Mengukur Kejujuran Calon Presiden
*Teten Masduki*
# Aktivis antikorupsi
DI berbagai belahan dunia, pengungkapan kekayaan—baik formal maupun
informal—lazim dipakai untuk memelihara integritas pejabat publik. Meski
demikian, banyak orang mafhum: laporan kekayaan pejabat dan anggota
keluarganya itu tidak sepenuhnya jujur, apalagi jika kekayaan itu hasil
korupsi.
Dalam persyaratan pencalonan presiden dan pasangannya, ada keharusan
para calon melaporkan kekayaannya. Mereka juga harus menyatakan diri
tidak pernah melakukan korupsi atau mengkhianati negara, memiliki nomor
pokok wajib pajak, tidak punya utang yang merugikan negara, dan tidak
sedang bangkrut. Dalam konteks ini, menilai kadar integritas pejabat
publik secara material, apa pun kelemahannya, lebih terukur ketimbang
misalnya aspek ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam laporan yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum, calon wakil
presiden Prabowo Subianto tercatat paling kaya (Rp 1,5 triliun dan US$
7,5 juta), disusul Jusuf Kalla (Rp 314 miliar dan US$ 25.668), Megawati
Soekarnoputri (Rp 256,4 miliar), Wiranto (Rp 81,7 miliar dan US$
378.652), Boediono (Rp 22 miliar dan US$ 15.000), dan Susilo Bambang
Yudhoyono (Rp 6,8 miliar dan US$ 246.389).
Jelas mereka cukup kaya untuk ukuran kelompok negara kategori lower
middle income (Bank Dunia, Juli 2008), dengan pendapatan per kapita US$
2.200 setahun. Kekayaan calon presiden dan wakilnya itu juga cukup
mencengangkan terutama jika mereka yang seumur hidup berada dalam
pemerintahan. Kekayaan ini juga mengisyaratkan betapa tidak mungkinnya
kandidat berkantong tipis dan tidak memiliki akses terhadap
sumber-sumber dana politik berani mencalonkan diri sebagai presiden.
Apa makna laporan kekayaan calon presiden itu dalam konteks Pemilu 2009?
Praktis tidak ada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 yang
bisa menggugurkan pencalonan jika harta para kandidat ternyata diperoleh
tidak wajar. Jadi aturan ini bukan filter untuk memilih calon presiden,
melainkan instrumen preventif untuk mendeteksi tingkat kewajaran
pertambahan kekayaan mereka sebelum dan sesudah berkuasa. Kalau tujuan
ini yang diharapkan, kandidat yang paling kotor pun tidak akan ragu
untuk mencalonkan diri—kendati harus membeberkan kekayaannya kepada publik.
Kita boleh ragu pada efektivitas kewajiban pelaporan kekayaan itu
terhadap upaya pencegahan korupsi. Apalagi, sejauh ini, belum ada
pejabat yang memiliki kekayaan yang tidak masuk akal didakwa di
pengadilan korupsi. Kalaupun ada, data kekayaan itu hanya pelengkap
kasus korupsi lain yang tengah disidangkan. Asas pembuktian
terbalik—cara paling jitu untuk menyeret koruptor ke bui—masih ragu-ragu
diterapkan di Indonesia.
Laporan kekayaan mestinya dapat memberikan informasi yang memadai agar
publik mendapatkan gambaran integritas mereka. Selain itu, laporan yang
rinci tentang keuangan, kekayaan, kondisi perusahaan, atau utang mereka
dan kerabat dekatnya dapat mencegah konflik kepentingan ketika mereka
menjalankan tugas nanti. Sayangnya, hal itu tidak terjadi karena Komisi
Pemberantasan Korupsi hanya melakukan verifikasi ala kadarnya.
Di Tanah Air, terutama sejak Pemilu 1999, muncul fenomena pengusaha yang
menjadi donatur politik. Ini adalah sesuatu yang lumrah: pebisnis
membutuhkan infrastruktur yang kuat untuk kepentingan bisnis mereka ke
depan, sehingga ”menanamkan” duit mereka dalam ranah politik.
Tapi dewasa ini kepentingan pebisnis terjun ke politik berarti sangat
pragmatis: yang disasar adalah captive market berupa proyek-proyek yang
didanai anggaran pendapatan dan belanja negara atau daerah. Karena itu,
tidak benar pendapat yang mengatakan calon pemimpin yang kaya relatif
tidak bakal melakukan korupsi. Kandidat kaya bukan tidak mungkin akan
menumpuk kekayaannya, termasuk dengan cara yang korup, karena ada
”tuntutan” dari para donatur.
Sayangnya, dalam kecenderungan pemilu yang clientelistic (Kitschelt dan
Wilkinson, 2007), urusan integritas bukan faktor utama yang
dipertimbangkan para pemilih. Yang mereka perhitungkan adalah tingkat
”kedermawanan” material para kandidat selama kampanye.
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/06/08/KL/mbm.20090608.KL130506.id.html
Mengukur Kejujuran Calon Presiden
Written By gusdurian on Senin, 15 Juni 2009 | 15.21
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar