BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kesalahan dalam Memahami UU ITE?

Kesalahan dalam Memahami UU ITE?

Written By gusdurian on Jumat, 19 Juni 2009 | 12.44

Kesalahan dalam Memahami UU ITE?

Alhamdulillah permohonan penangguhan terhadap Prita Mulyasari, ibu dari
dua orang anak yang didakwa telah mencemarkan nama baik RS Omni
Internasional, dikabulkan.

Mulai 3 Juni 2009 lalu, dia bisa lagi berkumpul dengan kedua anaknya
yang masih kecil dan butuh perhatian sang ibu.Bahkan kini proses tahanan
kotanya pun telah ditangguhkan sehingga Prita sudah dapat kembali
menjalani rutinitas pekerjaannya.

Terhadap penahanannya yang telah dilakukan sejak 13 Mei lalu oleh pihak
kejaksaan itu, sesungguhnya hal tersebut didasarkan pada dakwaan tersier
dalam Pasal 27 Undang-Undang Transaksi Elektronik (UU ITE) No 11 Tahun
2008 yang ancaman hukumnya enam tahun penjara, sementara dakwaan primer
Pasal 310 dan subsider Pasal 311 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana,
dengan hukumannya yang kurang dari lima tahun, sesungguhnya tidak akan
menyeret Prita untuk merasakan kurungan.

Tulisan berikut ingin mendudukan perkara sekaligus menanggapi tulisan
Sdr Leo Batubara berjudul: “Prita Korban Pertama UU ITE” (Seputar
Indonesia, 16/6). Agak berlebihan jika menyimpulkan kasus Prita sebagai
korban dari UU ITE sekalipun jaksa memang menjerat Prita dengan UU ITE.

Atas dasar itu, kiranya perlu diberikan penjelasan terhadap UU ITE.
Karena jika tidak dijelaskan secara terperinci, dampaknya dapat
berakibat pada sinisnya masyarakat kita dalam menilai UU ITE. Padahal UU
ini merupakan UU rezim baru yang intinya ingin melindungi masyarakat
dari persoalan transaksi elektronik,bukan semata persoalan pencemaran
nama baik melalui perangkat komputer dan dunia maya.

Tanpa Hak

Tidak salah memang ketika masyarakat memersepsikan dan kemudian media
memberitakan bahwa Pasal 27 ayat 3 yang berbunyi, “Setiap orang dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama
baik,” diterjemahkan akan mengancam kebebasan orang untuk menyampaikan
pendapat.

Dalam kasus Prita persepsi masyarakat itu seolah menemukan pembenar,
sebab faktanya hanya karena menulis dan mengirim e-mail kepada beberapa
sahabatnya Prita dimasukkan ke dalam penjara. Padahal jika mau dikaji
lebih dalam, kata “tanpa hak” menjadi sesuatu yang sesungguhnya dapat
melindungi masyarakat, belum lagi aturan-aturan lain yang ada dalam UU
ITE, berkait dengan boleh-tidaknya seseorang ditahan.

Menjerat Prita dengan Pasal 27 ayat 3 UU ITE itu memang berlebihan.
Kenapa? Paling tidak ada dua alasan untuk menjelaskannya. Pertama, kata
“tanpa hak” dimaknai sangatlah sempit.Padahal, seorang Prita,sebagai
salah satu konsumen rumah sakit, dia memiliki hak untuk menyampaikan apa
yang dikeluhkannya itu melalui email yang dibuatnya, hak sebagai
konsumen, itu pun dijamin dalam UU Konsumen.

Kedua, dalam UU ITE Pasal 43 ayat 6, jelas dinyatakan, dalam hal
melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum
wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu
satu kali dua puluh empat jam.

Dalam kasus Prita, rasanya untuk menahan Prita tidak ditempuh cara-cara
yang sudah ditetapkan dalam UU ITE. Memang atas dasar kekhawatiran
masyarakat terhadap Pasal 27 ayat 3 UU ITE, telah dilakukan uji materi
(judicial review) atas hal itu ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh
masyarakat yang diwakili oleh aktivis blogger dan Perhimpunan Bantuan
Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI),
serta Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH) Pers. Hasilnya, MK tidak dapat
menerima judicial reviewPasal 27 ayat 3 tersebut. Alasan penolakan itu
karena UU ITE adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan
nilai-nilai demokrasi,hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum.

Dalam pertimbangannya,MK mengakui hak tiap warga negara untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan,mengolah,dan menyimpan informasi.Namun,
hal tersebut tidak boleh menghilangkan hak orang lain untuk mendapat
perlindungan diri, keluarga, kehormatan, martabat, dan nama baiknya.

Kewenangan negara untuk mengatur hal tersebut dapat dibenarkan guna
menciptakan situasi yang lebih kondusif bagi terpenuhinya hak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan nama baik
seseorang. Masih menurut MK, Pasal 27 Ayat (3) tersebut hanya membatasi
siapa saja yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau
mentransmisikan informasi atau dokumen elektronik yang memuat unsur
penghinaan.

”Pembatasan itu tidak dilakukan dalam rangka memasung atau membenamkan
hak-hak dasar untuk mencari, memperoleh informasi. Adapun pembatasan
yang dimaksud juga tidak dapat serta-merta dikatakan sebagai bentuk
penolakan atau pengingkaran nilai-nilai demokrasi.

Payung Hukum

Nilai strategis dari kehadiran UU ITE sesungguhnya pada kegiatan
transaksi elektronik dan pemanfaatan di bidang teknologi informasi dan
komunikasi (TIK). Sebelumnya sektor ini tidak punya payung hukum, tapi
kini makin jelas sehingga bentuk-bentuk transaksi elektronik sekarang
dapat dijadikan sebagai alat bukti sah.

Karena itu beralasan jika dikatakan, dengan kehadiran UU ini, Indonesia
kini telah sejajar dengan negara-negara lain seperti Malaysia,
Singapura, India, atau negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan
negara-negara Uni Eropa yang telah secara serius mengintegrasikan
regulasi yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi ke dalam
instrumen hukum positif (existing law) nasionalnya.

Kehadiran UU ini sesungguhnya didasarkan pada fakta bahwa teknologi
informasi telah mengubah perilaku dan pola hidup masyarakat secara
global. Perkembangan teknologi informasi telah pula mengakibatkan dunia
menjadi tanpa batas (borderless) serta membawa perubahan sosial, budaya,
ekonomi, dan pola penegakan hukum yang secara signifikan berlangsung
demikian cepat.

UU ini sesungguhnya merupakan upaya pemerintah dalam memberikan
perlindungan yang jelas dan berkekuatan hukum tetap terhadap berbagai
macam transaksi elektronik ke arah negatif.Karena itu, bentuk-bentuk
pelanggaran hukum dalam transaksi perdagangan elektronik dan perbuatan
hukum di dunia maya, yang kini menjadi fenomena yang mengkhawatirkan
mengingat adanya tindakan carding,hacking,cracking,
phising,booting,viruses,cybersquating, pornografi, perjudian, penipuan,
terorisme,penyebaran informasi destruktif, telah menjadi bagian dari
aktivitas perbuatan perlakuan kejahatan internet.

Melalui UU ini, pelanggaran hukum di internet yang selama ini sulit
dipecahkan, karena proses pembuktiannya lebih sulit, kini dapat
disesuaikan. Itu sebenarnya esensi dari UU ITE. Jadi bukan mengancam
kebebasan orang untuk menyampaikan pendapat,apalagi mengancam kebebasan
pers.

Terhadap adanya pernyataan tentang kenapa pembahasan UU ITE tidak
mengundang Dewan Pers dan organisasi pers lain, kiranya perlu
dijelaskan, karena memang UU ITE tidak dimaksudkan semata untuk
membelenggu kebebasan pers.

Hal ini bisa dirujuk pada salah satu dari tujuh klausul menimbang yang
dinyatakan bahwa pemerintah perlu mendukung pengembangan teknologi
informasi melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga
pemanfaatan teknologi informasi dilakukan secara aman untuk mencegah
penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial
budaya masyarakat Indonesia.

Itu artinya memang sejak awal tidak dimaksudkan untuk menghalang-
halangi kerja pers dan itu pula sebabnya dalam berbagai pembahasan
pemerintah dan DPR tidak mengundang secara khusus Dewan Pers atau
organisasi dan asosiasi jurnalis seperti PWI dan AJI karena memang tidak
ada pretensi sedikit pun ke arah pemberangusan dunia pers, apalagi
faktanya pasal itu tidak diperuntukkan bagi pers atau media massa.(*)

Sukemi
Staf Khusus Menkominfo
Bidang Komunikasi Media


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/247697/
Share this article :

0 komentar: