BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Gangguan Jiwa Massal ala Garut

Gangguan Jiwa Massal ala Garut

Written By gusdurian on Senin, 15 Juni 2009 | 15.23

Gangguan Jiwa Massal ala Garut

Jumlah penderita skizofrenia di Garut, Jawa Barat, tertinggi
se-Indonesia. Namun kondisi mereka membaik setelah dilakukan pengobatan
layak selama Mei-Juni ini.

Duduk bertelanjang dada, Jaja Kuswandi ramah mela­deni pertanyaan tim
dokter dan psikiater yang memeriksanya. Pemuda 31 tahun ini tak juga
merasa gerah meski ruang pemeriksaan di Puskesmas Kersamanah, Kabupaten
Garut, Jawa Barat, itu pe­ngap. Jawabannya ringkas, dan masuk akal.
”Saya baikbaik saja, Dokter. Tapi saya sering sakit kepala,” ujarnya
ketika ditanyai soal kesehatannya.

Begitulah penampilan Jaja bila tidak sedang kumat. Padahal, kalau sedang
kambuh, warga Kampung Calingcing, Desa Kersamanah, itu berlari atau
melompat ke sanakemari, bergaya meninju langit, split, bahkan salto. Dia
suka menirukan adegan film laga. ”Saya ini Power Ranger, biasa bertarung
lawan Van Damme,” katanya.

Jika Jaja ”beraksi”, anakanak kecil di kampungnya datang berkerumun dan
bertepuk tangan. ”Pokoknya cuma cari perhatian orang. Soalnya, kalau
sendirian, tidak seperti itu, dia diam saja,” kata Anas, 38 tahun, warga
sekampung Jaja.

Sudah sepuluh tahun Jaja berperilaku seperti itu. Dulunya, dia dikenal
sebagai anak muda cerdas dan alim. Selepas lulus sekolah teknik
menengah, ia bercitacita mendirikan bengkel. Karena tak bermodal, ia
bekerja serabutan meski upahnya tak banyak.

Suatu ketika, Jaja diajak orang tuanya, M. Syamsudin dan Rohmah, ke Nusa
Tenggara Timur. Entah kenapa, tibatiba Jaja kembali ke Garut dengan
kakaknya, tanpa kedua orang tua mereka. Sejak itu, Jaja terlihat murung
dan suka mengurung diri. Lamakelamaan, kata Anas, perilakunya menjadi
anehaneh. Di tempat umum, ia suka mencari perhatian. Jika sendiri, ia
suka diam dan mengurung diri.

Tim dokter dari Rumah Sakit Hasan Sadikin dan Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran, Bandung, yang memeriksanya, mendiagnosis Jaja
terkena skizofrenia atau gangguan jiwa kronis tipe hebefrenik—seperti
anak kecil, suka merengekrengek. Gejalanya antara lain berperilaku tidak
logis, suka tertawatawa atau menangis, mudah tersinggung dan marah, juga
berhalusinasi. ”Tandatandanya jelas, dan bisa diterapi untuk sembuh,”
ujar Kepala Bagian Psikiatri Rumah Sakit Hasan Sadikin dokter Teddy
Hidayat.

Jaja sebenarnya lebih beruntung ketimbang kawan sekampungnya, Maman atau
tiga kakakadik Dede, 40 tahun, Deden Juhana (33), dan Ujang Mulyana
(25). Tiga anak Oman, warga Kampung Calingcing, itu menderita
skizofrenia. Penyebabnya dari masalah ekonomi hingga cinta.

Dari ketiganya, kondisi Deden yang terberat. Karena suka mengamuk dan
menyakiti diri sendiri atau orang sekitar, Deden harus dikerangkeng
keluarganya di ruangan pengap. ”Makan, tidur, dan buang air besar pun di
sana. Ia juga tak mau memakai baju,” kata Iyus Jamaludin, petugas
Puskesmas Sukamerang, Kecamatan Kersamanah.

Maman, 40 tahun, warga Kampung Pesanggrahan, Desa Kersamanah, juga
parah. Hampir separuh usianya dia habiskan di kerangkeng. Boleh jadi,
karena itu, Maman sekarang nyaris lumpuh. ”Enggak tahu kenapa tibatiba
sakit seperti ini,” kata ibunya, Isah, 60 tahun, dalam bahasa Sunda.

Isah menduga Maman sakit karena kecewa. Dua puluh tahun lalu, anak
lelakinya itu pernah ikut usaha dagang dengan pamannya di Garut. Tapi
usaha­nya kurang berhasil. Maman pun berubah. Ia menjadi pendiam, dan
pemarah. Meski beberapa kali diobati, termasuk dirawat di Rumah Sakit
Jiwa Cisarua, Cimahi, dia kambuh lagi.

Dulu, Isah sering membawa obat gratis dari puskesmas. Jika minum obat,
Maman membaik. Namun ongkos ke puskesmas yang kini mencapai Rp 20 ribu
sekali jalan membuat Isah tak sanggup lagi. ”Setiap kali ke puskesmas,
kami selalu berutang,” kata Isah.

Jaja, Maman, dan Deden adalah tiga dari 80an orang warga di lima desa di
Kecamatan Kersamanah yang sudah lama menderita skizofrenia. ”Gila
massal” itu membuat tim dokter dari Rumah Sakit Hasan Sadikin dan Dinas
Kesehatan Garut turun ke seluruh pelosok desa mulai awal Mei lalu.
Mereka mendata, melakukan pendekatan, memeriksa, dan mendiagnosis,
sekaligus memberikan pengobatan.

Tim itu banyak menemukan warga penderita skizofrenia kronis alias sudah
menahun. Mereka tak mampu berobat karena miskin. ”Tak sedikit yang
diisolasi atau dikerangkeng karena dianggap membahayakan warga,” kata
Camat Kersamanah Akhmad Sopari.

Menurut dokter Teddy Hidayat, skizofrenia adalah salah satu bentuk
gangguan jiwa berat. Penyebabnya biasanya faktor keturunan, kejiwaan,
dan sosial. Ketiganya bisa muncul bersamaan atau sebagian. Penderita
dengan skala ringan masih bersikap realistis. Tandatandanya antara lain
sering menyendiri, mudah curiga, marahmarah, dan ketakutan berlebihan.
Adapun yang berat biasanya menjadi tidak rea­listis, seperti mengalami
halusinasi dan waham, bahkan sering mengamuk.

Kasus gila massal yang terjadi di Kecamatan Kersamanah, menurut ­Teddy,
tidak luar biasa. ”Itu semua karena tidak ditangani dengan peng­obatan
baik,” kata Teddy, ketua tim dokter Hasan Sadikin untuk Kersamanah.
Buktinya, saat tim dokter dan psikiater melakukan pengobatan intensif
sejak Mei hingga Juni ini, banyak penderita yang kondisinya membaik.

Yang membuat warga tak mampu mendapat akses ke pengobatan adalah
kemiskinan. Meski Kersamanah terletak di kawasan lereng gunung yang
subur, berada di jalur lintasan utama BandungTasikmalaya, sekaligus lalu
lintas selatan Jawa Barat dan Jawa Tengah menuju Jakarta, lima desa di
kecamatan itu tetap miskin. Banyak warga menganggur. Kemiskinan juga
meng­akibatkan tingkat stres makin tinggi.

Penyebab lain timbulnya sakit jiwa, menurut Teddy, adalah perkawinan
sedarah—meski tidak terlalu besar dan berpengaruh. Dinas Kesehatan Garut
mencatat setidaknya lima orang memiliki riwayat perkawinan dalam satu
keluarga dan 12 orang punya riwayat gangguan jiwa dalam keluarga.

Jumlah penderita skizofrenia di Kersamanah memang tergolong tinggi, di
atas standar nasional. Menurut survei Departemen Kesehatan 2007, jumlah
penderita skizofrenia pada usia 15 tahun ke atas di Jawa Barat adalah
yang tertinggi di Indonesia, sehingga pena­nganannya sudah tidak bisa
bersifat ­individu.

Tim dokter Rumah Sakit Hasan Sadikin mengusulkan pembentukan desa siaga
sehat jiwa, dengan konsep pela­yanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat.
Sehingga penderita gangguan jiwa dalam satu kawasan bisa dirawat mandiri
oleh keluarga. Hanya yang benarbenar perlulah yang dirawat berjenjang di
puskesmas atau rumah sakit jiwa dalam jangka pendek. Tapi pasokan obat
dijamin pemerintah.

Sejauh ini, pola jemput bola pera­watan penderita jiwa seperti itu
sukses dipakai di tujuh kabupaten di Nanggroe Aceh Darussalam
pascatsunami. Dokter dan perawat puskesmas dilatih menangani penderita
gangguan jiwa. Penduduk desa direkrut menjadi kader dan mengidentifikasi
penderita. Yang sudah sembuh diberi modal usaha agar produktif. Dengan
melibatkan komunitas, keluarga yang memiliki saudara yang terkena
skizofrenia tidak perlu malu, tak perlu memasungnya, karena tetangga
siap membantu.

*Widiarsi Agustina, Sigit Zulmunir (Garut), Anwar Siswadi (Bandung)
*

*http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/06/08/KSH/mbm.20090608.KSH130494.id.html
*
Share this article :

0 komentar: