BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kerakyatan atau Neolib?

Kerakyatan atau Neolib?

Written By gusdurian on Jumat, 19 Juni 2009 | 12.47

Kerakyatan atau Neolib?


Oleh *Siswono Yudo Husodo*

Kini sedang ramai dipertentangkan gagasan neoliberalisme (disingkat
neolib) dengan gagasan ekonomi kerakyatan.

Meski saya menghargai maksud baik setiap kubu di balik diskusi memanas,
perlu disadari, perdebatan sudah berlangsung tak proporsional dan
kontekstual.

Seiring dengan krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat, dunia sedang
menata kembali tata ekonominya. Para pemimpin negara besar dalam G-20
terus berusaha menjinakkan aspek negatif praktik kapitalisme dan
liberalisme yang menyebabkan bubble economy, pertumbuhan yang tidak
berdasarkan kegiatan ekonomi riil dan operasi lembaga keuangan yang tak
terawasi dan menyuburkan spekulasi. Namun, penataan itu tak mungkin
menanggalkan fakta bahwa globalisasi membuat interdependensi ekonomi
antarnegara berlangsung lebih dalam daripada era mana pun dalam sejarah.

Keruntuhan komunisme pada akhir 1980-an juga membuat praktik ekonomi
berwarna liberal kapitalistik dengan ekonomi yang efisien, produktif,
berdaya saing berdasarkan kreativitas individual dalam pasar lebih
bebas, dilaksanakan oleh nyaris segenap bangsa di dunia. Negara-negara
berkembang yang sedang maju dengan fenomenal, seperti India dan China,
juga memberlakukan prinsip-prinsip liberal kapitalistik setelah
mereformasi perekonomiannya sejak 1978.

Majunya negara-negara yang menerapkan liberal kapitalisme, seperti
Jepang tahun 1970-an, disusul Korea Selatan dan Taiwan tahun 1980-an,
membuka mata elite China pada sistem liberal kapitalisme sebagai
alternatif realistis untuk memajukan ekonomi nasionalnya. Dalam
perkembangannya, China melakukan privatisasi BUMN, liberalisasi sektor
keuangan dan perdagangan, serta deregulasi, hal-hal yang dianjurkan
dalam Washington Consensus, yang dirumuskan Presiden Ronald Reagan dan
PM Margaret Thatcher awal 1980-an. China menyebut pencangkokan sistem
kapitalisme dalam ekonominya sebagai sosialisme berkarakteristik China.
China melejit pesat menjadi negara paling menarik bagi arus investasi
global. Hari ini, 30 tahun setelah reformasi ekonominya, ia tampil
sebagai pemain yang diharapkan berperan penting menyelamatkan
perekonomian dunia yang dilanda krisis. India yang semula sosialistik
dan tertutup melakukan pendekatan liberal kapitalistik, mereformasi
ekonominya sejak awal 1990-an. Dalam satu dasawarsa terakhir India maju
pesat.

*Peran kuat negara*

Masalahnya, tak semua bangsa dapat memetik sukses dalam melakukan
reformasi ekonomi dan menjalankan ekonomi bercorak liberal kapitalistik.
Ada bangsa yang dapat maju dan ada yang merosot. Tak ada resep baku bagi
setiap bangsa untuk menjalankan sebuah sistem ekonomi nasional dengan
corak liberal kapitalisme di dalamnya. Semua tergantung dari kondisi
internal tiap negara. Yang menarik, semua negara berkembang Asia yang
sukses memiliki peran negara yang kuat dan konstruktif terhadap pasar.

Negara ada di atas pasar, melakukan pengaturan dan bentuk-bentuk
intervensi dalam perekonomian secara tepat. Mustahil pasar bisa mengatur
diri sendiri untuk bisa tumbuh harmonis. Kebebasan yang berlebihan di
pasar senantiasa mengundang moral hazard; praktik kapitalisme dan
liberalisme menghasilkan kompetisi tidak berimbang antara pemodal besar
dan kecil, serta hancurnya industri nasional karena gempuran produk
impor atau lepasnya mayoritas kepemilikan aset-aset prospektif kepada
pihak asing.

Privatisasi BUMN China dilakukan dengan menjual saham kepada warga China
sendiri. Pemerintah China memfasilitasi kegiatan impor besar-besaran
produk pangan untuk menimbun stok saat harga komoditas yang tidak bisa
diproduksi China itu sedang jatuh di pasaran dunia. Tata, produsen mobil
India, memproduksi secara massal mobil murah setelah Mittal, raksasa
baja swasta India, difasilitasi menjadi pemain terbesar dunia dengan
mengakuisisi pabrikan baja terbesar Eropa, Arcellor. Dengan demikian,
baja yang harus diimpor India untuk membangun mobil nasionalnya
diproduksi perusahaan India juga.

AS sebagai negara motor sistem liberal kini sibuk menyelamatkan industri
nasionalnya dengan menggunakan cadangan devisa berjumlah triliunan
dollar AS. Bila AS benar-benar begitu liberal, tentu peran negara harus
dihindarkan dari kegiatan ekonomi. Namun, kebangkrutan berbagai
perusahaan AS atau dikuasai pihak asing bukan hal yang dipilih AS. Apa
yang dilakukan China, India, dan AS menunjukkan, diberlakukannya prinsip
liberal kapitalisme tidak menghalangi negara untuk membangun kemandirian
bangsa yang secara fisik diwujudkan antara lain dalam mobil, kereta api,
komputer, dan barang elektronik buatan sendiri.

*Orientasi baru*

Kehidupan ekonomi nasional kita ke depan perlu mendapat orientasi baru
dan aspek-aspek positif liberal kapitalisme perlu diterima sebagai etos
ekonomi modern. Ketepatan peran negara dalam ekonomi, seperti dilakukan
pemerintah negara-negara di atas, seharusnya menjadi pusat perdebatan
mengenai pengelolaan ekonomi nasional ke depan.

Membicarakan kebijakan ekonomi nasional tak lepas dari posisi kita
sebagai negara berkembang berpasar amat besar, penghasil bahan mentah
dan agraris, dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan tinggi. Kita
harus jujur mengakui, banyak pengaturan ekonomi negara pada masa lalu
hingga kini kurang tepat.

Pada masa lalu, BUMN menjadi tempat penyalahgunaan uang negara. Berapa
banyak BUMN dan BUMD harus terus disuntik modal baru? Kehadiran BPPC
justru menghancurkan pertanian cengkeh. Menaikkan pajak ekspor CPO saat
harga dunia sedang naik merugikan petani. Kebijakan pajak atas impor
produk jadi yang lebih rendah dari impor komponen menghancurkan industri
dalam negeri. VLCC milik Pertamina dijual saat harga baja dunia sedang
murah. Berapa kerugian negara? Kebijakan yang tidak mewajibkan eksportir
menyimpan devisa di perbankan nasional adalah keliru. Kepiawaian
pemerintah menggunakan kekuasaan negara atas pasar adalah hal yang kita
perlukan.

Kepada tiap capres-cawapres, kita berharap, muncul pikiran segar untuk
membangun bangsa mandiri dengan kebijakan ekonomi guna mempercepat
kesejahteraan rakyat. Para investor hendaknya tidak membuat rakyat
tereksploitasi. Kemandirian itu penting dan orientasi kerakyatan berarti
memperkuat basis ekonomi di masyarakat bawah dengan memberikan peluang
memiliki aset-aset produktif untuk meningkatkan penghasilan.

Kita memerlukan modal asing untuk memperkuat kemajuan negara. Tetapi,
apa itu perlu di tambang batubara yang openpit dan pasar tersedia atau
di perbankan dan telekomunikasi yang berpengaruh besar pada kestabilan
ekonomi dan keamanan?

Mengingat besarnya investasi yang diperlukan, dan negara belum mampu,
silakan Freeport dan Newmont berkiprah selama adil bagi negara, daerah,
dan masyarakat setempat. Pembatasan peran asing di pasar modal perlu
dipertimbangkan karena potensi bahaya hot money.

Sebenarnya, baik unsur ekonomi kerakyatan maupun ekonomi liberal
kapitalistik diperlukan untuk membangun negara, tetapi dengan proporsi
yang pas.

*Siswono Yudo Husodo* /Ketua Yayasan Pendidikan Universitas Pancasila

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/17/02580785/kerakyatan.atau.neolib
Share this article :

0 komentar: