BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mengapa Program Jaminan Sosial Belum Dilirik?

Mengapa Program Jaminan Sosial Belum Dilirik?

Written By gusdurian on Jumat, 19 Juni 2009 | 08.34

JAMSOSTEK
Mengapa Program Jaminan Sosial Belum Dilirik?


Oleh *Sulastomo*

Di antara substansi yang menjadi bahan kampanye para calon
presiden-calon wakil presiden, program jaminan sosial belum memperoleh
perhatian. Mungkin hanya dianggap bagian dari program kesejahteraan.
Namun, untuk mewujudkan kesejahteraan, sebenarnya perlu dilengkapi
”cara” bagaimana mewujudkannya. Program ini (antara lain) menunjukkan
”cara” bagaimana mewujudkan menyejahterakan rakyat.

Pertanyaan seperti ini sudah tentu menimbulkan pertanyaan, apakah ketiga
pasangan itu tidak menganggap pentingnya program jaminan sosial. Sebab,
di banyak negara, termasuk AS, program ini selalu menjadi isu kampanye
yang penting. Benar, mereka menjanjikan berbagai program kesejahteraan,
tetapi program itu belum mencerminkan program jaminan sosial. Program
mengatasi kemiskinan yang diperkenalkan pun belum memenuhi persyaratan
program jaminan sosial. Karena itu, kelangsungannya diragukan. Kalau
nanti ganti presiden, program itu tidak mustahil akan diubah.

*Program*

Salah satu ciri program jaminan sosial adalah pendekatan sistem. Karena
pendekatan sistem, semua pihak terlibat. Negara dan masyarakat terlibat.
Dunia usaha dan buruhnya juga terlibat. Semua pihak ditentukan hak dan
kewajibannya sesuai dengan UU yang mengatur sistem jaminan sosial.

Karena pendekatan sistem, siapa pun yang akan tampil sebagai presiden
tidak mudah mengubah penyelenggaraan program jaminan sosial. Bahkan,
setiap pergantian presiden, selalu disempurnakan, agar semakin sesuai
dengan perkembangan zaman dan kebutuhan dasar hidup yang layak, baik
dari aspek peningkatan manfaat (benefit package) maupun perluasan jenis
program jaminan sosial. Inilah yang terjadi di banyak negara, termasuk
di AS. Meskipun program jaminan sosial selalu menghadapi persoalan, yang
disebabkan oleh perubahan demografi dan lingkungan, jaminan sosial
adalah salah satu program yang dinilai sangat strategis sejak AS memulai
program itu di era Presiden Roosevelt (1935). Hal ini antara lain
ditandai bahwa setiap penduduk AS memiliki social security number, yang
mengindikasikan hak-haknya pada program jaminan sosial.

Luasnya keterlibatan berbagai pihak itu sudah tentu memerlukan peran
dari berbagai pihak, baik penyelenggara negara, dunia usaha, pekerja,
maupun masyarakat pada umumnya. Hal ini juga berdampak tidak mudahnya
merumuskan program yang dapat disepakati bersama. Namun, belajar dari
pengalaman negara lain, program jaminan sosial selalu diprakarsai oleh
penyelenggara negara. Di Amerika Serikat oleh Presiden Roosevelt (1935),
di Jerman oleh Otto von Bismarck (1881), dan di Inggris oleh Menteri
Urusan Jaminan Sosial Inggris Beveridge (1948).

*Sistem*

Namun, secara filosofis penyelenggaraan sistem jaminan sosial harus
disesuaikan dengan sistem ekonomi dan politik yang dianut sebuah negara.
Apakah menggunakan pendekatan welfare state model (Beveridge model), di
mana peran negara sangat besar atau social state model (Bismarck model)
di mana negara dan masyarakat berperan seimbang atau Roosevelt model
(penamaan dari penulis), di mana negara hanya sebagai regulator.

Indonesia sebenarnya telah memilih jalan sendiri sesuai dengan kondisi
dan falsafah buat apa negara ini didirikan. Hal ini tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional. Menurut studi konsultan Jerman (GTZ) yang bekerja sama dengan
Bappenas, Indonesia dinilai memilih social state model dengan
mengakomodasi prinsip-prinsip welfare state model. Hal itu antara lain
ditandai kepesertaan kalangan yang tidak mampu, di mana terbuka
kepesertaan penerimaan bantuan iuran jaminan sosial yang dibayar oleh
pemerintah. Selain itu,

negara tidak hanya sebagai regulator, tetapi juga sebagai penyelenggara
jaminan sosial melalui badan penyelenggara jaminan sosial, misalnya
Jamsostek, Askes, Taspen, dan Asabri.

Dalam UU No 40/2004, program jaminan sosial yang hendak diberikan adalah
program jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua,
jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Semula juga dirancang jaminan
pemutusan hubungan kerja, tetapi program ini dialihkan ke program
pesangon sesuai UU No 13/2003. Dicita-citakan bahwa seluruh warga negara
Indonesia pada suatu saat akan memiliki semua program jaminan sosial
meskipun bertahap, mungkin baru pada tahun 2030. Dengan demikian, saat
itu seluruh warga masyarakat terlindung dari risiko ekonomi, baik karena
sakit, kecelakaan kerja, maupun memasuki masa purnatugas. Tujuannya,
memberikan rasa aman bagi setiap warga negara Indonesia sejak lahir
hingga meninggal dunia.

*Dampak ekonomi*

Meskipun tujuan program jaminan sosial adalah dalam rangkaian untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyat, ternyata dampak terhadap ekonomi sangat
besar. Sebab, setiap program jaminan sosial pada dasarnya adalah sebuah
mekanisme mobilisasi dana masyarakat. Khususnya, dalam penyelenggaraan
program jangka panjang, misalnya program jaminan pensiun dan program
jaminan hari tua. Akumulasi dana kedua program itu di banyak negara
sangat bermakna sehingga mempunyai nilai investasi yang luar biasa.
Dana-dana inilah yang oleh banyak negara dimanfaatkan untuk membiayai
investasi di dalam, bahkan di luar negeri, termasuk sebagai pinjaman
luar negeri. Indonesia dalam hal ini termasuk negara yang baru bisa
menikmati dana jaminan sosial asing itu. Sebab, kepesertaan program
jaminan sosial yang ada masih sangat kecil, selain masih sangat fragmented.

Seandainya UU No 40/2004 telah dilaksanakan, Indonesia mungkin sudah
mampu memupuk dana yang sangat besar sehingga tidak perlu meminjam pihak
asing untuk membiayai investasi dalam negeri.

*Sulastomo*, /Mantan Ketua Tim SJSN

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/19/03474828/mengapa.program.jaminan.sosial..belum.dilirik
/
Share this article :

0 komentar: