BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Menabrak Aturan Kampanye di Televisi

Menabrak Aturan Kampanye di Televisi

Written By gusdurian on Rabu, 24 Juni 2009 | 12.00

Menabrak Aturan Kampanye di Televisi

*Dandhy D. Laksono*
WARTAWAN LEPAS

Sabtu sore (13 Juni) setelah program /Seputar Indonesia/ di /RCTI/,
calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono tiba-tiba muncul di layar,
berkampanye. Siaran tunda berdurasi 30 menit tersebut berlokasi di
Malang, Jawa Timur. Sehari kemudian, /RCTI/ kembali menyiarkan kampanye
SBY di Kendari, Sulawesi Tenggara. Kedua kampanye ini tertutup dan
terbatas, tapi ditonton jutaan pemirsa /RCTI/.

Acara ini tanpa identitas program atau keterangan apa pun di layar,
termasuk penanggung jawab dan susunan tim yang terlibat (/credit
title/). Tak ada iklan pihak lain. Bahkan ada segmen sepanjang 15 menit
tanpa /commercial break/ sama sekali. Di stasiun televisi komersial,
"kemewahan" seperti ini hanya akan diberikan kepada mereka yang membeli
durasi siaran secara /blocking time/.

Siaran itu berbeda dengan /talk show/ atau mimbar para calon presiden
yang dilakukan televisi lain, seperti /Ring Politik/ (/ANTV/), /Satu Jam
Lebih Dekat/ (/TV One/), /Kick Andy/ (/Metro TV/), atau /Barometer/
(/SCTV/). Dalam program-program tersebut, dimungkinkan ada unsur
kampanye, tetapi ada pihak lain yang mengomentari, menggali, mengkritik,
bahkan mendebat. Ada proses dialog. Bukan monolog. Redaksi juga memiliki
otoritas mengarahkan isinya.

Minggu malamnya (14 Juni), /Metro TV/ juga menayangkan acara kampanye
Jusuf Kalla di Cilincing, Jakarta Utara. Program ini diberi judul
(/bumper in/) "/JK Pemimpin Bersama Rakyat/". Format acaranya sama:
sekitar 30 menit, panggung itu hanya untuk JK. Di akhir program, /Metro
TV/ menyertakan susunan kru, menandakan bahwa program ini dibuat redaksi
/Metro TV/.

Sampai di sini, sepintas tidak ada masalah, karena kampanye pemilihan
presiden memang telah dimulai sejak 2 Juni. Ini berbeda dengan kasus
/Metro TV/ dan /TVRI/ yang juga dilaporkan ke polisi karena menyiarkan
kegiatan politik SBY-Boediono yang oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
diyakini sebagai kampanye di luar jadwal.

Masalahnya, kampanye SBY dan JK yang ditayangkan sepanjang 30 menit di
/RCTI/ atau /Metro TV/ itu masuk kategori apa dalam aturan kampanye: (1)
pemberitaan kampanye, (2) penyiaran kampanye, atau (3) iklan kampanye?
Kategorisasi itu penting, karena lembaga penyiaran tidak boleh
mengelabui penonton dengan mengemas sebuah iklan politik seolah-olah
program yang memiliki nilai berita. Pasal 52 Undang-Undang No. 42/2008
tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden menyatakan: "media massa
cetak dan lembaga penyiaran dilarang menjual /blocking segment/ dan/atau
/blocking time/ untuk kampanye." Pada poin 2 pasal yang sama,
disebutkan: "media massa cetak dan lembaga penyiaran dilarang menerima
program sponsor dalam format atau segmen apa pun yang dapat
dikategorikan sebagai iklan kampanye."

Lantas, apa itu /blocking time/? /Blocking time/ secara umum di dunia
penyiaran adalah penguasaan durasi tayang oleh pihak tertentu secara
eksklusif. Bila sebuah lembaga membeli 30 menit, sepanjang waktu itu
pula ia berhak mengisi program tanpa materi dari pihak lain, termasuk
iklan. Tapi pengertian ini agak berbeda dengan penjelasan Undang-Undang
Pemilu Presiden tentang /blocking time/. Dalam undang-undang ini,
/blocking time/ dipahami sebagai "hari/tanggal penerbitan media cetak
dan jam tayang pada lembaga penyiaran yang digunakan untuk keperluan
pemberitaan bagi publik".

Jadi, /blocking time/ yang haram adalah /blocking time/ atas jatah
durasi pemberitaan bagi publik, bukan durasi program lain. Maka, bila
/RCTI/ atau /Metro TV/ menempatkan kampanye SBY dan JK itu di luar
durasi pemberitaan, itu sama sekali tidak melanggar. Benarkah?
Sebenarnya yang disebut program berita tidak hanya buletin 30 menitan
seperti /Seputar Indonesia/ atau /Metro Hari Ini/. Dalam Pedoman
Perilaku Penyiaran yang dikeluarkan KPI, dikenal dua kategori program:
faktual dan non-faktual. Yang dimaksud sebagai program faktual adalah
berita, /feature/, dokumenter, /talk show/, jajak pendapat, atau (ini
dia) pidato!

Pidato SBY dan JK jelas masuk kategori program faktual. Pada kategori
ini, dia tunduk kepada ketentuan-ketentuan yang sama dengan
prinsip-prinsip jurnalistik, seperti keberimbangan. Jadi, meski kampanye
itu di luar jam siaran berita reguler, bukan berarti bebas melakukan
/blocking time/. Namun, apakah Bawaslu, Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI), atau Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah bersama merumuskan aturan
main sedetail dan seteknis mungkin, sehingga lembaga penyiaran tidak
memanfaatkan celah?

Bila kedua program itu terkena delik /blocking time/, ketiga otoritas
tersebut mestinya tidak ragu bertindak dan menjatuhkan sanksi, dari yang
ringan (teguran tertulis) hingga paling berat (pencabutan izin lembaga
penyiaran). Lembaga penyiaran bisa berdalih, tayangan itu bukan iklan,
melainkan inisiatif mereka, karena bernilai berita. Dengan argumen ini,
berarti lembaga penyiaran mengkategorikannya sebagai pemberitaan
kampanye (pasal 47).

Bila ini argumentasi yang diajukan, justru terlihat sejumlah
kejanggalan. Pertama, sebagai pemberitaan, kedua program itu tidak
memiliki unsur keberimbangan. Substansi kampanye SBY dan JK tentu
memiliki nilai berita. Tetapi sepanjang 30 menit? Bagaimana dengan
kampanye kandidat lain yang ada di hari yang sama?

Kedua, program /RCTI/ tidak mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai
program berita, yang biasanya ditandai dengan kemunculan nama program,
keterangan gambar, atau nama-nama kru yang bekerja di balik program itu.
Ciri-cirinya mirip iklan atau advertorial. Sedangkan di /Metro TV/,
meski terdapat nama kru, judul programnya "/JK Pemimpin Bersama
Rakyat/". Judul ini lebih tepat disebut advertorial daripada produk
jurnalistik.

Tapi dalam Undang-Undang Pemilu Presiden ada celah yang mungkin dipakai
sebagai argumentasi oleh lembaga penyiaran, yakni tentang “penyiaran
kampanye” (pasal 50). “Penyiaran kampanye” yang dimaksud pasal 50 bisa
dilakukan lembaga penyiaran "dalam bentuk siaran monolog, dialog yang
melibatkan suara dan/atau gambar pemirsa, atau suara pendengar, serta
jajak pendapat".

Tapi UU Pemilu Presiden tidak mengatur lebih jauh tentang ketentuan
penyiaran kampanye ini. Celah inilah yang ada kemungkinan bisa
"menyelamatkan" /RCTI/ dan /Metro TV/ dari delik /blocking time/ atau
"berita yang disponsori". Namun, KPI dan Bawaslu tak boleh "terkecoh".
Sebab, meski “penyiaran kampanye” tidak diatur secara detail, menurut UU
No. 32/2002 tentang Penyiaran, lembaga penyiaran tidak boleh bersikap
partisan. Bisa juga menggunakan aturan lain, seperti UU Pers No.
40/1999. Jangankan pemberitaan, iklan kampanye yang membayar pun harus
tunduk kepada prinsip pemberian kesempatan dan perlakuan yang setara
bagi para kandidat (pasal 51). Dengan semangat yang sama, mestinya
“penyiaran kampanye” dipahami.

Industri televisi adalah bisnis yang /highly regulated/ karena
menyangkut domain publik dan penggunaan sumber daya alam yang terbatas,
bernama frekuensi. Penguasaan frekuensi oleh pebisnis tertentu harus
disertai tanggung jawab sosial dengan tidak menggunakannya untuk
kepentingan politik partisan atau kepentingan bisnisnya sendiri. Publik
berharap, KPI, Bawaslu, dan KPU bisa bertindak tegas, bila kedua stasiun
televisi itu benar-benar melanggar aturan.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/24/Opini/krn.20090624.169048.id.html
Share this article :

0 komentar: