BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » »

Written By gusdurian on Jumat, 19 Juni 2009 | 12.44

Perangkap Hiperrealitas Kampanye


Oleh *Toto Suparto*

Kampanye pemilu presiden telah berlangsung. Para capres-cawapres secara
sadar menciptakan dunia hiperrealitas guna memerangkap calon pemilih.

Istilah hiperrealitas dikenalkan Jean Baudrillard dan Umberto Eco. Bagi
Baudrillard, hiperrealitas didahului simulasi. Jadi, simulasi sebagai
proses atau strategi intelektual, sedangkan hiperrealitas adalah efek,
keadaan, atau pengalaman kebendaan dan atau ruang kebendaan yang
dihasilkan dari proses itu.

*Pura-pura*

Jean Baudrillard dan Umberto Eco melihat apa yang direproduksi dalam
dunia hiperrealitas tidak saja realitas yang hilang, tetapi juga dunia
tak nyata: fantasi, mimpi, ilusi, maupun halunisasi.

Dunia hiperrealitas ini diciptakan dari ”terlalu banyak tanda, terlalu
banyak pesan, terlalu banyak informasi, dan terlalu banyak gaya”. Semua
ini membuat massa disuguhi sekadar penampakan yang mengundang
keterpesonaan dan tanpa bisa mencerna nilai-nilai ideologi atau mitologi.

Dalam konteks kampanye pilpres, kita disuguhi penampakan; pasangan
capres-cawapres berjalan kaki 1 kilometer, mereka naik kereta api ke
luar kota, mereka mau berpanas-panas di tempat sampah, mereka blusukan
pasar tradisional, mereka bercengkerama dengan buruh, mereka bersimpati
kepada TKI teraniaya, malah ada juga yang mau berjabat tangan dengan rival.

Cerita di balik tindakan mereka itu sebenarnya bukan seperti yang
tampak. Jika mereka digambarkan menjadi wong cilik, kita ambil sebagai
contoh, mereka bukan wong cilik sesungguhnya. Makna yang tersembunyi
adalah kepura-puraan dekat dengan wong cilik. Mustahil orang yang sudah
kaya mau ke tempat sampah jika tidak ada niatan menggapai ”makna di
balik makna”. Mereka itu sekadar bersimulasi menuju citra kerakyatan!
Mereka memakai topeng kerakyatan.

*Topeng*

Kita tak tahu persis karakter di balik topeng. Bisa saja karakter yang
haus kekuasaan atau karakter yang sebenarnya pengisap wong cilik. Para
politisi itu dengan mudah menopengi dan memutarbalikkan realitas dengan
citra.

Begitulah jika elite politik terobsesi pada realisme. Bila mereka ingin
mengantongi kredibilitas, tak pelak lagi, ia mesti memiliki sifat
ikonik, kemiripan yang amat sempurna, fotokopi yang ”nyata” atas
realitas yang sedang direpresentasikan. Ia harus pandai menyesuaikan
antara imajinasi rakyat dan sifat ikonik itu.

Saat masyarakat sedang berimajinasi segala aspek ”kerakyatan”, maka ia
(elite politik) itu harus membuat kepalsuan yang nyata (Eco, 1987).

Kepalsuan adalah kedustaan. Dusta sebagai ”melakukan, mengatakan, atau
menulis sesuatu yang Anda tahu itu tidak benar”. Artinya, antara yang
dilakukan, dikatakan, atau ditulis tidak sesuai realitas yang
sebenarnya. Ada hubungan yang tidak simetris antara tanda dan realitas.
Dalam terminologi semiotika, ada jurang dalam antara sebuah tanda (sign)
dan referensinya pada realitas.

Untuk mengaburkan permainan dan ilusi itu, dibangunlah simulasi.
Ternyata simulasi merupakan cara baru untuk memperoleh kekuasaan
(Baudrillard, 1988). Satu hal yang banyak diingatkan para pakar
semiotika bahwa simulasi adalah citra tanpa referensi. Karena itu,
ditegaskan mereka, citra menyembunyikan dan menyimpangkan realitas,
bahkan tak terkait realitas. Mereka mau menyatakan hati-hati dengan
pencitraan. Dalam konteks kampanye, kita pun harus hati-hati dengan
ragam pencitraan politik.

*”Minus malum”*

Dalam bingkai filsafat moral, mereka yang menjunjung tinggi kedustaan
sejatinya bukan pelaku moral. Sebab, pelaku moral itu berarti
mengarahkan perilaku dengan hukum-hukum universal berupa aturan moral
yang berlaku tanpa ada perkecualian. Ia berlaku dalam segala situasi.
Aturan untuk tidak berdusta termasuk pada hukum universal dimaksud.
Jelas disebutkan oleh para filsuf, berdusta dalam lingkungan mana pun
merupakan tindakan yang menghapus martabat seseorang sebagai makhluk
manusiawi.

Apakah para elite politik rela menjatuhkan martabat mereka demi
kekuasaan? Namun, pandangan realisme berprinsip lain, yakni efektivitas.
Jika kedustaan sebagai sarana yang telah teruji dan terseleksi atas
dasar kriteria efektivitas dalam mencapai tujuan, maka nilai-nilai lain
akan diabaikan. Termasuk di dalamnya soal martabat tadi. Inilah yang
acap disebut tujuan menghalalkan cara.

Apakah kita akan memilih kandidat tak bermartabat karena dunia
hiperrealitas terus mereka ciptakan? Rasanya siapa pun kandidatnya sulit
untuk bisa keluar dari dunia hiperrealitas. Padahal, bila bersandar
kepada moralitas, kandidat yang bermartabat merupakan pilihan ideal.

Kesulitan itu bukan berarti menutup kemungkinan untuk memilih. Kita
harus memilih yang paling ideal dari tiga pasangan yang ada. Maka
berlakulah minus malum memilih yang terbaik dari pilihan-pilihan yang
ada. Konkretnya, kita memilih kandidat yang terbukti paling sedikit
menciptakan dunia hiperrealitas.

Kita boleh berdalih, individu kandidat bisa saja mementingkan martabat.
Tetapi jangan lupa, mesin politik mereka acap ”menjerumuskan” kandidat
bersangkutan kepada politik citra. Kemudian yang terjadi adalah karakter
asli malah menjadi ”palsu” akibat politik citra itu. Mau tak mau kita
mesti bersusah payah mengenali karakter asli mereka. Jangan sampai kita
terperangkap hiperrealitas kampanye.

*Toto Suparto* /Pengkaji Etika

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/18/03002735/perangkap.hiperrealitas.kampanye
Share this article :

0 komentar: