BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Menggagas E-Voting

Menggagas E-Voting

Written By gusdurian on Jumat, 12 Juni 2009 | 14.01

Menggagas E-Voting

*Refly Harun,* Pengamat Hukum Tata Negara dan Pemilu Centre for
Electoral Reform (Cetro)

Inilah ilustrasi pemilu kita. Pemungutan suara dilakukan pada 9 April
2009. Hasilnya baru diumumkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU) satu bulan kemudian pada 9 Mei 2009, waktu maksimal yang
disediakan undang-undang. Itu pun masih menyisakan masalah di Nias
Selatan, yang hasil pemilunya tak bisa ditetapkan hingga tenggat akhir
penetapan hasil pemilu secara nasional oleh KPU terlampaui. KPU
menetapkan suara pemilu anggota DPR minus Nias Selatan, yang membuat
Badan Pengawas Pemilu meradang, menganggap bahwa penetapan tersebut
tidak sah.

Masalah selesai? Tidak. Masih ada hampir 700 sengketa hasil pemilu yang
dibagi dalam 69 berkas perkara yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi
(MK). Hingga pertengahan Juni, MK akan menyidangkan ratusan perkara
tersebut, yang jumlah persisnya pun tidak diketahui karena saking
banyaknya kasus yang masuk. Putusan MK yang mengabulkan permohonan akan
mengubah perolehan suara yang telah ditetapkan pada 9 Mei lalu.

Ketidakpastian pemilu berlangsung sangat lama. Yang paling
memprihatinkan, apa yang ditetapkan KPU bisa jadi tak semuanya
mencerminkan pilihan rakyat. Suara yang ditetapkan KPU bisa jadi
merupakan suara yang telah direkayasa. Terlebih penetapan calon anggota
legislatif terpilih menggunakan mekanisme suara terbanyak. Satu suara
bisa sangat menentukan kursi teraih atau melayang.

Semua karut-marut ini antara lain disebabkan oleh proses pemungutan
suara dan penghitungan suara yang rumit, berbelit, dan berjenjang,
sehingga berpotensi terjadi kecurangan. Rumit, karena pemilu legislatif
9 April memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
sekaligus. Banyak parpol yang bertanding dan terlalu banyak calon
legislator yang tercantum dalam surat suara. Mayoritas calon tersebut
tidak dikenal oleh pemilih.

Tidak mudah bagi pemilih untuk menentukan pilihannya, terutama pilihan
terhadap calon legislator yang mayoritas tidak mereka kenal. Tidak mudah
pula bagi petugas KPPS, PPK, dan KPUD untuk menyelesaikan penghitungan
suara karena yang dihitung bukan hanya perolehan suara parpol tapi juga
masing-masing calon legislator.

*Electronic voting*

Tulisan ini merekomendasikan perbaikan pemungutan dan penghitungan
suara. Untuk pemungutan suara, saya terinspirasi oleh pemilu India, yang
telah menerapkan /electronic voting (e-voting)/. Penerapan /e-voting/
dapat dipahami untuk pemilu sebesar India, yang merupakan negara
demokrasi terbesar di dunia--Indonesia terbesar ketiga setelah Amerika
Serikat. Dengan pemilih (/eligible voters/) lebih dari 700 juta, memang
tidak mudah melakukan penghitungan suara bila /e-voting/ tidak diterapkan.

Untuk konteks Indonesia, kendati pemilih “cuma” 170-an juta, pemilu kita
lebih kompleks dibanding India. India menerapkan sistem
pluralitas-mayoritas dengan varian /first past the post/ (FPTP), sistem
pemilu yang paling sederhana di dunia. Sedangkan Indonesia menerapkan
/proportional representation system/ (/PR system/) dengan varian
/opened-list PR system/ yang jauh lebih kompleks dari sisi penghitungan
suara. Bukan hanya suara parpol yang dihitung, tapi juga suara calon
dari setiap parpol. Ditambah dengan banyaknya parpol yang ikut
pemilu--hingga 38 parpol--kesulitan pemungutan dan penghitungan suara
tersebut bertambah-tambah. Pada titik ini, /e-voting/ makin urgen.

Yang dimaksudkan sebagai /e-voting/ bukanlah /online voting. E-voting/
hanyalah menggantikan fungsi surat suara. Sebelumnya pemilih diberi
surat suara dan harus melakukan pencontrengan, sedangkan dengan
/e-voting/ mereka hanya datang ke bilik suara dan melakukan
“pemencetan”. Di bilik suara akan ada semacam mesin yang menggantikan
surat suara. Mereka tinggal memencet parpol dan calon yang tertera di
mesin tersebut. Mesin inilah yang kemudian akan dibawa ke KPUD untuk
dilakukan rekapitulasi penghitungan suara.

Dengan /e-voting/, rantai penghitungan suara bisa dipangkas secara
signifikan. Penghitungan suara tidak perlu dilakukan di tiap TPS, begitu
pula tidak perlu ada penghitungan di PPK. Untuk pemilihan anggota DPRD
kabupaten/kota, penghitungan pertama dan terakhir cukup di KPU
kabupaten/kota. Untuk DPR, DPD, dan DPRD provinsi, penghitungan pertama
dan terakhir cukup dilakukan di KPU provinsi. KPU hanya mengumumkan
perolehan yang telah ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota dan KPU provinsi
tersebut, tanpa melakukan rekapitulasi lagi.

Penghitungan satu kali itu--yang dipraktekkan di Inggris,
misalnya--lebih mudah dilakukan bila menerapkan /e-voting/. Seluruh
mesin pemungutan suara tinggal dikumpulkan di KPUD dan dibuka hasilnya
serta direkapitulasi di suatu tempat--di Inggris, mereka menggunakan
/indoor stadium/ sebagai /counting center/.

Bagi peserta pemilu, penghitungan satu kali tidak hanya mereduksi secara
signifikan potensi kecurangan, tapi juga memperingan ongkos pengawalan
suara karena saksi yang dibutuhkan cukup untuk satu tingkat
penghitungan. Terlebih bila individu calon legislator juga
berkepentingan mengawal suara bila sistem suara terbanyak tetap
dipertahankan.

*Posibilitas dan tantangan*

Ada empat soal yang menyangkut bisa-tidaknya /e-voting/ diterapkan.
Pertama, ketersediaan alat yang dimaksudkan. Kedua, ongkos yang
dibutuhkan. Ketiga, kemauan politik pembentuk undang-undang. Keempat,
penerimaan masyarakat.

Untuk ketersediaan alat, bila di dalam negeri tidak tersedia alat yang
dimaksudkan, mungkin bisa diimpor dari India yang jelas-jelas telah
mempraktekkannya. Namun, mengingat ini teknologi sederhana, rasanya dan
seharusnya tidak sulit untuk diadakan di dalam negeri. Terlebih,
berdasarkan informasi yang ada, beberapa daerah sudah pernah
mempraktekkan /e-voting/ untuk pemilihan kepala desa.

Mengenai ongkos yang dibutuhkan, /e-voting/ harus lebih murah dibanding
cara tradisional. Harus dihitung secara cermat apakah pengadaan mesin
bisa lebih memangkas biaya ketimbang mencetak surat suara plus ongkos
rekapitulasi yang berjenjang. Secara teoretis, ongkos tersebut
seharusnya lebih murah karena banyak yang bisa dipangkas dengan
/e-voting/. Bukan hanya biaya surat suara, tapi juga tenaga manusia yang
dibutuhkan untuk mendistribusikan dan melipat surat suara tersebut.

Yang terberat adalah soal kemauan politik DPR dan pemerintah sebagai
pembentuk undang-undang. Problem utamanya adalah soal /trust/
(kepercayaan) dan kebiasaan melihat pemilu sebagai proyek. Penghematan
biaya pemilu sering tidak didukung karena berarti banyak yang tidak
kebagian proyek lagi. Selain itu, ada soal /trust/ yang tak pernah
selesai, yaitu apakah mesin itu bisa dipercaya seratus persen, tidakkah
nantinya malah bisa direkayasa. Soal-soal seperti ini seharusnya tidak
menghalangi langkah perbaikan pemilu ke depan bila ada niat untuk
memperbaiki karut-marut pemilu.

Terakhir, dari sisi masyarakat, perubahan dari mencoblos, lalu
mencontreng, dan kemungkinan memencet atau menekan tombol, bisa jadi
persoalan, terlebih di daerah-daerah tertentu yang tingkat pendidikannya
sangat minim. Untuk itu, yang perlu dilakukan adalah segera
menyelesaikan Undang-Undang Pemilu yang baru agar ada waktu untuk
sosialisasi. Skenario terbaik, RUU Pemilu diajukan pada 2010 dan
disahkan pada 2011, sehingga ada waktu tiga tahun untuk sosialisasi
Pemilu 2014. Sebagai langkah awal, /e-voting/ bisa juga diujicobakan
dalam pilkada.

/E-voting/ adalah alternatif perbaikan yang perlu didiskusikan lebih
lanjut untung-ruginya. Semua pihak yang terlibat dan berkepentingan
terhadap pemilu seyogianya secara serius memikirkan langkah perbaikan ke
depan. Bila tidak, pemilu di Indonesia akan terus-menerus diwarnai
kecurangan, yang pada gilirannya akan menyebabkan pemilu kehilangan
makna dan kepercayaan sebagai sarana paling demokratis untuk memilih
wakil rakyat dan pemimpin.*

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/11/Opini/krn.20090611.167800.id.html
Share this article :

0 komentar: