BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kejujuran dalam Penerbangan

Kejujuran dalam Penerbangan

Written By gusdurian on Selasa, 16 Juni 2009 | 11.51

Kejujuran dalam Penerbangan
Oleh Dr Yaddy Supriyadi SH MM SSiT Ketua Ikatan Dosen dan Instruktur
Penerbangan Curug, Tangerang

S UNGGUH memprihatinkan dan sangat menyedihkan. Kecelakaan pesawat
militer bertubi-tubi terjadi dalam kurun waktu singkat, merenggut
nyawa-nyawa anak bangsa terbaik yang telah didik mahal dan memiliki
keterampilan untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pada pesawat sipil pun terjadi lagi berbagai insiden
Demikian juga pada kereta api dan kapal laut
Ada apa dengan pesawat militer kita? Ada apa dengan penerbangan kita?
Ada apa dengan transportasi kita? Metode pencegahan Meskipun pesawat
militer dalam Konvensi Chicago dikategorikan sebagai pesawat negara dan
dibedakan dari pesawat sipil, metode yang harus dilakukan dalam
pencegahan kecelakaan pesawat adalah sama dengan metode yang dianjurkan
bahkan diwajibkan International Civil Aviation Organization (ICAO).
Metode pencegahan kecelakaan yang berlandaskan pada teoriteori yang
berkembang dalam dunia ilmiah penerbangan saat ini dan diadopsi dalam
kebijakan ICAO harus dilakukan juga oleh penerbangan militer
Metode teknologi dan regulasi telah berhasil menurunkan angka kecelakaan
pesawat sipil secara signifikan hingga 1975. Setelah 1975 angka
kecelakaan, meskipun rendah, tidak dapat diturunkan lagi dengan kedua
metode tersebut
Teknologi yang makin canggih dan regulasi yang makin ketat, telah
mencapai titik jenuh dan memerlukan metode lain dalam upaya pencegahan
kecelakaan pesawat
ICAO kemudian memutuskan membuat me
tode baru di samping kedua metode tersebut
Metode yang dijadikan kebijakan ICAO dan harus dilaksanakan negara
peserta ICAO, termasuk Indonesia, adalah metode analisis insiden,
dituangkan dalam Doc 9422 Accident Prevention Manual. Setiap insiden
harus dilaporkan untuk dianalisis dan kemudian ditetapkan langkahlangkah
pencegahan kecelakaan pesawat
Kebijakan itu ditetapkan berdasarkan paradigma bahwa kecelakaan pesawat
adalah akumulasi dari insiden-insiden yang dibiarkan
Dalam teori dikatakan bahwa dari 600 insiden akan terjadi 30 kecelakaan
biasa, 20 kecelakaan serius, dan 1 kecelakaan fatal. Setiap insiden
pesawat harus diinvestigasi dengan tujuan bukan untuk menyalahkan
(blame), melainkan untuk dijadikan bahan pembelajaran (lesson learnt)
dalam rangka mencegah kecelakaan serupa terulang kembali
Dengan demikian, keberhasilan pencegahan kecelakaan pesawat adalah
sangat bergantung pada pelaporan insiden
Wajib lapor Maukah pelaku melaporkan dan berkata jujur tentang apa yang
terjadi dalam kecelakaan atau insiden yang telah dilakukannya? Adalah
manusiawi untuk menutupi kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan individu
karena rasa malu dan gengsi apalagi bila ada ancaman hukuman pidana.
Oleh karena itu, pada tahap awal program pelaporan insiden ini masih
bersifat sukarela dan anonim
Sudah tentu jumlah pelaporan sukarela tersebut sangat terbatas. Banyak
insiden yang disembunyikan karena berbagai alasan tersebut
Untuk mengembangkan budaya lapor (reporting culture) ini, masyarakat
penerbangan internasional dan ICAO mengajukan konsep just culture dengan
ketentuan pelaku-pelaku insiden tidak dihukum kecuali bila memang ada
perilaku yang tidak bisa diterima (unacceptable behavior)

ICAO dalam salah satu strategi Global Aviation Safety Plan, yaitu
effective errors and incident reporting systems, meminta agar negara
mengubah undang-undang penerbangan dengan memasukan prinsip-prinsip just
culture
Di Denmark misalnya, insiden yang dilaporkan hanya 15 insiden per tahun,
tetapi setelah kewajiban dan perlindungan terhadap laporan insiden
dimasukkan ke undang-undang, insiden yang dilaporkan ada 980. Hampir
tabrakan di udara (near-miss) dari 15 kali menjadi 50 per tahun
Kasus di Denmark itu menunjukkan betapa banyak insiden penerbangan yang
selama ini disembunyikan, tidak dilaporkan, dan tidak diinvestigasi
Semua harus jujur Agar insiden yang telah terjadi dilaporkan pelaku
dengan data yang lengkap, harus diciptakan kondisi pelaku insiden tidak
diancam hukuman. Harus ada kondisi kejujuran didorong dan dikembangkan,
kejujuran sangat dihargai, dan ada suasana penuh kepercayaan (an
atmosphere of trust in which people are encouraged [even rewarded] for
providing essential safety-related information)
Di negara kita keharusan membuat laporan dan perlindungan terhadap
pelapor telah dituangkan dalam Undang-Undang Penerbangan No 1 Tahun 2009
dalam Pasal 321
Masalahnya kini adalah apakah semua jajaran penerbangan dari tingkat
tenaga operasional hingga pimpinan puncak sudah memahami dan siap dengan
berperilaku sesuai budaya lapor (reporting culture)? Bila tenaga di
ujung tombak, penerbang, mekanik, ATC dan lain-lain siap memberikan
laporan setiap insiden sebagaimana diamanahkan ICAO dan undang-undang
penerbangan, apakah pimpinan lini siap menerima laporanlaporan insiden?
Apakah tim investigasi siap meneliti serta menganalisis dengan model
penelitian yang benar, yang dianjurkan ICAO, sehingga diketahui latent
failures dari insiden tersebut, yaitu keputusan-keputusan pimpinan yang
keliru di samping active failures yang berkaitan dengan kekeliruan
tenaga operasional? Siapkah melaporkan temuan latent failures tersebut
ke atasan? Tidak adakah rasa khawatir dicopot pimpinan puncak ketika
menyampaikan laporan tersebut? Apakah pimpinan puncak siap berperilaku
dengan berkata, “I would like rather know the incidents than punish the
offender?” Apakah pimpinan puncak mau dengan jujur menerima semua
laporan insiden dan kemudian mau melaksanakan semua rekomendasi hasil
investigasi insiden yang berkaitan dengan latent failures? Mau melakukan
perbaikan sistem? Mau memperbaiki keputusan
keputusan pimpinan yang keliru? Kejujuran yang diharapkan tumbuh dalam
diri tenaga operasional penerbangan untuk melaporkan dan berkata benar
tentang apa yang terjadi dalam setiap kecelakaan atau insiden harus
disertai dengan kejujuran pimpinan lini dan puncak untuk mau
menganalisis insiden dan mau menerima dengan lapang dada temuan latent
failures dan kemudian mau memperbaiki kekeliruan dalam sistem sesuai
dengan rekomendasi hasil investigasi
Dalam referensi ilmiah penerbangan, negara Indonesia termasuk ke
kelompok negara yang memiliki kultur dengan power distance yang sangat
tinggi, yaitu ada jarak yang besar antara junior dan senior. Junior
sangat menghormati senior dan takut untuk memberikan masukan. Senior
tidak mau dikritik dan sering mengabaikan masukan junior. Kopilot
berpikir lama dan mencari katakata yang sopan untuk menegur captain
pilot yang melakukan kekeliruan, meskipun kedua-duanya telah mengikuti
pelatihan CRM (cockpit resources management) yang berupaya menghilangkan
power distance yang tinggi
Bila kultur power distance yang tinggi ini masih bersemayam dalam
insan-insan operasional dan pimpinan penerbangan Indonesia, sipil maupun
militer, investigasi kecelakaan maupun insiden pesawat, tidak akan
efektif sebagai metode pencegahan kecelakaan pesawat. Kecelakaan pesawat
akan terus terjadi
Bisakah? Bisakah insan penerbangan di berbagai lapisan bersikap dan
berperilaku jujur? Jujur dalam melaporkan setiap insiden, jujur dalam
menerima laporan dan menganalisis insiden, jujur dalam menerima
rekomendasi hasil penelitian insiden, dan jujur melaksanakan perbaikan
sesuai rekomendasi tersebut? Nilai yang terkandung dalam budaya lapor
(reporting culture) adalah kejujuran. Penerbangan harus dikelola dengan
penuh kejujuran. Penerbangan adalah industri yang termasuk ke kategori
complex-socio-technical system yang memerlukan koordinasi dan interaksi
yang akurat banyak tenaga profesional dan komponen teknologi, yang bila
tidak dikelola dengan jujur, yang akan terjadi adalah bencana besar
(catastrophes)
Dari landasan teori yang diadopsi dalam kebijakan ICAO tersebut, bila di
suatu negara banyak terjadi kecelakaan pesawat, bahkan bertubi-tubi,
hipotesisnya adalah penerbangan di negara tersebut belum dikelola dengan
jujur (demikian juga pelayaran serta transportasi darat lainnya).
Hipotesis itu tentunya perlu dibuktikan melalui penelitian yang juga jujur

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/06/16/ArticleHtmls/16_06_2009_017_001.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: