BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Ketika Film Bertasbih

Ketika Film Bertasbih

Written By gusdurian on Senin, 29 Juni 2009 | 10.48

/Ketika Film Bertasbih /

*Budiyati Abiyoga*
PRODUSER FILM

Film Indonesia mencatat fenomena luar biasa dengan hadirnya film /Ketika
Cinta Bertasbih/ garapan Chaerul Umam, yang pada hari kelima
pemutarannya di bioskop telah menghadirkan sekitar 600 ribu penonton.
Sedangkan terakhir ini film-film yang mampu bertahan di bioskop hanya
dapat meraih 300 ribuan penonton selama dua sampai tiga minggu.
Film-film /box office/ mengumpulkan di atas 2 juta penonton setelah dua
sampai tiga bulan beredar. Dari menonton film /KCB/, saya melihat bahwa
fenomena film itu bukan semata dari aspek pasar, konsumen, atau
industri, tetapi juga dari aspek kreativitas.

Sekitar 20 tahun yang lalu, dalam diskusi dengan komunitas remaja suatu
masjid, saya bersama sutradara Chairul Umam dimintai pendapat tentang
film Islami. Dalam diskusi itu peserta tidak hanya memasalahkan gambar
yang ditampilkan seronok, tetapi juga proses pembuatan gambar yang
menyalahi ajaran Islam. Contoh sederhana saja, pemain yang dalam cerita
memerankan tokoh suami-istri apakah boleh bergandengan tangan atau
berpelukan, padahal dalam kehidupan nyata mereka bukanlah muhrim?

Karya film mencerminkan perikehidupan di sekitar kita, sehingga memang
sulit menghindarkan gambaran yang non-Islami dalam film, walaupun secara
utuh film tersebut mengemban misi Islam. Film adalah media audiovisual,
sehingga suatu kondisi yang buruk sekalipun sering kali perlu
ditampilkan dalam gambar, jadi bukan cuma terbatas dalam ucapan.
Misalnya saja pemerkosaan, penyiksaan, pembunuhan, mistik. Kesan atas
kondisi tertentu memang dapat diperoleh tanpa menunjukkan gambar-gambar
nyata. Jadi, masalahnya kemudian, bagaimana menciptakan kesan yang
diharapkan akan terbangun dalam diri penonton melalui gambar, serta
bagaimana proses pembuatan gambar dapat dilakukan tanpa menyalahi ajaran
Islam.

Film /Titian Serambut Dibelah Tujuh/ (/TSDT/) karya Chaerul tahun 1982
menampilkan roh Islami dengan /setting/ pedesaan nun di mana, sebagai
set rekaan. Baik-buruk ditampilkan secara sangat hitam-putih. Guru muda
yang teguh iman melawan kebatilan berhadapan dengan berbagai tokoh: guru
agama kolot yang tidak menghendaki pembaruan, tokoh kaya yang bejat
moral, penjudi, homoseksual, pemuda berandal yang tukang perkosa, istri
tokoh kaya yang memfitnah karena cintanya kepada guru muda bertepuk
sebelah tangan.

Lengkaplah kesulitan meniti rambut yang sudah tipis terbelah tujuh pula.
Hitam-putih ini masih diperjelas dengan kehadiran musafir tua yang
menyampaikan informasi panutan. Film ini meraih 10 nominasi FFI tahun
1983, termasuk nominasi untuk film dan sutradara terbaik dan meraih
Citra untuk skenario. Juga terpilih menjadi film drama terbaik PWI 1983.
/TSDT/ merupakan /remake/ film tahun 1959 dengan judul dan penulis
skenario yang sama, Asrul Sani, yang waktu itu juga sekaligus
menyutradarai.

Saya tidak menonton film pertama Chaerul Umam /Al Kautsar/, tapi dari
Katalog Film Indonesia 1926-2005 (penulis J.B. Kristanto, penerbit
Nalar), tampaknya pesan baik-buruk juga disampaikan secara hitam-putih
dengan /setting/ Desa Sekarlangit nun di luar Jawa. Guru muda berhadapan
dengan guru tua yang tidak menghendaki pembaruan, juga menghadapi
tokoh-tokoh penjudi, pembunuh, pemfitnah. JB Kristanto mencatat aspek
kreatif yang menarik dalam ilustrasi musik film ini, yaitu penyajian
paduan suara dengan lagu-lagu salawat sebagai unsur utama. /Al Kautsar/,
yang berarti "nikmat yang banyak", meraih dua piala Festival Film
Asia-Pasifik ke-23 tahun 1977 di Bangkok sebagai film yang mengangkat
sosial-budaya dan untuk /sound recording/.

Diangkat dari novel karya Habiburrahman El Shirazy yang penjualannya
meledak, /setting/ film /KCB/ bukan antah berantah atau nun di mana,
melainkan sangat realistis yaitu Kairo dan Indonesia. Tokoh utamanya
mahasiswa Indonesia di Kairo yang berjualan tempe. Kita akrab dengan
kondisi ini, yang juga dapat ditemui di kampus-kampus Indonesia sampai
universitas terpandang, seperti UI, GAMA, ITB, tempat banyak mahasiswa
melanjutkan studi sambil bekerja sambilan apa pun, seperti berjualan
roti bakar, makanan lesehan, sablon kaus, jaket, sampai mendatangkan
kambing dari kampung untuk Hari Raya Kurban. Di Eropa, Amerika, dan
Australia, banyak mahasiswa Indonesia yang jadi pelayan restoran sampai
/cleaning service/.

Saya tidak berada di komunitas pesantren atau yang spesifik Islam,
sehingga film itu memberikan pemahaman, keikutsertaan merasakan,
mengenai pola pikir, perasaan dan kehidupan banyak muslim di sekitar
kita, yang tidak terlepas dari percintaan remaja, dan lingkungan
campuran antara yang fanatik dan yang moderat. /KCB/ menghadirkan
kesegaran, menggabungkan senyum geli dan keharuan. Ilustrasi musik
garapan Melly Goeslaw dan Anto Hoed sangat dinamis, nuansa padang pasir
disajikan dengan /beat/ yang menyentak, digabung dengan /sound track/
lagu-lagu mutakhir. Bisa dinikmati bukan semata oleh penonton yang
spesifik mengharapkan tontonan film Islami, tetapi juga oleh penggemar
film Hollywood sekalipun.

Tampaknya, kreativitas /content/ (isi) itulah yang mengantar /KCB/
sekaligus mampu menjangkau konsumen yang memang biasa menonton film
/mainstream/ (arus utama) Indonesia atau Hollywood. Indikasi ini
terlihat dari pengamatan /associate/ saya, Abiprasidi. Di PIM, misalnya,
/KCB/ diputar di dua layar dan dipenuhi anak-anak muda trendi yang
kebanyakan tidak menampilkan identitas kemusliman seperti kerudung.
Ditambah lagi penonton spesifik dengan identitas kemusliman yang
membludak di bioskop-bioskop lainnya, dari kalangan remaja dan keluarga.

Film /KCB/ diputar sekaligus selain di Indonesia juga di tujuh negara
Asia lainnya, yaitu Malaysia, Brunei Darussalam, Taiwan, Hong Kong, dan
Singapura. Di samping itu juga di Kairo (Afrika) dan Australia. Apabila
film /KCB/ dapat menjadi lokomotif yang menggandeng film-film Islami
dengan nuansa serupa, atmosfer ini akan menjadi tahapan baru dalam
perfilman kita.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/26/Opini/krn.20090626.169254.id.html
Share this article :

0 komentar: