BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Melindungi Rahasia (Pejabat) Negara

Melindungi Rahasia (Pejabat) Negara

Written By gusdurian on Senin, 15 Juni 2009 | 15.22

Melindungi Rahasia (Pejabat) Negara

*Saldi Isra*

# Dosen hukum tata negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas
Hukum Universitas Andalas, Padang

PATUT diduga bahwa penundaan diberlakukannya Undang-Undang Kebebasan
Informasi Publik tampaknya didesain untuk menunggu penyelesaian
Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara. Jika itu benar-benar terjadi,
ketersediaan ruang yang luas bagi publik untuk mendapatkan informasi
dari pejabat pemerintah yang terkait dengan kepentingan publik akan
tereduksi. Maknanya, ketika rezim keterbukaan informasi belum dapat
digapai, rezim ketertutupan lebih dulu memeluk dari belakang.

Secara konstitusional, Pasal 28-f Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan
bahwa setiap orang berhak memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya. Guna mencapai tujuan itu, setiap orang
berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang
tersedia.

Untuk membumikan amanah konstitusi tersebut, UU Kebebasan Informasi
Publik mengatur begitu rupa prinsip-prinsip keterbukaan informasi
publik. Hadir tidak dalam konsep keterbukaan yang tanpa batas,
undang-undang itu memberikan batasan yang rinci atas informasi yang
dikecualikan sesuai dengan prinsip maximum disclosure and limited
exemption. Dalam pengertian itu, rahasia negara ditempatkan sebagai
informasi publik yang dalam jangka waktu tertentu dirahasiakan kepada
publik.

Namun semangat keterbukaan informasi publik itu seperti hendak
dinegasikan dalam RUU Rahasia Negara dengan pemunculan norma elastis
alias pasal karet. Misalnya definisi rahasia negara yang begitu luas
sehingga memberikan peluang tafsir subyektivitas pemegang otoritas
penyelenggaraan negara. Dari definisi yang ada, semua dokumen yang
dimiliki pemerintah dapat dikategorikan sebagai rahasia negara. Apalagi
prinsip maximum disclosure and limited exemption sengaja dihilangkan
sebagai kaidah penuntun (asas) dalam RUU tersebut.

Elastisitas perumusan norma dapat juga ditelisik dalam pemberian
kewenangan kepada presiden sebagai penyelenggara rahasia negara untuk
melimpahkan kewenangannya kepada lembaga negara yang menyelenggarakan
urusan negara di seluruh yurisdiksi Indonesia. Dalam hal ini, saya
sepakat dengan hasil telaah Institute for Defense Security and Peace
Studies (2009): rumusan pelimpahan itu memberikan konsentrasi kekuasaan
kepada eksekutif tanpa bangunan pengawasan menurut mekanisme checks and
balances.

Konsentrasi kekuasaan pada eksekutif dalam RUU Rahasia Negara begitu
menonjol, terutama menyangkut Badan Pertimbangan Kebijakan Rahasia
Negara. Sebagai institusi vital, kehadiran Badan Pertimbangan sama
sekali tidak bersentuhan dengan peran Dewan Perwakilan Rakyat. Bahkan,
dari komposisi keanggotaan, semuanya berasal dari jajaran eksekutif:
Menteri Pertahanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Kepala
Kepolisian Indonesia, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Badan
Intelijen Negara, dan Kepala Lembaga Sandi Negara.

Di luar tujuh orang pejabat pemerintah yang merupakan anggota tetap
badan itu, satu-satunya ruang sempit yang memungkinkan adanya perwakilan
masyarakat hanyalah berupa satu orang ahli sebagai anggota tidak tetap.
Celakanya, ruang sempit ini pun sulit diakses publik karena satu orang
ahli itu ditunjuk langsung oleh Badan Pertimbangan. Melihat komposisinya
yang powerful, dikhawatirkan, Komisi Informasi akan kehilangan
kewibawaan dalam menjalankan tugas yang diamanatkan dalam UU Kebebasan
Informasi Publik.

Dengan posisinya yang kuat, RUU Rahasia Negara berpotensi mematikan
semua bentuk pengawasan atas eksekutif. Misalnya, kewenangan
konstitusional Dewan Perwakilan Rakyat dalam bentuk fungsi pengawasan
akan dengan mudah dilumpuhkan pemerintah dengan dalih rahasia negara.
Melihat definisinya yang begitu elastis, hal ini akan sangat ampuh
menjadi benteng pejabat negara untuk menghindar dari pengawasan yang
dilakukan pihak lain.

RUU ini juga berpotensi mempersulit dan memberikan kabar tak sedap dalam
agenda pemberantasan korupsi. Selama ini, salah satu masalah dalam
mengungkap kasus korupsi adalah sulitnya mendapatkan dokumen untuk
melacak praktek korupsi. Upaya mendapatkan dokumen selalu terkendala
argumentasi klasik ”ini rahasia negara”.

Sejauh ini, para penggiat antikorupsi mampu melakukan bermacam manuver
untuk mendapatkan dokumen yang diperlukan dalam membongkar kasus
korupsi. Keberanian itu muncul karena secara yuridis ancaman rahasia
negara hanya dianggap semacam psywar. Namun sekiranya RUU Rahasia Negara
disahkan, penggiat antikorupsi bisa berpikir dua kali untuk mendapatkan
data korupsi. Sulit pula mengharapkan hadirnya whistleblower karena
setiap saat bisa diancam dengan payung hukum ini.

Kehadiran peraturan ini bisa menambah ruang gelap dalam penyelenggaraan
negara, sekaligus mempermudah terjadinya praktek korupsi. Jauh-jauh hari
Robert Klitgaard telah mengingatkan, korupsi terjadi karena monopoli
ditambah adanya diskresi oleh pejabat yang berwenang. Sadar atau tidak,
dapat dipastikan, RUU Rahasia Negara akan memperbesar monopoli dan
diskresi penyelenggara negara. Jika kelak RUU ini disahkan, upaya
meminta akuntabilitas penyelenggara negara bukan lagi pekerjaan mudah.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/06/08/KL/mbm.20090608.KL130504.id.html
Share this article :

0 komentar: