BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Neoliberalisme dan Globalisasi

Neoliberalisme dan Globalisasi

Written By gusdurian on Jumat, 19 Juni 2009 | 12.48

Neoliberalisme dan Globalisasi


*TEMPO /Interaktif/*, *Jakarta*: Neoliberalisme tiba-tiba seolah menjadi
kata buruk dalam perpolitikan Indonesia. Padahal, jika ditinjau dari
perspektif hukum Indonesia, neoliberalisme justru telah menjadi salah
satu pengaruh positif dalam perkembangan hukum dan iklim usaha dalam
beberapa tahun terakhir.

Neoliberalisme identik dengan kesepakatan internasional yang lahir di
era Reagan dan Thatcher, dan umum disebut The Washington Consensus.
Beberapa pilar utama konsensus tersebut adalah ekonomi pasar, deregulasi
ekonomi, peran minimal pemerintah, dan perdagangan bebas internasional.

David Trubek, et.al dalam Globalization and the Law, mencatat bahwa
konsensus ini berhasil menyebar dari Amerika Serikat ke Eropa
Kontinental, Eropa Timur, Amerika Latin, dan Asia melalui Bank Dunia,
IMF, bank regional, dan GATT. Penyebarannya yang cepat itu merupakan
bagian dari gejala globalisasi.

Duncan Kennedy, profesor yurisprudensi dari Harvard Law School, dalam
tulisannya The Three Globalization of Law and Legal Thought: 18502000,
mengkonsepsikan tiga tahap globalisasi hukum dan pemikiran hukum. Dan
globalisasi ini muncul sebagai fenomena terbentuknya orde dunia (world
system) yang ditandai oleh adanya institusi internasional. Dalam
perjalanannya, globalisasi mencoba mengakomodasi berbagai ragam ideologi
politik dan pemikiran tentang sosial ekonomi. Globalisasi yang terjadi
melalui hukum dan pemikiran hukum itu sekaligus juga menimbulkan
globalisasi nilai di bidang ekonomi, politik, dan sosial.

Globalisasi Pertama menurut Kennedy terjadi pada 18501914, dimulai dari
penyebaran nilai liberal dalam perekonomian sebagaimana tecermin dalam
Napoleonic Code, yang merupakan sumber Kitab Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek) kita. Penekanan dalam periode ini meliputi soal kebebasan dan
kebendaan individu. Dari sudut hukum ekonomi internasional, periode ini
menyaksikan munculnya konsep tentang perdagangan bebas dan gold
standard. Pemikiran hukumnya banyak bersumber dari FK von Sa­vigny dan
berhasil masuk ke Inggris serta Amerika dalam bentuk positivisme hukum
(legal positivism).

Indonesia sendiri mengalami Globalisasi Pertama dalam statusnya sebagai
koloni Hindia Belanda. Sebagai koloni, pluralisme hukum terbentuk antara
hukum Barat yang hidup berdampingan dan sistem hukum adat/lokal yang ada
di Indonesia saat itu.

Tahun 1900 adalah awal Globalisasi Kedua, yang juga dinamakan ”The
Social”. Periode ini bertahan 68 tahun. Penekanannya pada perombakan
struktur/kelas sosial, keadilan sosial, nasionalisme, lokalisme,
sosialisme/komunisme, dan jaringan sosial. Nilai individualisme diganti
dengan nilai kepentingan bersama. Hukum ditegakkan guna mencapai tujuan
sosial tertentu. IMF, Bank Dunia muncul sebagai akibat Bretton Woods,
lalu GATT menyusul, dan ekonomi pasar mulai ditinjau kembali. Periode
ini ditandai dengan adanya semacam kebutuhan akan suatu tatanan
internasional yang lebih berperan dalam perekonomian. Friksi antara
kapitalisme dan komunisme juga terjadi dalam masa ini.

Dalam sejarah republik kita, Globalisasi Kedua berlangsung paling lama:
sejak kemerdekaan sampai akhir Orde Baru. Ada nilainilai nasionalisme
dan pluralisme hukum yang masuk sebelum kemerdekaan. Sedangkan masa
setelah Orde Baru ditandai dengan masuknya aliran hukum ”Law and
Development” sesuai dengan anutan elite hukum di Indonesia. Pemerintah
saat itu pun melihat manfaat untuk mengkonsepsikan hukum dan pranata
hukum, termasuk cabang yudikatif, sebagai alat dan sarana tujuan
tertentu, yaitu ”pembangunan”.

Namun, pada saat yang sama sebenarnya sudah terjadi sejak 1945 mulai
berkembang nilai-nilai lain yang menjadi dasar dari pemikiran hukum
kontemporer (Globalisasi Ketiga) sebagai hasil sintesis Classical Legal
Thought dengan The Social. Dalam periode ini, kebijakan dan
neoformalisme menjadi lebih penting. Nilai yang mengalami globalisasi
adalah hak asasi manusia, nondiskriminasi, rule of law, federalisme,
otonomi daerah, konstitusionalisme, termasuk peraturan prudensial, Basel
II, good corporate governance, serta konsep baru tentang regulasi pasar
(the pragmatically regulated market). Globalisasi ini juga menghasilkan
the European Commission, NAFTA, dan WTO.

Di Indonesia, nilai-nilai sosiopolitik dari Globalisasi Ketiga sempat
menimbulkan friksi dengan institusi hasil Globalisasi Kedua, khususnya
pada tahun 1980an, dengan semakin berkembangnya kesadaran tentang hak
asasi manusia. Penekanan pada peraturan prudensial, good corporate
governance dan compliance mulai berkembang pesat pada 2000 ke atas,
menyusul krisis Asia dan skandal ­Enron.

Nilai neoliberalisme bisa jadi menyebar melalui antara lain IMF dan Bank
Dunia di Indonesia. Namun, dari sudut teori Kennedy, peran institusi
tersebut hanya merupakan bagian kecil dari proses globalisasi yang
kompleks, dengan banyak nilai yang tumpang tindih pada saat bersamaan.
Kritik muncul lebih karena kekhawatiran adanya dominasi berlebihan dari
Amerika Serikat terhadap Indonesia.

*Proyek Rule of Law*
Alvaro Santos mencatat bahwa sampai 2006, Bank Dunia telah melaksanakan
330 proyek rule of law. Proyek rule of law dilaksanakan atas keyakinan
Bank Dunia bahwa ekonomi pasar tidak mungkin terbentuk tanpa suatu
pranata hukum yang pasti, efisien, dan dapat dilaksanakan seba­gaimana
mestinya (a predictable, efficient, and enforceable legal order). Alasan
lainnya, proyek rule of law memungkinkan Bank Dunia/IMF masuk ke proses
reformasi sistem hukum negara penerima bantuan, secara ”apolitis” sesuai
dengan mandat pendirian lembaganya. Padahal bisa jadi ada motivasi
tertentu yang tersirat dari partisipasi pihakpihak tersebut.

Bagaimanapun, yang jelas, proyek rule of law dan penyebaran The
Washington Consensus berakibat pada nilai ”neoliberal” menjadi bagian
dari alam sadar hukum Indonesia kontemporer. Antara lain, norma hukum
Common Law mulai masuk dan berinteraksi dengan nilai keperdataan yang
berakar pada tradisi hukum Eropa Kontinental klasik abad ke19.

Dua produk pertama yang paling jelas mencerminkan proses sintesis
tersebut adalah produk tahun 1995, yaitu UndangUndang tentang Perseroan
Terbatas dan UndangUndang tentang Pasar Modal. Ciri penting dari kedua
undangundang tersebut adalah masuknya beberapa doktrin dan prinsip hukum
yang selama itu dianggap berasal dari tradisi Common Law. Doktrin yang
selama ini hanya ditemukan Common Law seperti manipulasi pasar,
pemisahan kepemilikan efek, kewajiban fidusia bagi direksi dan
komisaris, dan piercing the corporate veil berhasil menjadi bagian
integral dari hukum kita.

Setelah krisis pada 1998, reformasi hukum ekonomi kembali menjadi
prioritas pertama akibat, antara lain, peran IMF dan Bank Dunia saat
itu. Dalam proses itu, Indonesia harus setuju untuk melakukan tidak saja
perubahan beberapa kebijakan pokok tetapi juga reformasi beberapa
pranata penting perekonomian. Beberapa produk dari periode itu adalah di
bidang kepailitan, perbankan, jaminan fidusia, antimonopoli, selain
perombakan sektor dan pengaturan perbankan. Segenap produk hukum ini
telah menjadi komponen dan fondasi penting dari pranata hukum ekonomi
yang ada kini.

*Sintesis dan Proses*
Teori globalisasi hukum membuktikan bahwa dalam perspektif hukum, nilai
neoliberal tidak pernah masuk sendirian. Khususnya nilai neoliberal dari
The Washington Consensus masuk di Indonesia sebagai bagian dari
Globalisasi Ketiga, bersamaan dengan peraturan prudensial, good
corporate governance, demokratisasi, dan reformasi di bidang keuangan
negara.

Selain itu, dalam pluralisme hukum yang ada, neoliberalisme hanya bisa
menyusup melalui suatu sintesis. Ini terjadi antara lain lantaran konsep
kunci perekonomian dan hukum kita khususnya pada masalah kebendaan
(property rights)—baik secara konstitusional maupun konteks
perundangan—masih menganut nilai kepemilikan bersama atau oleh negara.
Prinsip umum yang berlaku adalah beberapa benda dan hak khususnya yang
bersifat strategis bagi perekonomian negara harus sebanyakbanyaknya
digunakan untuk kemakmuran rakyat.

Dan khususnya sejak amendemen UUD 1945 dan reformasi hukum di bidang
perbendaharaan dan keuangan ne­gara beberapa tahun ini, sektor publik
(public finance) dan peran pemerintahan dan bahkan DPR dalam
perekonomian menjadi lebih besar daripada sebelumnya. Ini dapat dilihat
dari konsep keuangan negara dalam arti luas dalam bebe­rapa peraturan
seperti Undang-Undang tentang Keuangan Negara, Perbendaharaan Negara,
dan BUMN.

Ini tidak berarti bahwa proses penyebaran The Washington Consensus ke
dalam hukum Indonesia selama ini sempurna. Perdagangan bebas tidak
selalu harus dibarengi dengan pemilikan asing sebesarbesarnya, apalagi
da­lam sektor penting seperti perbankan. Produk zaman Hin­dia Belanda
seperti Kitab Hukum Perdata dan Kitab Hu­kum Pidana, produk hasil
globalisasi tahap pertama abad ke19, harusnya diupayakan untuk segera
diubah kare­na sudah ketinggalan zaman. Harus ada keberanian un­tuk
meng­adopsi konsep penting seperti ”Trust” dalam undangundang yang di
negara Civil Law lain saja sudah di­anut. Tidak kalah penting, proses
reformasi hukum yang ti­dak dapat terus didominasi dan dikendalikan oleh
kalang­an teknokrat ekonom dan nonahli hukumnya karena meng­a­kibatkan
marginalisasi kaum profesional dan akade­misi hukum dalam hukum itu
sendiri. Sudah saatnya un­tuk le­bih merangkul kalangan profesional,
akademisi, dan praktisi hukum Indonesian sendiri, yang pembentukannya
banyak telah dipengaruhi oleh proses Globalisasi Ketiga.

Namun kesimpulannya tetap sama sebagaimana diungkapkan di awal. Dari
perspektif hukum, sulit dikatakan bahwa ”neoliberalisme” (The Washington
Consensus) telah berdampak negatif pada perkembangan Indonesia. Justru
sebaliknya, penyebaran nilai tersebut telah membuat iklim berusaha dan
investasi di Indonesia kini lebih baik, transparan, dan fair daripada
masamasa sebelumnya.
*Melli Darsa*, Ahli Hukum

http://tempointeraktif.com/hg/kolom/2009/06/15/kol,20090615-86,id.html
Share this article :

0 komentar: