti memang satu putaran.
/*Effendi Gazali* Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI
/
/http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/11/05064020/pilpres.dan.keberpihakan.media
/
Pilpres dan Keberpihakan Media
Written By gusdurian on Jumat, 12 Juni 2009 | 15.13
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar