BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » »

Written By gusdurian on Senin, 15 Juni 2009 | 15.02

Perlukah Ilmuwan Berpolitik?


*Elisabeth Rukmini*

Kebijakan pemilu presiden di AS bertautan dengan sains. Para ilmuwan
menyebutnya politicization of science.

Kebijakan Bush kerap disebut paling memolitisasi sains. Meski demikian,
politicization of science secara berimbang dapat ditimpakan kepada Obama
dalam kampanye terkait energi bersih (clean energy). Bukankah Obama
memolitisasi sains yang tidak dilakukan Bush?

Roger Pielke, profesor Environmental Studies University of Colorado at
Boulder, aktif dalam penelitian sains teknologi dan decision making;
menulis kaitan sains dan politik (Harvard International Review, 2008).

Pielke mencontohkan enam presiden yang melakukan politicization of
science. Richard Nixon mengubah waktu peluncuran Apollo 17 demi pilpres
ulang tahun 1972. Ford meminta Environmental Protection Agency (EPA)
mengubah data pendukung emisi gas sulfur dioksida; investigasi terhadap
regulasi ini menunjukkan bukti-bukti berlawanan dengan kesahihan
regulasinya. Jimmy Carter menyimpulkan, AS menyediakan 20 persen energi
dari sumber-sumber terbarukan; data ini berbeda dengan data dari
penasihat sainsnya. Ronald Reagan membawa isu evolusi dalam kampanye dan
mengusulkan agar teori evolusi sekaligus kisah penciptaan dari Alkitab
diajarkan di sekolah. George Bush membawa isu wetlands untuk membebaskan
lahan terbuka di bawah perlindungan hukum federal bagi pembangunan
properti. Bill Clinton memerintahkan penutupan pabrik farmasi Al Shifa
di Sudan tahun 1998 terkait kasus peledakan bom Kedubes AS di Kenya dan
Tanzania. Diberitakan, berdasarkan bukti-bukti ilmiah, Al Shifa terlibat
kasus ini. Belakangan diketahui, bukti-bukti ilmiah itu belum
disimpulkan. Barack Obama menambah daftar ini dengan membawa isu
perubahan cuaca dan clean energy.

*Peran ilmuwan*

Politicization of science tidak terkait hitam putih sains dan politik
atau pengambilan keputusan. Dalam isu-isu terkait sains, teknologi, dan
kehidupan masyarakat, politicization of science penting dipandang
sebagai advokasi. Contoh, isu lingkungan terkait sumber energi
terbarukan atau perubahan iklim. Pengambil keputusan membutuhkan tenaga
ahli untuk menilai aksi apa yang perlu dipilih.

Pielke dalam buku The Honest Broker (2008) merangkum empat peran ilmuwan
dalam politik dan policy. Keempat peran itu adalah the pure scientist;
the science arbiter; the issue advocate; the honest broker of policy
options. Di antara peran-peran itu ada stealth issue advocacy bila
ilmuwan dibayangi keuntungan pribadi untuk mengegolkan isu tertentu, ada
konflik kepentingan. Peran pertama dan kedua berjalan baik, bila nilai
suatu isu amat jelas dan derajat ketidakpastiannya amat minim. Ketika
ada konflik nilai dan ketidakpastiannya jelas, peran ilmuwan sebagai the
issue advocate dan the honest broker terlihat jelas. Peran ketiga
berbeda dari peran keempat dalam pilihan solusi yang disodorkan ilmuwan
kepada pembuat keputusan. The issue advocate membawakan satu opsi dengan
analisisnya, sedangkan the honest broker mengajukan beberapa opsi
beserta analisis positif dan negatifnya.

Pertanyaannya, dimanakah posisi ilmuwan kita? Memasuki masa kampanye
pilpres, penting bagi ilmuwan (dan capres-cawapres) memperhitungkan
politicization of science dalam penilaian program-program yang
ditawarkan para calon. Masyarakat berhak mengetahui duduk persoalan
isu-isu penting dan menyangkut harkat hidup orang banyak.

Ilmuwan pantas menjalankan pilihan empat peran itu demi masyarakat
terdidik. Peran pertama (the pure scientist) dan kedua (the science
arbiter) tentu penting. Namun, peran ketiga dan terutama keempat amat
penting dalam politicization of science. Para calon pemimpin layak
menyodorkan siapa ilmuwan terpilih yang menjadi penasihat kepresidenan
dan rencana program mereka. Ilmuwan di luar sistem mengkritisinya
sehingga politicization of science menemukan opsi terbaik.

Belajar dari Jepang, penasihat sains kepresidenan mengusulkan negara
memberikan insentif bagi sektor industri yang berhasil mengurangi emisi
karbon tanpa mengganggu pertumbuhan ekonomi. Dengan cara ini sektor
industri bersandar pada penelitian dan advancement di bidang emisi
karbon (bergantung peran the honest broker). Pertalian ilmuwan dengan
politik dan policy tak mungkin dihentikan.

/*Elisabeth Rukmini* Staf Akademik Unika Indonesia Atma Jaya Jakarta;
Mahasiswa Doktoral Pendidikan Kimia Miami University, Oxford, Ohio, AS

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/08/05250448/perlukah.ilmuwan.berpolitik
/
Share this article :

0 komentar: