BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Ketahanan Ideologi dalam Ranah Kebangsaan

Ketahanan Ideologi dalam Ranah Kebangsaan

Written By gusdurian on Jumat, 19 Juni 2009 | 12.46

Ketahanan Ideologi dalam Ranah Kebangsaan

*Asep Purnama Bahtiar*

# Kepala Pusat Studi Muhammadiyah dan Perubahan Sosial Politik UMY;
Peserta PPSA XVI/2009 Lemhannas RI

Suatu bangsa, tulis Carlton C. Rodee (1995), pada hakikatnya ingin
melestarikan dirinya serta organisasi negaranya. Pelestarian ini
memerlukan jaminan, baik yang langsung dapat dimanfaatkannya untuk
mendukung pelestarian tersebut, antara lain berupa kebutuhan materiil
dan spiritual, maupun yang tidak memberikan jaminan kepastian dan
pengayoman, seperti lazimnya dalam hal jaminan yang berupa ketentuan
moral maupun hukum.

Pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa keuletan, ketangguhan, dan
kemampuan suatu bangsa dalam merespons gangguan dan ancaman itu
merupakan kondisi dan sikap yang strategis. Dalam konteks inilah
pergulatan ideologi bangsa untuk membangun ketahanan dan daya saing,
terutama dalam percaturan global, perlu ditata dan dikelola /by
design/agar produktif dan konsisten.

Istilah ideologi pertama kali digunakan oleh filsuf Prancis, Destutt de
Tracy, pada 1796 untuk menjelaskan ilmu baru yang ia rancang mengenai
analisis sistematik tentang ide dan sensasi, tentang makna turunannya
kombinasinya dan akibat yang ditimbulkannya. Menurut Lyman Tower Sargent
(1987), ideologi adalah sebuah sistem nilai atau kepercayaan yang
diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh beberapa kelompok.

Lebih lanjut, Sargent menjelaskan, ideologi dibentuk dari serangkaian
sikap terhadap institusi-institusi dan proses-proses dari masyarakat
yang bermacam-macam. Ideologi menyediakan sebuah gambaran dunia bagi
orang-orang yang mempercayainya, baik yang seadanya maupun yang
seharusnya, dan, dalam tindakannya pula, ideologi mengorganisasikan
kompleksitas yang hebat dari dunia kepada sesuatu yang sederhana dan
bisa dipahami secara agak baik.

Berdasarkan pengertian tersebut, ideologi tidak hanya dimiliki oleh
suatu negara atau bangsa, tetapi juga organisasi, perkumpulan, kelompok,
dan bahkan individu, sekalipun bisa memiliki atau menganut suatu
ideologi. Karena tidak mengenal batasan orang atau organisasi, daya
rasuk dan sekaligus potensi daya rusak ideologi itu tidak kalah massif
dan destruktifnya bagi keutuhan suatu negara dan pandangan hidup bangsa.
Sebagai negara-bangsa yang masih berkutat dengan berbagai masalah
pembangunan nasional, ketahanan ideologi di Indonesia sangat penting
untuk mendapat perhatian.

Ketahanan ideologi yang prima bisa menjadi daya hidup bangsa yang
percaya diri dan bangga dengan nilai-nilai keindonesiaan yang tidak
kalah bobotnya dengan ideologi dari luar. Dengan kualitas pandangan
hidup seperti ini, upaya untuk menariknya ke tataran implementasi,
misalnya dalam pembangunan nasional, dengan sendirinya mudah untuk
dilakukan.

Dalam konteks seperti itu, penataan ulang dan pembenahan yang tepat di
dalam tubuh negara-bangsa ini merupakan agenda yang mendesak untuk
segera dikerjakan bersama-sama. Upaya seperti ini akan sangat
memungkinkan untuk menghasilkan etos berbangsa dan bernegara dengan
spirit ideologi sendiri, Pancasila, sehingga Indonesia mapan dan sembada
sebagai sebuah negara modern dengan kepercayaan diri dan kesanggupan
yang luar biasa dalam merealisasi pembangunan nasionalnya.

*Ranah kebangsaan*

Dalam ranah kebangsaan, ketahanan ideologi tersebut memerlukan semacam
tilikan diri ke dalam (/self-insight/) untuk mengidentifikasi dan
memetakan masalah yang selama ini menghambat aktualisasi dan
implementasi Pancasila. Di sini diperlukan kejujuran dan kecermatan
dalam menilai dan menganalisis masalah: mana yang prinsipiil, mana yang
strategis; mana yang urgen, dan mana yang tidak. Langkah selanjutnya
kemudian merumuskan beberapa agenda strategis dan perencanaan program
yang /feasible/berikut skala prioritasnya, terutama yang berhubungan
langsung dengan penguatan ke dalam tubuh masyarakat dan juga
negara-bangsa dalam berbagai aspeknya.

Untuk kepentingan ketahanan ideologi ini pula, Pancasila harus
dikembalikan sebagai ideologi. Hal ini berarti bahwa Pancasila harus
dijadikan rasional. Menjadikan Pancasila sebagai ideologi rasional tidak
berarti "mempersoalkan" Pancasila, dalam arti ragu terhadapnya.
Sebaliknya, kita /taken for granted/ dan mengefektifkan Pancasila
sebagai ideologi rasional dengan mengubah cara pemasyarakatannya. Itu
berarti bahwa alam pikiran mitis yang selama ini dipakai dalam
memasyarakatkan Pancasila harus diganti dengan alam pikiran sejarah,
sebagaimana dulu sudah dianjurkan oleh almarhum Soedjatmoko sejak 1957
dalam Seminar Sejarah Nasional yang pertama (Kuntowijoyo, 1997).

Spirit yang dikandung dalam revitalisasi dan rasionalisasi Pancasila
adalah tekad dan gagasan kemajuan untuk memberikan semacam garansi bagi
terbangunnya ketahanan ideologi secara terarah dan berkesinambungan.
Tekad dan semangat implementatif ketahanan ideologi dalam ranah
kebangsaan adalah strategis, karena masih banyaknya agenda dan persoalan
pembangunan nasional yang menyangkut sumber daya manusianya: sikap
mental, integritas, dan kompetensi.

Berdasarkan pembahasan tadi, ada tiga poin yang bisa dirumuskan sebagai
proposal untuk menata ketahanan ideologi. Pertama, pembangunan dan
penguatan bangsa mesti berhubungan langsung dengan sumber daya
manusianya. Dalam hal ini, pembangunan dan penguatan kapasitas tadi
membutuhkan dukungan kepemimpinan yang berkarakter, visioner, pendidikan
yang bermutu, partisipasi anggota dan warga yang proaktif, dan manajemen
pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Kedua, rasionalisasi ideologi Pancasila perlu memperoleh prioritas dalam
ranah kebangsaan kita. Upaya ini karena perubahan sosial dan
perkembangan zaman yang terus bergerak dengan berbagai implikasi
persoalannya bagi kehidupan manusia, mustahil bisa direspons secara
tepat dan strategis jika tidak didukung dengan ketahanan ideologi secara
rasional.

Ketiga, reafirmasi ketahanan ideologi sebagai alternatif bagi
pembangunan ketahanan nasional. Poin ini sangat penting, mengingat masih
adanya kesalahpahaman masyarakat atau sebagian warga negara tentang
konsep ideologi dan Pancasila, yang hanya dipahami sebagai kata benda,
dan melupakan pengertiannya sebagai kata kerja.

Dalam hal ini pula pemerintah, kalangan swasta, dan masyarakat madani
bisa melakukan gerakan kultural kepada warga masyarakat dan bangsa,
misalnya dalam bentuk internalisasi-eksternalisasi-obyektivasi
nilai-nilai Pancasila dan budaya kewargaan secara simultan. Kultivasi
Pancasila secara rasional tadi pada akhirnya nanti bisa menjadi basis
pemekaran kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang lebih
demokratis dan /civilized/.

Di sinilah ketahanan ideologi dalam ranah kebangsaan menjadi bermakna. *

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/17/Opini/krn.20090617.168392.id.html
Share this article :

0 komentar: