BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kampanye Damai, "What"?

Kampanye Damai, "What"?

Written By gusdurian on Sabtu, 13 Juni 2009 | 12.29

Kampanye Damai, "What"?


*TJIPTA LESMANA*

Orang Indonesia paling pintar ber- ethok-ethok, selain menggunakan
bahasa yang elok-elok, dan tidak membumi alias berbunga-bunga.

Buktinya, tiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden telah
berikrar untuk melaksanakan pemilu damai, berkompetisi secara berbudaya
dan beretika. Suasana dalam gedung Bidakara malam itu pun kelihatan
sejuk dan ceria seperti pesta perkawinan.

Apakah kompetisi politik bisa dijalankan secara berbudaya dan beretika?
Inilah yang saya maksud dengan bahasa yang ethok-ethok, pura-pura, dan
elok nian. Mengucapkan kata-kata itu memang gampang, tetapi tiba pada
domain implementasi, orang Indonesia paling pintar berkelit. Maka,
keributan dengan segala bentuknya sulit dihindarkan.

*Perebutan kekuasaan*

Malam itu, para pejabat Komisi Pemilihan Umum hendak memberikan tontonan
demokrasi ala Indonesia kepada seluruh rakyat: bahwa pemilihan umum
harus berjalan santun, tidak boleh mencabik-cabik bangsa, tetapi
sebaliknya mempererat persatuan dan kesatuan bangsa.

Mereka lupa—atau tidak tahu—pada hakikatnya politik adalah segala
kegiatan yang terkait dengan relasi kekuasaan (power relations).
Kekuasaan di sini, tentu saja, berhubungan dengan persoalan negara dan
bangsa.

Domain aktivitas politik, secara garis besar, dapat dibagi menjadi lima
kategori, yaitu bagaimana (a) mendapatkan/merebut kekuasaan, (b)
mengimplementasikan kekuasaan, (c) mendistribusikan kekuasaan, (d)
mempertahankan kekuasaan, dan (e) mentransfer kekuasaan.

Sebagai incumbent, Susilo Bambang Yudhoyono kini berjuang mati-matian
untuk mempertahankan kursi kepresidenannya (maintenance of power). Di
pihak lain, Megawati Soekarnoputri dan Jusuf Kalla sedang berupaya
merebut kursi presiden dari tangan SBY (power acquisition). Di mana-mana
incumbent akan berjuang habis-habisan, kecuali ketentuan hukum tidak
membolehkannya untuk menjabat lagi. Lihat, misalnya, sejumlah menteri,
gubernur/kepala daerah disertakan sebagai juru kampanye. Bahkan,
beberapa pucuk pimpinan BUMN juga dijadikan tim sukses.

Mengingat jabatan presiden adalah puncak kekuasaan duniawi di kebanyakan
negara, termasuk Indonesia, ada kecencerungan usaha mempertahankan dan
merebut kekuasaan puncak itu sama-sama dilakukan by all means. Nah, by
all means versus by all means inilah yang kemudian melahirkan benturan,
sikut- sikutan, konflik, bahkan kemungkinan rusuh dan chaos.

Di Nikaragua, seorang presiden bernama Somosa pernah diseret di jalan
raya oleh para musuhnya, kemudian tewas diberondong. Di Chechnya, bom
meledak di tengah kerumunan massa yang sedang mengikuti kampanye
pemilihan presiden. Tahun lalu di Pakistan Ny Benazir Bhutto mati
mengenaskan akibat serangan bom menjelang diadakannya pemilihan presiden.

*Benci, dengki, dendam*

Kebencian, dengki, dan dendam sering membara dahsyat dalam diri politisi
yang sedang bertarung untuk mempertahankan kekuasaan atau merebut
kekuasaan. Fenomena ini harus diakui juga mengancam Indonesia saat
pemilu presiden tinggal hitungan hari. Spekulasi dan rumor mengenai
kemungkinan paling buruk yang menimpa pemilu presiden sudah beredar luas.

Dalam konteks itu, jargon ”kampanye berbudaya dan beretika” pantas
dipertanyakan. Sebagai harapan, sah-sah saja. Memang semua elemen
masyarakat harus mendorong terjadinya pemilihan umum yang damai,
tenteram, dan lancar. Tetapi, yang substantif tidak melulu damai,
tenteram, dan lancar. Yang lebih penting lagi, bagaimana dimensi
keadilan dan fairness-nya?

Pemilu legislatif pada 9 April telah membuat pihak-pihak yang kalah
kecewa dan marah. Perasaan dongkol itu bisa jelas terbaca saat salah
satu pasangan capres- cawapres menyampaikan ”orasi kebangsaan” yang
didahului sajian kesenian. Secara implisit, mereka mengkritik dengan
memberikan peringatan, ”Awas, kecurangan-kecurangan itu jangan sampai
terulang”.

Dengan demikian, benih-benih ”konfrontasi” antarpasangan capres-cawapres
diakui sudah ada, bahkan kuat, dalam kontestan tertentu. Jika demikian,
kita mempertanyakan kemungkinan kampanye berlangsung damai, berbudaya,
dan beretika.

Lagi pula, deklarasi kampanye damai yang dicanangkan KPU pada 10 Juni
2009 sudah kehilangan signifikansinya. Kampanye pemilu sebetulnya sudah
berlangsung cukup sengit sejak KPU menetapkan nomor urut kontestan pada
31 Mei lalu. Malah sudah berlangsung beberapa hari sebelumnya. Tepatnya,
setelah ketiga pasang mendeklarasikan diri masing-masing.

*Korban berjatuhan*

Undang-Undang tentang Pemilu memberikan terminologi ”kampanye tertutup”,
sedangkan sejak 10 Juni 2009 ”kampanye terbuka”. Kampanye-kampanye
pra-31 Mei 2009, terutama pada talkshow di televisi maupun seminar,
kenyataannya berjalan cukup panas, terutama diprovokasi tim sukses
masing-masing. Bukan hanya saling menyindir, tetapi juga saling menohok
dan menjurus character assassination. Akibatnya, korban sudah
berjatuhan. Ada anggota tim sukses pasangan capres-cawapres terpaksa
dilengserkan karena ucapannya berbau SARA dan membuat berang kelompok
etnis tertentu.

Di tengah suasana politik yang sudah memanas ini, masihkah relevan kita
berbicara tentang kampanye damai, berbudaya, dan beretika? Kita ragu.
Sebab, sesungguhnya permainan politik, apalagi yang bertujuan untuk
mempertahankan dan merebut kekuasaan puncak, di mana-mana selalu
berlangsung panas dan sengit. Maklum, para kontestan menyadari
sepenuhnya bahwa mereka kini dalam posisi to be or not to be.

/Tjipta Lesmana Pemerhati Politik

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/13/0511206/kampanye.damai.what
Share this article :

0 komentar: