BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Balada Negeri Pecandu Rokok

Balada Negeri Pecandu Rokok

Written By gusdurian on Rabu, 24 Juni 2009 | 11.35

Balada Negeri Pecandu Rokok
*DUA* berita besar dari industri rokok merebak berurutan dua pekan ini.
Pertama, transaksi penjualan 85 persen saham PT Bentoel International
Investama (RMBA) senilai hampir Rp 5 triliun minggu lalu. Kedua,
meninggalnya Presiden Komisaris PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) Angky Camaro
di RS Mount Elizabeth, Singapura, Senin (22/6). Di tengah merebaknya
kedua berita yang mendapatkan liputan luas itu, muncul kabar perombakan
pucuk pimpinan Gudang Garam, pabrik rokok terbesar kedua setelah HM
Sampoerna.

Rokok memang pantas mendapatkan lampu sorot di panggung pemberitaan. Di
negeri berpenduduk hampir 270 juta ini, produk yang menawarkan
kenikmatan mengisap asap itu tidak lagi sekadar urusan kesehatan, namun
sudah jauh menjangkau urusan kepul asap dapur rumah tangga sampai
pemerintah.

Hasil penelitian Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan, saat ini,
Indonesia mengonsumsi 250 miliar batang rokok per tahun. Ini terbesar
ketiga setelah Tiongkok dan India. Di kawasan regional, Indonesia
menyumbang hampir separo (46 persen) jumlah perokok di kawasan Asia
Tenggara.

Data terakhir tentang belanja rokok pada 2005 menunjukkan, uang yang
dikeluarkan masyarakat Indonesia untuk membeli rokok -di luar
pengobatan- mencapai Rp 103,5 triliun.

Bagi pengusaha yang selalu mengalkulasi potensi daerah dari besarnya
konsumsi, angka-angka tersebut bisa meneteskan air liur. Dan, air liur
itu, bisa jadi, sekarang sudah menjadi pancuran. Sebab, Indonesia
tercatat sebagai negara dengan regulasi perlindungan kesehatan dari
rokok sangat lemah karena belum meratifikasi Frame Convention Tobacco
Control (FCTC). Tiongkok dan India yang pasarnya lebih besar sudah
meratifikasi aturan tersebut.

Karena itu, Philip Morris dan British American Tobacco (BAT) yang terus
digencet di negerinya langsung berpaling ke Indonesia. Berahi akuisisi
tersebut semakin memuncak dengan adanya fakta bahwa mayoritas perusahaan
rokok Indonesia merupakan bisnis keluarga. Ketika sampai pada generasi
ketiga, pada awal abad ke-21, bisnis itu makin lemah. Para juragan asing
tersebut semakin girang karena pemerintah menyambut antusias kehadiran
mereka. Lagu lama tentang semakin bertambahnya penyerapan tenaga kerja
yang diikuti bertambahnya setoran cukai ke kantong pemerintah pun
diputar kembali.

Jika masyarakat kecanduan rokok, pemerintah kecanduan cukai. Parlemen
menambah kadar teler dari kecanduan pemerintah itu dengan menyetujui
pajak rokok yang akan berlaku mulai 2014. Seperti layaknya perilaku
pecandu, semua hal yang disebut akibat, efek samping, dan mudarat pun
menjadi kabur.

Padahal, pemerintah harus segera sadar bahwa di balik data yang
meneteskan air liur pengusaha tersebut terungkap pula data yang menguras
air mata. Jika konsumen rokok dicermati secara detail, ditemukan bahwa
70 persen perokok adalah masyarakat miskin. Separo jumlah itu adalah
generasi muda. Akibatnya, terjadilah transfer pendapatan perokok anak
dan orang miskin ke industri rokok. Uangnya mengalir ke kantong investor
asing, penyakit yang disebabkan asap rokok menyusup ke rongga dada
rakyat miskin dan generasi penerus bangsa.

Sekarang pemerintah tinggal memilih. Tetap memanjakan industri rokok
atau sebaliknya, mengendalikan mereka. Jangan sampai kecanduan segepok
fulus -yang sejatinya tak setara dengan biaya kesehatan plus biaya
sosial ekonomi- mengorbankan masa depan bangsa ini. (*)

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=76861
Share this article :

0 komentar: