Kasus Prita Akan Berulang
*ATMAKUSUMAH *
Dalam peringatan Hari Kebebasan Pers Dunia, 3 Mei di Doha, Qatar,
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO)
menyerukan agar negara anggotanya ”menyingkirkan pasal hukum pencemaran
nama baik atau penistaan dari undang-undang pidana”. Tetapi, seruan itu
tak terdengar lagi di Indonesia 10 hari kemudian.
Adalah Prita Mulyasari yang ditahan pada 13 Mei-3 Juni 2009 karena
dituduh melanggar pasal pencemaran nama baik dan penghinaan dalam KUHP
serta UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Penulis e-mail dari
Serpong, Banten, itu mengeluhkan informasi yang tidak jelas saat dirawat
di rumah sakit.
Deklarasi di Doha itu mengingatkan Pasal 19 Pernyataan Umum Hak-Hak
Manusia yang diumumkan PBB 10 Desember 1948 bahwa ”Setiap orang
mempunyai hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; dan hak ini
termasuk kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa gangguan serta untuk
mencari, menerima, dan berbagi informasi serta gagasan melalui media apa
pun dan tanpa mengindahkan perbatasan negara.”
Peringatan ini penting, mengingat banyaknya tuntutan pencemaran nama
baik, penistaan, dan penghinaan di pengadilan selama beberapa tahun
terakhir dengan menggunakan pasal-pasal hukum pidana dan perdata.
International Federation of Journalists (IFJ), organisasi pengamat pers
internasional di Brussels, Belgia, dalam konferensi di Taipei, Taiwan,
yang dihadiri wartawan Asia dan Pasifik, 7-10 Juli 2005, mengeluarkan
resolusi yang ”mengecam keras kasus-kasus pidana tentang pencemaran nama
baik atau penistaan dan penghinaan (defamation and libel) di Indonesia.”
Menurut IFJ, telah terjadi penyalahgunaan hukum pidana dalam kasus-kasus
pencemaran nama baik atau penistaan di Indonesia. Karena itu, IFJ
meminta Pemerintah Indonesia mengubah perundang- undangannya sehingga
kasus penghinaan dan pencemaran nama baik atau penistaan hanya dapat
diproses sebagai perkara perdata.
*Takut berpendapat*
Akhir-akhir ini, sejumlah wartawan dan warga dituntut di pengadilan
karena tuduhan pencemaran nama baik, atau penistaan dan penghinaan,
dengan sanksi masuk penjara (pidana) dan denda (perdata). Mereka
termasuk penulis surat pembaca terkait transaksi jual-beli kios dan
dimuat di Kompas, Suara Pembaruan, dan Warta Kota, seperti Khoe Seng
Seng, Kwie Meng Luan, dan Pan Esther. Januari 2009, Pengadilan Tinggi
DKI Jakarta membatalkan putusan perkara perdata Pan Esther oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang menjatuhkan hukuman ganti rugi Rp 1
miliar. Tetapi, proses perkara perdata dan pidana atas Khoe Seng Seng
dan Kwie Meng Luan masih berlangsung.
Kasus paling baru terjadi di Manado. Pemimpin Redaksi Harian Media
Sulut, Doan Tagah, bernasib sama dengan Prita. Kepolisian Daerah
Sulawesi Utara menahan dan memeriksa Tagah karena tuduhan pencemaran
nama baik dan penghinaan terkait persidangan Wali Kota Manado Jimmy
Rimba Rogi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (harian Jurnal Nasional,
23/2004).
Wartawan MetroTV di Makassar, Jupriadi (Upi) Asmarandana, kini masih
menghadapi proses hukum di Pengadilan Negeri Makassar karena gugatan
perdata Inspektur Jenderal Sisno Adiwinoto, mantan Kapolda Sulawesi
Selatan dan Sulawesi Barat di Makassar. Upi dituduh mencemarkan nama
baik Sisno yang kini menjabat Kapolda Sumatera Selatan di Palembang.
Tuntutan hukum atas tuduhan pencemaran nama baik atau penistaan dan
penghinaan, dalam perkara pidana, kian tidak populer di banyak negara.
Hal itu karena sanksi atas pasal-pasal hukum ini, berupa hukuman badan
dan denda ganti rugi yang tinggi, dapat menyebabkan orang takut
mengutarakan pendapat dan aspirasi secara terbuka.
*Denda dan ganti rugi*
Puluhan negara kini sudah menghapus pasal-pasal defamation, libel,
slander, dan insult dari hukum pidana meski masih dipertahankan dalam
hukum perdata. Maka, bagi pelanggar pasal-pasal ini tidak lagi berlaku
hukuman penjara. Timor Lorosa’e, yang masih menggunakan
perundang-undangan Indonesia, pada 7 September 2000, menetapkan Pasal
310 sampai 321 tentang Penghinaan dalam KUHP sebagai bukan tindak pidana.
Kini, sejumlah negara mulai/sudah melaksanakan sanksi denda dan ganti
rugi proporsional. Ini dimaksudkan agar terhukum mampu membayar denda
sesuai penghasilan dan bila dikenakan pada lembaga atau perusahaan,
tidak menyebabkan kebangkrutan. Bahkan, di Australia, UU Pencemaran Nama
Baik tahun 2005 (Defamation Act 2005) menetapkan, korporasi hanya dapat
menuntut karena pencemaran nama baik dan penistaan bila hanya memiliki
kurang dari 10 pegawai atau merupakan organisasi nirlaba. Tujuannya agar
”yang kecil” tidak terlindas oleh yang ”besar, kokoh, dan kuat”.
Bagaimanakah di Indonesia? Wakil Ketua MA Bidang Yudisial Abdul Kadir
Mappong, 5 Juni lalu, menyiratkan kemungkinan menghapus ”pasal karet”
pencemaran nama baik ini. Tetapi, MK sudah dua kali menolak penghapusan
pasal itu, baik dari KUHP maupun dari UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dalam pembicaraan dengan sejumlah advokat, dosen, hakim, dan hakim
agung, saya mengajukan pertanyaan dari orang yang awam ilmu hukum yang
dapat menjadi ”korban hukum”, mengapa mereka, dan juga perancang
perundang-undangan, seolah lebih menyukai pasal-pasal hukum dengan
sanksi ”keras” dan bersifat menghukum daripada bertujuan mendidik?
Seorang dosen ilmu hukum dari Surabaya menjawab, ”Fokus mata ajaran ilmu
hukum dari semua fakultas hukum di Indonesia bukan falsafah ilmu hukum
untuk menemukan keadilan, tetapi berkutat dengan perundang-undangan.”
Disarankan, fakultas hukum diubah menjadi fakultas perundang-undangan.
Jika perhatian dan pikiran para ahli dan perancang serta penegak hukum
kita masih seperti itu, agaknya kasus Prita akan terus berulang.
/*ATMAKUSUMAH *Pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS); Ketua Dewan
Pengurus Voice of Human Rights (VHR) News Centre
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/08/05264715/kasus.prita.akan..berulang
/
Kasus Prita Akan Berulang
Written By gusdurian on Senin, 15 Juni 2009 | 15.04
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar