/Calon Presiden, Pemilu, dan Petani/
*Khudori*
PEMERHATI MASALAH SOSIAL-EKONOMI PERTANIAN
Demokrasi dengan mekanisme /one man one vote/ menempatkan setiap
individu pemilih dalam pemilihan umum memiliki posisi yang sama penting.
Kelas menengah, pengusaha, dan elite posisinya sama dengan petani,
nelayan, kaum miskin kota, bahkan pemulung sekalipun. Demokrasi
menyediakan tempat dan penghargaan yang sama kepada semua individu
pemilih. Dalam demokrasi langsung seperti di Indonesia, arti penting
petani, nelayan, pedagang kecil, kaum miskin kota, dan kaum marginal
lain semakin kentara.
Dari semua komunitas pinggiran itu, petani memiliki posisi cukup
penting. Pelaku politik mana pun tahu pertanian masih menjadi rebutan 43
persen tenaga kerja Indonesia dan ditekuni 28,3 juta rumah tangga petani
(113,2 juta jiwa). Petani dan pertanian adalah lumbung suara yang bisa
menyediakan tiket untuk menduduki kursi presiden/wakil presiden dan
kursi legislatif. Itulah sebabnya, kampanye dalam Pemilu 2009 selalu
mengangkat harga bahan pokok, nasib petani, dan ketahanan pangan sebagai
isu utama.
Duet Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto mencitrakan diri sebagai
calon presiden-wakil presiden terdepan dalam membela petani, nelayan,
buruh, kaum miskin kota, dan pedagang kecil. Pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono-Boediono pun demikian. Iklan-iklan SBY-Boediono mengklaim,
berkat aneka kebijakan pertanian selama memerintah, kini Indonesia
kembali berswasembada beras. Klaim serupa dilakukan capres Jusuf Kalla.
Dengan tujuan untuk mandiri, tantangan pembubaran Departemen
Pertanian--menurut JK--mampu mendorong kembali swasembada beras.
Sayangnya, tidak ada duet kandidat yang secara serius menggarap isu
pertanian. Klaim dan janji-janji manis mereka saat kampanye masih harus
diuji. Karena tidak sedikit pernyataan kandidat itu yang membingungkan,
bahkan kontradiktif. Misalnya, komitmen Mega-Prabowo untuk menyediakan
bahan kebutuhan pokok murah--yang menguntungkan warga kota--akan
berbenturan dengan kepentingan petani, produsen yang sebagian besar
berada di pedesaan. Bagi petani, janji menyediakan bahan kebutuhan pokok
murah akan diartikan menekan harga pembelian di tingkat petani. Iklan
ini bersifat kontraproduktif: alih-alih menarik simpati, bisa-bisa
justru dijauhi petani. Inikah yang dimaui Mega-Prabowo?
Dari diskusi "Pengusaha Bertanya, Parpol Menjawab" oleh Asosiasi
Pengusaha Indonesia, 13-16 Februari 2009, atau diskusi Kadin dengan
capres, Mei lalu, tampak jelas betapa partai politik dan capres bingung
bagaimana mengimplementasikan janji-janji mereka apabila menang dalam
pemilu dan bisa berkuasa. Mereka berbusa-busa menegaskan keberpihakan
terhadap petani dan pertanian. Bagi partai politik dan capres, pertanian
tidak hanya menyediakan kecukupan pangan, tapi juga menjadi sumber
energi dan wahana penciptaan nilai tambah melalui agroindustri. Namun,
partai politik dan capres kikuk saat ditanya bagaimana semua itu
dilakukan saat lahan petani gurem, penghasilan mereka gurem, dan
pendidikan mereka hanya sekolah dasar, bahkan tidak sekolah?
Semua itu menunjukkan keberpihakan pada petani dan pertanian, termasuk
janji-janji partai dan capres untuk menyejahterakan petani, tidak lebih
dari wacana. Ada partai dan capres yang membangun jalan desa, memberi
bantuan benih dan bantuan pupuk atau yang lain, tapi semua bantuan itu
tidak tulus. Ada pamrih, ada udang di balik batu. Masalahnya, dalam
demokrasi langsung di Indonesia, daya tawar petani--dan kaum marginal
lain--turun drastis tepat setelah kandidat, baik legislatif maupun
eksekutif, terpilih. Ini terjadi karena mekanisme /one man one vote/
hanya berlaku dalam pemilu. Mekanisme tersebut tidak berlanjut dalam
pengambilan kebijakan saat mereka berkuasa. Sampai saat ini tidak ada
mekanisme/proses politik untuk menagih janji-janji kampanye.
Ini semua tidak lepas dari karakteristik petani. Pertama, sampai saat
ini petani belum terorganisasi. Organisasi-organisasi petani yang ada
bersifat elitis, tidak mengakar, dan tidak sepenuhnya menjadi saluran
aspirasi/kepentingan petani. Ini berbeda dengan situasi di Amerika
Latin. Di sana, petani dan kaum marginal lebih terorganisasi karena jauh
lebih besarnya kesenjangan, baik dalam pendapatan maupun kepemilikan
aset. Di negara-negara maju, termasuk Jepang, posisi tawar petani amat
kuat dan cukup dihitung para elite dan politikus. Kedua, perilaku petani
terfokus pada pemenuhan kebutuhan "segera" dan kebutuhan pokok. Itu
sebabnya, tema janji kampanye selalu mengangkat redistribusi
pendapatan/aset bagi mereka melalui aneka kebijakan jika terpilih/berkuasa.
Jalan keluar dari dilema mekanisme /one man one vote/ yang memotong
petani dan kaum marginal untuk menagih janji partai politik/kandidat
saat terpilih/berkuasa tidaklah mudah. Pertama, harus diciptakan
mekanisme politik baru yang memungkinkan pemilih atau konstituen menagih
janji kampanye partai politik/kandidat setelah mereka terpilih atau
berkuasa. Setidaknya ada peluang berlakunya mekanisme /one man one vote/
dalam setiap kebijakan saat mereka berkuasa. Kedua, petani--dan kaum
marginal lain--harus bisa mengagregasi kekuatan politiknya melalui
penyatuan dalam sebuah organisasi. Lewat organisasi itulah mereka bisa
memiliki posisi tawar dan dihitung para kandidat.
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/24/Opini/krn.20090624.169049.id.html
Calon Presiden, Pemilu, dan Petani
Written By gusdurian on Rabu, 24 Juni 2009 | 12.27
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar