Preseden Tahun Kelima
Tampaknya sejarah berulang kembali. Menjelang pemilihan presiden
(pilpres), efektivitas pemerintahan dan kabinet terus melemah kendati
sisa periode kerjanya relatif masih panjang, yaitu lima bulan lagi.
Gejala ini merupakan pengulangan atas kejadian serupa yang menimpa
pemerintahan sebelumnya, lima tahun lalu.Apakah preseden pecah di tahun
kelima akan selalu berulang? Penampakan efektivitas pemerintahan
belakangan ini mungkin hanya terlihat pada rapat kabinet serta beberapa
kegiatan seremoni. Apakah para menteri masih bisa dan mampu
berkoordinasi di antara sesama mereka, masih menjadi pertanyaan. Sebab,
jelang Pilpres 2009, para menteri pun punya kesibukan sendiri-sendiri.
Keraguan publik akan efektivitas pemerintahan saat ini diperkuat oleh
intensitas perang katakata atau saling sindir antara Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Wapres JK).
Intensitasnya terus meningkat dan cenderung makin tajam.Ketika SBY
menyinggung pemimpin yang juga mengurusi bisnis keluarga, publik
menafsirkannya sebagai sindiran kepada JK.Di Palu,JK membalas dengan
mengatakan pemimpin peragu tak akan membawa kemajuan bagi bangsa.
Tak ada yang bisa dibenarkan maupun disalahkan seratus persen karena
dengan saling balas keduanya berarti belum memberi contoh yang baik.
Sebelumnya, keduanya juga bertolak belakang menyikapi masalah blok laut
Ambalat. JK menegaskan RI siap berperang dengan siapa saja, sementara
SBY mengatakan perang sebagai opsi terakhir dan menomorsatukan cara
lebih beradab,yaitu diplomasi.Keretakan duet kepemimpinan SBY-JK tampak
telanjang bagi orangorang yang ada di dekatnya.
Tampaknya para menteri pun gamang untuk menentukan posisi dan tuntutan
kerja. Publik hanya bisa meraba, tak bisa merasakannya karena pemrosesan
banyak hal yang berkait dengan kepentingan publik ditangani para
menteri,direktur jenderal atau para pimpinan proyek. Merekalah yang
merasakan langsung akibat dari rendahnya koordinasi pemerintahan saat ini.
*** Amat disayangkan tentunya mengingat kemerosotan efektivitas
pemerintahan justru terjadi di tengah upaya kita menangkal dampak
krisis.Apalagi,sisa masa bakti pemerintahan terbilang masih
panjang.Dalam rentang waktu dari sekarang hingga pertengahan Oktober
2009, masih banyak yang bisa dikerjakan bersama, didukung para menteri
dan dirjen serta para gubernur dan bupati. Perang kata-kata SBY versus
JK hanya menambah besar bobot ketidakpastian.
Sidang gugatan hasil pemilu legislatif di Mahkamah Konstitusi serta
progres Hak Angket DPR atas masalah daftar pemilih tetap (DPT) dalam
Pemilu Legislatif 2009 juga dikalkulasikan ke dalam suasana
ketidakpastian sekarang. Para pebisnis terpaksa harus mengambil posisi
wait and see sambil ikut-ikutan menghitung elektabilitas ketiga pasang
calon presiden-wakil presiden. Mereka belum mau menggagas atau
merealisasikan bisnis baru sebelum Pilpres 2009 menyajikan hasil final.
Dinamika bisnis diperkirakan baru pulih awal 2010.
Stimulus fiskal 2009 sudah dipastikan tidak akan mencapai target
besarnya. Sebab, beberapa departemen yang mendapatkan jatah proyek
stimulus gagal merealisasikan proyek tepat waktu. Memasuki pertengahan
2009 ini, belum banyak proyek stimulus yang direalisasi. Padahal,
setidaknya, jika segala sesuatunya berjalan mulus,semua proyek
infrastruktur dalam paket stimulus itu akan membuka jutaan lapangan
kerja di banyak daerah. Pemerintah pun terkesan minimalis menyikapi
status mati surinya sektor riil dalam negeri.
Belum ada langkah sistematis untuk menurunkan suku bunga pinjaman,
faktor yang sudah lama ditunggutunggu praktisi bisnis di sektor riil.
Padahal terhitung sejak awal 2009 hingga kini,Bank Indonesia sudah
menurunkan BI Rate sebesar 250 basis poin.Namun, skala penurunan suku
bunga acuan sebesar itu belum mampu mendorong perbankan menurunkan suku
bunga pinjaman. Dewasa ini, bunga pinjaman masih di kisaran 14%. Kita
belum tahu bagaimana cara untuk mengoreksi bunga pinjaman bank.
Koordinasi otoritas moneter dan otoritas fiskal pun menjadi tidak
efektif lagi karena BI tak punya gubernur.
Padahal dalam situasi seperti sekarang, kepala pemerintahan perlu
berkompromi dengan Gubernur BI guna mencari cara paling efektif
mengoreksi suku bunga. Katakanlah, demi perbaikan kinerja, Presiden bisa
mendesak Gubernur BI mengoordinasikan penurunan suku bunga perbankan.
Sebaliknya, kepada Presiden, Gubernur BI bisa mengatakan bahwa penurunan
suku bunga pinjaman bisa diwujudkan jika otoritas fiskal atau pemerintah
berhenti atau mengurangi langkahnya menerbitkan surat utang negara (SUN)
karena penerbitan SUN baru pasti menyedot likuiditas di pasar uang.
Otoritas moneter dan fiskal pun bisa bekerja sama mewujudkan polling
fund untuk menurunkan suku bunga. Hari-hari ini, wujud pendekatan atau
model koordinasi seperti itu makin sulit diharapkan karena sosok-sosok
yang memegang kendali, baik Presiden,Wapres maupun para menterinya,
lebih disibukkan oleh kegiatan mempersiapkan keikutsertaan mereka dalam
Pilpres 2009. Sekarang, segala sesuatunya berjalan apa adanya. Sulit
mengharapkan adanya terobosan baru yang progresif menangkal dampak krisis.
Banyak orang bingung dan gamang ketika pemerintah mengatakan keadaan
makin baik. Kalau konsumsi rumah tangga 2009 turun menjadi 4,1% dari
5,7% per 2008, itu pertanda hidup keseharian masyarakat kita tidak
bertambah baik.Bulog tahun ini mengalokasikan beras untuk keluarga
miskin (raskin) bagi 17,1 juta rumah tangga miskin (RTM). Data ini
menjelaskan bahwa kemiskinan masih menjadi masalah krusial. Kita butuh
pertumbuhan yang berkualitas untuk bisa menjawab semua persoalan yang
berkait dengan kesejahteraan rakyat. Untuk mendapatkan pertumbuhan yang
berkualitas, pemerintah harus fokus dan terus bekerja keras.
Sekali lagi,rentang waktu hingga Oktober 2009 bukan waktu yang sedikit.
Masih banyak yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kinerja pemerintah.
Presiden harus mengefektifkan kembali pemerintahannya. *** Lima tahun
lalu, tepatnya tahun 2004, pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri
juga mengalami hal yang nyaris sama, yakni terganggunya efektivitas
pemerintahan.Bedanya,Megawati dan Wakil Presiden Hamzah Haz waktu itu
tetap kompak.
Mungkin kabinet Megawati hanya bergoyang saat SBY yang saat itu menjabat
sebagai Menko Polkam maju menjadi calon presiden. Apakah rontoknya
efektivitas pemerintahan di tahun kelima atau tahun terakhir masa bakti
akan menjadi preseden? Setidaknya, dua pemerintahan terakhir sudah
menunjukkan preseden itu, yakni bermasalah di ujung masa bakti. Para
menteri indisipliner.Mereka meninggalkan pos tugasnya tanpa ada yang
bisa mengendalikan, sementara gaji dan tunjangan dari negara jalan
terus. Kalau bicara rugi, tentu saja negara dan rakyat yang dirugikan.
Kontrak politik mereka lima tahun penuh.Namun dalam praktiknya, mereka
“memaksakan diskon” waktu yang kelewat besar,menyianyiakan waktu
berbulan-bulan. Akankah preseden buruk ini kita biarkan? Kita imbau para
legislator dan politisi menggarisbawahi preseden rontoknya efektivitas
pemerintahan di tahun kelima ini.Harus ada semangat untuk mengakhiri
kecenderungan yang tidak produktif ini.
Mungkin, diperlukan revisi terhadap UU kepresidenan dan UU tentang
kabinet. Hasil revisi harus mengikat dan menjadi jaminan bahwa sebuah
pemerintahan tetap utuh dan efektif hingga di akhir masa bakti.(*)
Bambang Soesatyo
Ketua Komite Tetap Perdagangan Dalam Negeri Kadin
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/246084/
Preseden Tahun Kelima
Written By gusdurian on Jumat, 12 Juni 2009 | 15.08
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar