BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kebangkitan Primordialisme

Kebangkitan Primordialisme

Written By gusdurian on Senin, 29 Juni 2009 | 12.20

/Kebangkitan Primordialisme/

Maryanto
PEMERHATI POLITIK BAHASA

Tidaklah mudah untuk merawat bangunan jiwa nasionalisme di Indonesia.
Bangunan yang "diruwat" setiap 20 Mei itu seakan terus digerogoti oleh
kaum primordial yang masih gemar menyekat-nyekat anak bangsa Indonesia.
Dengan berdalih anak Indonesia akan kehilangan bahasa daerah sebagai
bahasa ibu, kaum primordial itu sudah berhasil menerobos dunia
pendidikan di Indonesia.

Adalah sebuah terobosan baru apabila sebuah seminar nasional yang
bertajuk "Pendidikan Keaksaraan melalui Bahasa Ibu" dapat segera
digelar. Menurut rencana, seminar pendidikan itu akan digelar di
Bandung, Jawa Barat, pada akhir Mei 2009. Isu yang sangat gencar
digulirkan ialah penyelamatan bahasa ibu. Lewat seminar akbar itu, kaum
primordial akan mengusung isu bahasa ibu terancam punah.

Di mata kaum primordial, ibu-ibu Indonesia dipandang sudah menopause,
tidak akan produktif melahirkan bentuk-bentuk bahasa anak. Anak-anak
Indonesia dikhawatirkan akan lahir dan tumbuh besar tanpa bahasa ibu.
Bahasa ibu dianggap sudah sekarat, seperti kata Y. Siyamta (2009),
"Bahasa ibu: hidup segan, mati tak mau." Benarkah demikian?

"Bu, /mimik/...," kata seorang anak kepada ibunya. Anak Indonesia yang
lain berkata, "/Nenen/..., Bu." Begitu mendengar anak merengek seperti
itu, sang ibu pun akan bergegas dan berkata, "/Netek/, ya, Nak."
Begitulah sosok bahasa ibu. Itulah bentuk bahasa anak, ranah bahasa
keluarga (/home language/), warna bahasa daerah, atau wajah bahasa
Indonesia lokal. Itu semua tetap hidup subur; tak akan pernah punah!

Isu kepunahan bahasa ibu sudah lama merebak di Indonesia. Bahkan isu
bahasa ibu itu sudah berkembang jadi kekhawatiran yang berlebihan.
Karena kekhawatiran itu, misalnya, bahasa ibu pun wajib diajarkan di
sekolah. Di banyak daerah, anak sekolah harus disuguhi materi ajar
bahasa daerah sebagai muatan lokal demi penyelamatan atau pelestarian
bahasa ibu.

Ini sungguh aneh! Sebuah mata pelajaran sekolah mengajarkan tata cara
berbahasa ibu bagi anak sekolah. Sesungguhnya, apa yang disebut bahasa
ibu merupakan bentuk atau sosok bahasa yang sudah dikuasai anak-anak
sebelum mereka mulai duduk di bangku sekolah. Bahasa ini mulai diperoleh
ketika mereka masih dalam dekapan ibunya: entah saat /mimik, nenen,
netek/, atau menyusu.

Perolehan bahasa ibu tentu tidak terbatas pada bentuk bahasa yang
dihasilkan anak dari dekapan ibu. Para ibu--apalagi ibu di
perkotaan--tidak selamanya mengasuh anak. Anak sering diserahkan kepada
pengasuh pengganti, termasuk kepada media massa televisi berbahasa
Indonesia di rumah. Di sinilah bahasa Indonesia juga bahasa rumah. Pola
asuh anak seperti itu rupanya membuat kaum primordial tidak gembira.

Kaum primordial tampak tidak senang melihat bahasa Indonesia bersatu
dengan bahasa daerah (bahasa lokal) untuk membentuk sosok bahasa ibu
bagi anak Indonesia sekarang. Padahal sudah begitu lama bahasa Indonesia
bergerak melokal; secara natural mendekati dan menyerupai bahasa daerah.
Lihat saja, misalnya, bahasa daerah yang sekarang dituturkan di Jakarta,
Ambon, dan Papua.

Di daerah-daerah yang dulunya basis penuturan bahasa Melayu, bahasa
Indonesia sudah melokal secara natural. Naturalisasi bahasa Indonesia
itu juga berlangsung di daerah lain, seperti daerah penuturan bahasa
Sunda dan Jawa. Bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan bahasa daerah lainnya
(non-Melayu) tidak perlu dipandang dengan kacamata kesukuan nenek
moyang. Bahasa daerah bagi generasi sekarang sudah beda.

Bagi anak-anak sekarang, ibu bukanlah satu-satunya sumber perolehan
bahasa pertama. Menurut seorang linguis, John E. Joseph (2001), bahasa
pertama yang sering disebut bahasa ibu itu memiliki ciri pemerolehan
bahasa informal. Batasan bahasa ibu sebagai bahasa informal itu tentu
berimplikasi pada pemakaian bahasa itu dalam situasi informal.

Di luar situasi informal, seperti di dalam ranah persekolahan dan
perkantoran, pemakaian bahasa ibu sangat sukarela. Namun, anehnya lagi,
sudah ada kewajiban pemakaian bahasa ibu dalam situasi formal. Di banyak
daerah, pegawai kantor pemerintah Indonesia diwajibkan berbahasa daerah.
Dalihnya tetap sama: pelestarian atau penyelamatan bahasa ibu sebagai
bahasa leluhur atau nenek moyang.

Isu bahasa ibu memang berbau politik (bahkan politik praktis).
Sayangnya, di Indonesia, isu bahasa ibu dibincang-bincangkan hanya dalam
kerangka bahasa daerah yang dipisahkan (oleh politik bahasa) dari
keranjang bahasa Indonesia. Secara politis, kini, bahasa Indonesia masih
terbelit dan terbelenggu dengan konsep bahasa nasional yang cenderung
menciut pada bentuk bahasa formal, resmi, atau bahasa baku saja.

Belum terdengar nyaring suara tokoh politik Indonesia, seperti Susilo
Bambang Yudhoyono, mengenai isu bahasa ibu tersebut. Presiden SBY--yang
sekarang hendak memperpanjang masa "kontrak" politiknya--dikabarkan akan
mengisi seminar bahasa ibu yang berlangsung di Bandung tersebut. Belum
diketahui apa yang hendak dikatakan SBY pada kesempatan seminar yang
sangat menentukan arah perkembangan anak bangsa ini.

Ketika SBY berhasil mengendalikan partai politik pemenang Pemilihan Umum
2009 sekarang, begitu besar harapan SBY masih mengingat gagasan yang
pernah terungkap dalam Kongres Bahasa Indonesia VIII pada 2003. Pada
kesempatan kongres itu, dengan kesantunan bahasa yang dimiliki, SBY
mengusulkan agar bahasa Indonesia dijadikan "Taman Sari".

Bahasa Indonesia memang perlu dijadikan sebuah taman yang di dalamnya
masyarakat Indonesia berhak menumbuhkan warna-warni bahasa. Taman sari
itu tentu akan menghidupkan bermacam "tumbuhan bunga" yang di sini
disebut bahasa ibu. Bahasa ibu itu akan terus berkembang secara dinamis;
mengikuti jejak perubahan (evolusi) kebudayaan masyarakat Indonesia.
Yakinlah SBY pun juga akan percaya bahasa ibu di Indonesia tidak akan
pernah mati atau punah atau musnah. Apabila dikelola secara konsisten
dengan konsep M. Yamin, M. Tabrani, dkk., yaitu bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan (Sumpah Pemuda 1928), atau dengan gagasan SBY (2003)
dalam istilahnya "Taman Sari", bahasa Indonesia akan sangat dahsyat
menghidupkan bahasa ibu.

Di Indonesia, bahasa ibu akan tetap identik dengan bahasa daerah: semua
bahasa daerah yang sekat-sekatnya dapat dinisbikan oleh bahasa
Indonesia. Dengan bergerak melokal di setiap daerah, bahasa Indonesia
sesungguhnya menjadi bahasa persatuan: bahasa yang mewadahi; menghimpun;
melestarikan bahasa daerah sebagai bahasa ibu bagi anak bangsa Indonesia
pada masa kemarin, kini, dan esok.

Bagi anak yang sekarang mulai duduk di bangku sekolah, sistem pendidikan
berbasis bahasa ibu adalah sebuah keniscayaan. Tanpa kehadiran bahasa
ibu, anak akan merasa asing berada di lingkungan pendidikan. Di sana
pendidikan bukanlah arena pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan.
Anak pun akan terganggu perkembangan kognitifnya dan itu yang terjadi
selama ini.

Untuk menghadirkan bahasa ibu, sangat mudah. Misalnya, untuk membuka
mata anak agar melek aksara, janganlah pilih bentuk formal seperti
/menyusu/. Bahasa formal atau standar (nasional) itu diperoleh anak
sebagai bahasa kedua. Gunakan saja bentuk bahasa pertama atau bahasa
ibu, seperti /mimik, nenen, netek/, atau wujud bahasa lokal lain yang
sekarang ada. Untuk itu, tak perlu repot-repot mencari wujud bahasa
(termasuk bentuk ortografis) yang sudah tiada.

Masalah pendidikan berbasis bahasa ibu akan sulit dan rumit jika kaum
primordial masih diberi ruang atau kesempatan untuk mengonstruksi bahasa
ibu sebagai bahasa (warisan) nenek moyang. Di dunia pendidikan, bahasa
ibu itu bahasa si anak didik, bukan bahasa si nenek atau si moyang.
Sangat konyol kalau anak-anak sekarang disuruh kembali berbahasa sama
dengan bahasa kesukuan nenek moyangnya.

Ketika berkeras dengan bahasa ibu dalam konsep bahasa nenek moyang
(bukan bahasa anak sekarang), pendidikan bisa jadi kontraproduktif;
tidak progresif. Pada saat yang sama, dunia pendidikan menantikan
bangkitnya primordialisme. Itu tentu bertentangan dengan semangat
Kebangkitan Nasional 20 Mei ini: sebuah semangat untuk merawat bangunan
jiwa nasionalisme!

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/05/25/Opini/krn.20090525.166120.id.html
Share this article :

0 komentar: