BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Bukan Pemimpin Biasa

Bukan Pemimpin Biasa

Written By gusdurian on Senin, 29 Juni 2009 | 11.37

Bukan Pemimpin Biasa


*Syamsul Hadi *

Dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Herbert
Feith mengategorikan Soekarno sebagai representasi terbaik pemimpin
bertipe solidarity-maker (penggalang solidaritas massa).

Soekarno berdampingan dengan tipe administrator (pengatur kebijakan),
berporos pada figur Mohammad Hatta.

Sementara Soekarno memandang revolusi harus terus digelorakan meski
kemerdekaan politik bangsa sudah diraih, Hatta berpendapat sebaliknya.
Bagi Hatta, revolusi telah selesai, karena itu yang diperlukan adalah
kerja keras yang bersifat detail dan konkret guna menerjemahkan ide-ide
besar ke dalam lapangan praktis.

Meski sejarah mencatat bahwa duet ideal ini tidak berumur panjang,
sampai detik ini dua tipe kepemimpinan yang melekat dalam diri pasangan
proklamator itu masih amat relevan untuk dijadikan pijakan analisis bagi
corak kepemimpinan bangsa ini.

*Anak zaman*

Pasangan Soekarno-Hatta lahir dari konteks sejarah yang mendudukkan
mereka sebagai penggerak revolusi yang sukses, yang kemudian berpisah
karena perbedaan tipe kepemimpinan yang tidak bisa dikompromikan.

Soekarno tidak berselera pada kerja detail dan administratif yang
”kering”, sementara Hatta menginginkan konkretisasi langkah-langkah
untuk meletakkan fondasi ekonomi kerakyatan pascakolonial yang diimpikan.

Mereka berbeda bukan hanya dalam tipe kepemimpinan, tetapi juga dalam
memilih cara mencapai tujuan. Soekarno tetap mempertahankan kegemaran
pada mobilisasi massa untuk pencapaian tujuan revolusioner, sementara
Hatta lebih mendasarkan aktivitasnya pada basis pengetahuan yang
diimplementasikan secara ”teknokratis”.

Zaman pun berganti. Namun, setiap zaman membutuhkan kehadiran para
pemimpin yang memiliki pandangan ke depan (visi) yang gamblang
menyangkut ke mana negeri ini akan dibawa, dengan cara apa, dan
bagaimana tahap-tahap pencapaiannya.

Lebih dari itu, dibutuhkan kepemimpinan transformatif yang benar-benar
sanggup memahami dan memecahkan aneka masalah bangsa (the nation’s
problem solver), sekaligus meletakkan dasar yang lebih kokoh bagi
struktur sosial ekonomi di masa depan.

Pemimpin, di mata Peter Drucker, adalah individu yang piawai
menerjemahkan cita-cita menjadi kenyataan (make things happen). Karena
itu, individu yang lemah atau tidak punya ketegasan dalam berprinsip
sebenarnya tidak layak menjadi pemimpin bangsa. Ia akan sangat mungkin
terjebak dalam pola oligarki politik, di mana kelompok-kelompok kuat di
sekitarnya akan mengendalikan pilihan-pilihan kebijakannya.

Terciptalah sebuah kepemimpinan ”transaksional”, sebuah kepemimpinan
yang didasarkan pada negosiasi kepentingan berjangka pendek dari
kelompok- kelompok strategis (strategic groups) yang bermain di
lingkaran kekuasaan.

Kepemimpinan yang kuat dalam visi dan implementasi program tidaklah
identik dengan rezim otoriter. Harold Crouch (Indonesia's ’Strong
State’, 1998) menyatakan, rezim Soeharto jelas menampilkan sebuah
pemerintahan yang kuat dan represif, terutama dalam berhadapan dengan
masyarakat.

Namun, di mata Crouch, rezim itu juga banyak menampilkan ciri
pemerintahan yang lemah (weak government), yang bersumber dari struktur
internalnya sendiri, yang diwarnai berbagai persaingan faksional yang
disatukan oleh pola-pola distribusi patronase yang mengakar kuat dalam
praktik pemerintahan.

*Transformatif vs transaksional*

Meski jauh dari ideal, sebuah kepemimpinan ”transaksional” boleh jadi
mampu eksis di panggung kekuasaan dalam jangka waktu cukup lama. Itu
terjadi ketika (1) situasi ekonomi global cukup kondusif, (2) mayoritas
massa memiliki keterbatasan intelektual untuk mengontrol kebijakan
publik, dan (3) kelompok- kelompok strategis (strategic groups) merasa
terlayani kepentingannya sehingga merasa berkepentingan pula untuk terus
melestarikan status quo.

Meski demikian, sejarah umumnya mencatat pemimpin ”transaksional”
sebagai pemimpin dengan kategori ”biasa”, bukan pemimpin monumental yang
dikenang dengan takzim sepanjang zaman.

Kepada putranya yang bernama Alexander (kelak menjadi Alexander Agung),
Raja Philips II menasihatkan, seorang pemimpin harus belajar menghayati
kesendirian. Learn how to be alone! Maknanya, pemimpin tidak seharusnya
larut dalam arus kepentingan berbagai kelompok strategis yang
berseliweran di sekitar kursi kekuasaannya.

Junichiro Koizumi, pemimpin karismatik Jepang awal abad ini, menolak
dengan tegas hadiah ulang tahun yang disampaikan oleh salah seorang
anggota kabinetnya sendiri. Ia dengan sadar memelihara independensinya,
bahkan terhadap ”punggawa” kepercayaannya sendiri, di tengah
keberadaannya sebagai ”panglima tertinggi” dalam organisasi pemerintahan.

Barack Obama, Presiden Amerika Serikat yang dikagumi di seluruh bumi,
pernah menantang debat terbuka para pelobi dari perusahaan-perusahaan
farmasi raksasa yang melakukan resistensi terhadap program reformasi
kesehatan yang digulirkannya.

Koizumi dan Obama jelas bukan pemimpin yang besar semata-mata karena
lihai memainkan politik ”dagang sapi”. Mereka adalah para entrepreneur
politik yang siap menanggung risiko untuk menerapkan kebijakan-kebijakan
publik yang diyakini baik bagi kehidupan rakyat yang dipimpinnya meski
ditentang oleh oligarki kepentingan yang kuat dan berpengaruh.

Sayang ”pemimpin transformatif” seperti mereka terhitung langka, tak
terkecuali di negeri ini. Padahal, di mata para ”pemimpin
transaksional”, rakyat hanya deretan angka yang diperlukan untuk
memperkuat posisi tawar saat berbagi kuasa dengan rekan koalisi.

Bagi mereka, rakyat jelata adalah kata lain dari ”kuda beban” yang
diperlakukan dengan penuh kelembutan hati hanya ketika mereka sibuk
berkampanye.

Syamsul Hadi /Dosen FISIP UI

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/25/03061897/bukan.pemimpin.biasa
Share this article :

0 komentar: