Menimbang Sistem Pemilu Campuran
Oleh Refly Harun Pengamat Hukum Tata Negara dan Pemilu Centre for
Electoral Reform (Cetro)
T IGA kali pemilu pada era Reformasi-– Pemilu 1999, Pemilu 2004, dan
Pemilu 2009—-terbilang sukses, terlepas dari segala kekurangan dan
kecurangan yang terjadi. Lembaga semacam The Carter Center, misalnya,
turut memuji pelaksanaan pemilupemilu di era Reformasi. Untuk Pemilu
2009, lembaga yang dibangun mantan Presiden AS Jimmy Carter tersebut
menulis dalam situs mereka, “The Carter Center congratulates the people,
political parties, and National Election Commission (KPU) of Indonesia
on the generally peaceful April 9, 2009, legislative elections, the
third since the country’s democratic transition from the New Order of
former President Soeharto.” (The Carter Center mengucapkan selamat
kepada rakyat Indonesia, partai politik dan KPU atas terselenggaranya
Pemilu Legislatif 9 April 2009 yang relatif damai, pemilu ketiga sejak
transisi demokrasi dari Orde Barunya mantan Presiden Soeharto)
Pujian seperti itu tentu tidak bisa menghilangkan fakta begitu
bermasalahnya pemilu-pemilu di era Reformasi. Banyaknya parpol yang
bertanding, penerapan sistem pemilu proporsional terbuka yang
membingungkan pemilih, penghitungan suara yang lambat dan penuh
kecurangan, hingga menghadirkan ratusan kasus di Mahkamah Konstitusi
(MK), terlalu tersentralisasinya pelaksanaan pemilu di tangan KPU hingga
membuat lembaga itu kalang kabut sendiri, kualitas calon terpilih yang
meragukan, adalah sebagian soal yang segera membutuhkan jawaban
Pelaksanaan pemilu seperti itu tidak bisa dipertahankan, harus dilakukan
langkah-langkah perbaikan. Salah satunya dengan meninjau ulang sistem
pemilu yang ada. Sebagai wacana awal mengubah sistem pemilu, tulisan ini
mengajukan sistem pemilu campuran (mixed system), seperti banyak
diterapkan negara-negara demokrasi baru di Afrika dan bekas Uni Soviet
(www.aceproject.org) untuk menggantikan sistem proporsional yang telah
diterapkan sejak Pemilu 1955
Sistem ini pernah ditawarkan Centre for Electoral Reform (Cetro)
menjelang Pemilu 2004, tetapi tidak mendapatkan tanggapan yang memadai
saat itu
Kompromi dua ekstrem Perdebatan tentang sistem pemilu sering bergerak
dalam kutub ekstrem. Mereka yang menilai sistem proporsional bermasalah
segera tertarik dengan sistem mayoritarian (pluralitas-mayoritas), atau
yang secara salah kaprah disebut dengan sistem distrik, demikian pula
sebaliknya
Padahal, baik sistem proporsional maupun sistem distrik tidak sepenuhnya
baik dan memang tidak ada sistem pemilu yang sempurna
Setiap sistem pemilu pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Pilihan
bergantung pada kebutuhan di mana sistem itu diterapkan
Di Indonesia, kebutuhan paling nyata adalah menghasilkan wakil rakyat
yang akuntabel di satu sisi dan penguatan sistem kepartaian di sisi
lain, yang pada gilirannya berujung pada penguatan sistem pemerintahan
presidensial. Sistem distrik kerap dianggap lebih berdaya untuk
menghasilkan wakil rakyat yang akuntabel, tetapi lemah dalam penguatan
sistem kepartaian karena peranan partai menjadi lebih minim
Sistem proporsional dinilai sebaliknya, partai terlalu dominan dan calon
kurang mendapatkan insentif untuk berdekat-dekatan dengan konstituen
Bagi mereka, berada di lingkaran elite partai jauh lebih strategis dan
menentukan
Untuk mengompromikan keduanya, Indonesia menerapkan sistem proporsional
dengan daftar terbuka sejak Pemilu 2004. Dari segi pelaksanaan, sistem
itu ternyata sangat rumit, memunculkan banyak ketidakpastian karena
proses atau rantai penghitungan suara yang terlalu panjang dan lama,
plus biaya pemilu yang sangat mahal. Dari sisi hasil, ditambah dengan
penerapan suara terbanyak, sistem itu hanya menghasilkan calon populer
tanpa kejelasan kapasitas dan track record
Dengan mixed system diharapkan terjembatani masalah popularitas dan
kapasitas, termasuk masalah akuntabilitas dan penguatan parpol
Mixed system adalah sistem pemilu yang menerapkan sekaligus sistem
proporsional (tertutup) dan sistem distrik. Kursi disediakan melalui dua
jalur, jalur distrik dan jalur proporsional
Persentase kursi kedua jalur tersebut bervariasi di antara negara-negara
yang menerapkan sistem ini. Di Lesotho pascakonfl ik, misalnya, kursi
dibagi ke dalam 80 kursi distrik dan 40 kursi proporsional, sedangkan di
Jerman ada 299, masing-masing kursi untuk jalur distrik dan proporsional
Dengan jumlah kursi DPR sekarang, sebanyak 560, dengan mixed system bisa
dibuat 280 kursi distrik dan 280 kursi proporsional (fi fty-fi fty)
Nantinya akan ada 280 distrik pemilihan untuk anggota DPR. Setiap
distrik hanya merebutkan satu kursi (single member district)
Pemilih akan diberikan satu surat suara yang memuat dua kolom, yaitu
kolom lambang parpol (untuk kursi proporsional) dan kolom namanama calon
(untuk kursi distrik). Bila ada 38 parpol yang ikut pemilu seperti
Pemilu 2009, surat suara hanya akan memuat 38 lambang parpol dan
maksimal 38 nama calon. Dikatakan maksimal karena setiap parpol hanya
boleh mengajukan satu calon untuk setiap kursi distrik, tetapi bisa juga
parpol tidak memiliki calon di distrik tertentu. Dengan demikian, mudah
bagi pemilih untuk mengenal para caleg, terlebih bila parpol yang ikut
semakin sedikit
Pemilih diharuskan memilih parpol dan caleg sekaligus. Caleg yang
dipilih tidak harus berasal dari parpol yang dipilih. Bisa jadi pemilih
memilih parpol A, tetapi calegnya dari parpol B. Caleg yang mendapatkan
suara terbanyak di distrik langsung terpilih karena mendapatkan mandat
langsung dari rakyat (the winner takes all)
Untuk kursi proporsional yang berjumlah 280 akan ditentukan berdasarkan
proporsi perolehan suara tiap-tiap parpol. Caleg yang terpilih
ditentukan dari daftar yang diajukan parpol, seperti Pemilu 1999 atau
pemilu-pemilu di era Orde Baru. Mereka nantinya akan disebar ke dapil
sehingga satu dapil akan diwakili dua orang, satu dari kursi distrik dan
satu dari kursi proporsional
Penyebaran ke dapil terhadap kursi proporsional adalah soal teknis yang
bisa dibahas kemudian
Untuk penyederhanaan parpol, parliamentary threshold (PT) tetap bisa
diterapkan. Misalnya, hanya parpol yang memperoleh minimal 3% suara yang
berhak atas kursi proporsional. Bila diterapkan pada hasil Pemilu 2009,
berarti hanya sembilan parpol yang memperoleh kursi proporsional
Sembilan parpol itulah yang akan terwakili di parlemen dan membentuk
fraksi. Calon dari parpol lain yang terpilih melalui kursi distrik tidak
diperbolehkan membentuk fraksi sendiri. Mereka harus bergabung dengan
fraksi yang dibentuk parpol yang lolos PT. Tujuannya tidak lain adalah
agar ada penyederhanaan jumlah parpol di parlemen. Secara teoretis,
kursikursi distrik pun akan dikuasai parpol yang lolos PT sehingga tidak
ada urgensinya memberikan hak bagi caleg-caleg yang terpilih dari kursi
distrik untuk membentuk fraksi tersendiri
Dengan mixed system, parpol bisa mengompromikan popularitas dan kualitas
caleg. Caleg populer dapat dinominasikan untuk kursi distrik, sedangkan
yang berkualitas namun kurang populer dapat dinominasikan untuk kursi
proporsional. Intinya, calon tidak boleh dinominasikan untuk kursi
distrik dan proporsional sekaligus. Cara itu akan mengompromikan dua
kebutuhan DPR, yaitu ada caleg yang memang dikenal konstituennya dan
berjuang bagi kepentingan mereka, tetapi ada pula caleg yang memang
berkualitas sehingga mampu menjalankan tugas-tugas DPR secara baik di
bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan
Tulisan ini baru merupakan lontaran awal
Penjelasan lebih jauh tentang kelebihan dan juga kekurangan mixed system
bisa diberikan dan tentu didiskusikan lebih lanjut. Yang jelas, sistem
pemilu saat ini, yang menyebabkan infl asi caleg dan kerumitan
pelaksanaan pemilu plus calon terpilih yang mengecewakan, tidak
seharusnya dipertahankan. Harus ada terobosan-terobosan brilian untuk
memperbaiki keadaan sekarang demi pemilu yang lebih baik di masa datang.
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/06/24/ArticleHtmls/24_06_2009_022_003.shtml?Mode=0
Menimbang Sistem Pemilu Campuran
Written By gusdurian on Rabu, 24 Juni 2009 | 11.44
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar