BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mengamati Pengamat Pemilu

Mengamati Pengamat Pemilu

Written By gusdurian on Rabu, 17 Juni 2009 | 15.24

Mengamati Pengamat Pemilu

*Saiful Mujani*

# Peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI)/Dosen Ilmu Politik UIN Jakarta

Pemilihan umum demokratis untuk memilih anggota DPR/DPRD, presiden, dan
pilkada, yang ditandai oleh pentingnya suara pemilih, merupakan gejala
baru di Tanah Air, termasuk bagi ilmuwan atau pengamat sosial-politik.
Karena baru, para ilmuwan politik kita tidak mudah melakukan penyesuaian
lantaran melahirkan ilmuwan bukan pekerjaan kebut semalam. Butuh waktu.

Selama ini ilmu sosial kita di kampus-kampus sangat lama didominasi
pendekatan kualitatif dengan berbagai perspektifnya. Awal Orde Baru,
ilmu politik kita didominasi perspektif modernisasi varian kualitatif
seperti yang ditularkan oleh Samuel Huntington cs. Masa pertengahan Orba
hingga tumbangnya rezim itu banyak diwarnai oleh pendekatan kualitatif
dari varian "kiri", seperti teori dependensia, sistem dunia, maupun
pendekatan kelas sosial atau pendekatan negara (/state centered
approach/) ala Skocpol atau Peter Evan, misalnya.

Kecenderungan pendekatan kualitatif dari perspektif "kanan" maupun
"kiri" tersebut bukan karena mahasiswa dan sarjana ilmu sosial kita
tidak mengikuti perkembangan ilmu sosial di dunia, melainkan lebih
karena konteks sosial-politik Orba yang membuat kecenderungan tersebut
lebih relevan dan lebih mungkin dipraktekkan. Pada zaman Orba, pemilihan
umum tidak penting dilihat dari sudut pandang pemilih.

Pemilu Orde Baru hanya pemilu seolah-olah. Sebab, pemilu dilaksanakan
tanpa kebebasan politik. Tidak ada persaingan bebas yang berarti antara
partai, kelompok kepentingan, maupun warga. Pemilu hanya tameng untuk
membenarkan Orba. Mengamati tingkah laku politik warga, politikus,
kelompok-kelompok sosial, dan partai politik menjadi tidak penting. Yang
lebih relevan adalah mengamati elite, khususnya eksekutif, dan tentara,
serta kebijakan-kebijakan yang dibuatnya dengan segala implikasinya
terhadap partai, kelompok sosial, dan warga negara.

Pada masa Orba, mengamati pemilu tidak penting karena tanpa diamati pun
hasil pemilu sudah dapat diketahui hasilnya, yakni Golongan Karya
(Golkar). Kalau mengingat masa itu, rasanya sulit memaafkan Golkar. Tapi
kita sekarang sudah menganut demokrasi, dan siapa pun boleh ikut
bersaing di arena politik baru ini, termasuk yang dulu penentang
demokrasi. Di situlah kebesaran demokrasi.

Lebih dari itu, pada masa Orba tidak mungkin peneliti politik bertanya
kepada warga negara biasa tentang aspirasi politik mereka; tidak mungkin
bertanya kepada seorang ibu rumah tangga di sebuah desa di pedalaman
Kalimantan, misalnya, partai apa yang akan dipilihnya bila pemilu
diadakan; tidak mungkin bertanya apakah puas atau tidak puas terhadap
kerja Presiden Soeharto, dan seterusnya. Jangankan bertanya seperti itu,
masuk ke desa saja untuk tujuan menggali aspirasi politik rakyat sulit
diizinkan oleh aparat desa, Babinsa, atau Koramil.

Konteks politik Orba semacam itu telah memberangus kebebasan meneliti,
dan telah membuat perilaku memilih rakyat sebagai subyek penelitian
terbengkalai. Karena itu, kalaupun di kampus-kampus mahasiswa ilmu
politik diberi mata kuliah analisis politik kuantitatif, praktis ilmu
tersebut tidak diterapkan. Padahal, untuk menjadi ilmuwan sosial yang
tangguh, seorang ilmuwan tidak hanya luas wawasan teoretisnya, tapi juga
kaya pengalaman penelitian empirisnya.

*Pemilu 1999*

Ketika memasuki politik demokrasi dan pemilu bebas pada 1999, hampir
tidak ada pengamat atau ilmuwan yang punya peralatan memadai untuk
memahami dan menjelaskan gejala pemilu demokratis. Peralatan itu
terutama analisis kuantitatif terhadap sikap dan perilaku politik
pemilih dengan data yang digali lewat survei opini publik. Ilmuwan
politik ketika itu menjadi gagap. Banyak bicara atau berkomentar di
media dengan perasaan, kira-kira, atau paling banter dengan hipotesis,
tanpa ukuran dan data yang jelas.

Para pengamat waktu itu meyakini bahwa PAN akan menang besar hanya
karena didukung oleh banyak intelektual dan dipimpin oleh tokoh
reformasi Amien Rais. Bahkan Indonesianis sekelas Ben Anderson, bapaknya
ilmuwan politik kualitatif Indonesia, meyakini bahwa Golkar akan habis
di Pemilu 1999. Ilmuwan politik sulit dibedakan waktu itu dengan penulis
cerpen, atau pembaca puisi. Indah dan enak didengar atau dibaca, tapi
tanpa atau miskin fakta. Puisi memang bukan tentang kebenaran, melainkan
keindahan.

Menjelang Pemilu 1999, memang sudah ada lembaga penelitian sosial yang
telah memulai survei sikap dan perilaku politik pemilih, LP3ES, tapi
skopnya masih terbatas dan dilakukan oleh orang-orang yang tidak dilatih
khusus dalam ilmu politik kuantitatif ini. Hanya keterampilan statistik
dan metodologinya yang memadai, tapi substansinya belum. Lembaga ini
memang bukan fakultas ilmu sosial, dan karena itu keliru kalau berharap
ada pasokan teori dan substansi dari situ.

Kehadiran survei-survei IFES pada Pemilu 1999 memperbaiki keadaan ini.
Tapi dari sisi substansi dan teori, IFES juga masih terbatas karena
orang-orang di belakangnya memang bukan peneliti atau ilmuwan sosial,
tapi lebih sebagai aktivis demokrasi.

Tradisi keilmuan tentang perilaku memilih warga negara yang merupakan
komponen pokok dalam pemilu demokratis mulai mendapatkan perhatian yang
cukup memadai lewat penelitian tentang perilaku memilih nasional
beberapa hari setelah Pemilu 1999 (/post-election survey/). Ini
merupakan proyek riset Ohio-State University yang bekerja sama dengan
Laboratorium Ilmu Politik Universitas Indonesia. Hasil studi ini,
setelah dikembangkan dengan beberapa studi berikutnya, muncul di
/Comparative Political Studies/. Ini merupakan publikasi pertama tentang
pemilih Indonesia di jurnal akademik internasional dari ilmuwan politik
dalam maupun luar negeri yang mendalami politik Indonesia.

Dari situlah, teori, metodologi, dan analisis tentang pemilu
dikembangkan, khususnya oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI), yang
berdiri pada 2003. LSI kemudian beranak-pinak menjadi Lingkaran Survei
Indonesia, Indobarometer, dan beberapa yang lain.

Dari lingkungan inilah tradisi analisis kuantitatif tentang pemilihan
umum dimulai dan dikembangkan. Kampus-kampus sudah mulai dengan
pendekatan ini, tapi masih sangat lambat. LIPI, yang merupakan lembaga
penelitian terbesar di Tanah Air untuk ilmu sosial, juga masih belum
berdiri di depan. Belum ada program khusus tentang studi pemilih
Indonesia oleh universitas dengan biaya yang cukup dari negara. Di
Amerika, program studi pemilu ini yang berpusat di University of
Michigan dibiayai oleh negara, walaupun pada masa awalnya dibantu juga
oleh pihak swasta.

*Survei pesanan*

Ilmuwan sosial kita yang berbasis di kampus masih asing terhadap studi
kuantitatif atas pemilih Indonesia. Padahal merekalah yang diharapkan
memberikan analisis dan pandangan-pandangan tentang pemilih dan hasil
pemilu. Karena ekspektasi yang begitu besar kepada mereka, mereka
dipaksa bicara juga, dan masih banyak di antara mereka yang bersandar
pada perasaan, bukan data penelitian empiris dan analisis kuantitatif
atas perilaku memilih rakyat. Kalaupun ada yang melakukan penelitian,
sejauh ini masih berada pada tingkat coba-coba sehingga belum memenuhi
standard yang diharapkan.

Sementara itu, kebutuhan akan hasil studi kuantitatif atas perilaku
memilih rakyat semakin besar, terutama dari partai politik. Bersamaan
dengan itu, muncul anggapan yang salah bahwa hasil studi empiris atas
sikap dan perilaku pemilih dapat digunakan untuk kampanye atau
memobilisasi massa pemilih. Bukan dijadikan sebagai bahan masukan untuk
program kerja partai. Maka muncullah perusahaan-perusahaan survei "yang
hasilnya bisa diatur oleh klien" atau survei pesanan. Pelaku survei ini
umumnya bukan ilmuwan sosial dengan kualifikasi dan keahlian formal di
bidang perilaku politik, dan sering tidak punya kaitan dengan dunia
akademik atau kampus. Selama ada pasarnya, dan selama ilmuwan politik
dan kampus-kampus masih asing dan gagap dengan studi empiris perilaku
memilih rakyat, perusahaan-perusahaan survei pesanan ini akan tetap hidup. *

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/17/Opini/krn.20090617.168391.id.html
Share this article :

0 komentar: