BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Evolusi Muslim Demokrat

Evolusi Muslim Demokrat

Written By gusdurian on Senin, 29 Juni 2009 | 12.26

Evolusi Muslim Demokrat

*Zacky Khairul Umam,* peneliti di Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam,
Universitas Indonesia

Dalam dunia imajiner Barat, Nusantara lama dikenal sebagai negeri
harmonis di tengah perbedaan agama dan budaya. Unik, karena ia negara
dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Ketimbang dunia
Islam-Arab yang mudah gelisah dan saling tuduh, dalam lingkungan Islam
yang damai, Indonesia sungguh menenteramkan.

Kalau ditimbang secara geopolitik, muslim Indonesia tentu relatif jauh
diperhitungkan. Peradaban Barat lama melihat episentrum keislaman ada di
lingkaran Timur Dekat (Proche-Orient) dan Timur Tengah (Moyen-Orient),
di sepanjang semenanjung Mediterania hingga wilayah Asia Tengah. Meski
Islam Melayu sempat mulai dikaji pada abad XIX di Prancis dan Barat
secara umum, ia meredup dan baru mulai dilirik kembali seusai Perang
Dunia II. Itu pun imbas dari kepentingan Barat terhadap rumpun utama
wilayah Timur Jauh (Extrême-Orient) yang kemudian merembet dari Indocina
ke kepulauan Nusantara. Simpulnya, Islam-Indonesia ialah peradaban
pinggiran.

Berkah corak kedamaian itu yang membikin Indonesia penting diperhatikan.
Kendati di tepian, tabiat keagamaan yang sejuk hadir di garis
Khatulistiwa ini. Sementara itu, sang pusat peradaban Arab-Islam terus
gaduh dengan perbedaan dan perebutan kepentingan. Ini tentu sedikit
melegakan. Denys Lombard pernah menulis bahwa tidak ada watak penaklukan
dalam model Islam Nusantara. Alih-alih menerapkan Arabisasi, sifat
kreatif-radikal yang dimiliki Nusantara mampu mengolah keislaman--selain
Hindu, Buddha, dan Cina--menjadi wajah budaya yang teduh.

Maka tak mengherankan jika proyeksi peradaban muslim akan sedikit demi
sedikit bergeser ke tepian, dan mengimbangi yang pusat. Fazlur Rahman
pernah mengatakan hal serupa pada 1980-an. Pemikir Mesir yang hingga
kini jadi eksil ke Belanda, Nasr Hamid Abu Zayd, bahkan pernah
bercita-cita ingin mengakhiri sisa hidupnya di musim panen Islam
demokratis: Indonesia. Tapi haruskah bergantung di atas impian? Dan
benarkah model Islam moderat selalu menjadi realitas? Atau bahkan mitos?

*Fase radikal*

Andrée Feillard dan Rémy Madinier dalam /La Fin de l'Innocence/ (2006)
menelaah hal menarik. Kini, menurut mereka, musim semi wajah radikal
sedang berkembang. Dua hal yang gampang dibaca dari fenomena Islam
radikal sejak akhir Orde Baru hingga sekarang ialah penyederhanaan
ideologis dan manipulasi politik. Ia kemudian berkembang menjadi Islam
politik dengan pengkaderan yang terorganisasi yang bertumbuh melalui
pengajaran praktis doktrin negara dan agama. Sekaligus bisa memanfaatkan
wahana kekuasaan untuk merebut pengaruh. Urutannya, setelah tiga kali
pemilu pasca-Reformasi kini, ada yang masih bertahan dalam gerakan
radikal, namun ada pula yang kemudian mengubah diri menjadi Islam
politik yang mengikuti trayek demokratisasi.

Fenomena yang mengarah ke /succomber à la tentation radicale/ (menyerah
kepada godaan radikal) lalu penting diwaspadai. Tak lalu wujud radikal
harus terus mengapung di atas negara kepulauan ini. Fase radikal ini
memang tak mudah dilemaskan. Salah satu unsur yang bisa menjelaskan
ialah arus hilir-mudik jaringan kafilah Islam radikal dari Timur Tengah
ke Indonesia (/Joining the Caravan/, Bubalo & Fealy 2007).

Globalisasi dimanfaatkan betul untuk menyebarkan benih-benih kekerasan
secara lintas-batas. Kalangan muslim radikal sering kali membenarkan
gagasan "benturan antarperadaban" yang ditelan mentah-mentah dan lalu
membangun cara pembelaan diri dengan mempertebal identitas politik.
Seberapa pun mereka mampu menawarkan dunia alternatif ala penafsiran
Islam mereka, namun sifat ketertutupan ideologis telah menutup
kemungkinan untuk mengembangkan jembatan antarperadaban. Alih-alih
mematahkan ide bentrokan itu, mereka malah mendukungnya.

Implantasi gagasan dan praksis Islam radikal ke Nusantara tak pernah
berakhir selama lalu lintas informasi dan komunikasi terus menjadi kuat.
Beberapa letupan konflik Islam-Kristen, bom bunuh diri, dan kekerasan
atas nama agama tidak bisa memungkiri hal ini. Tak bisa diprediksi kapan
ia bisa berakhir. Ia bisa mati dan bertumbuh kapan saja. Muslim yang
jatuh pada godaan radikal yang sesungguhnya menawarkan kesemuan itu
semakin menggeser citraan wajah Islam yang damai, moderat, dan toleran.
Di mata sorotan media, jumlah mereka yang kecil bisa mewakili
keseluruhan. Dunia khayali tentang keislaman yang tenteram pun luruh;
Indonesia sama saja dengan belahan dunia Islam lainnya.

*Berubah*

Karena itu, proyek demokratisasi yang sedang berlangsung di negeri ini
bisa dijadikan momentum tepat untuk mengembalikan fitrah jalan damai.
Demokratisasi dalam prakteknya bisa melemahkan tawaran Islam politik
menjadi lebih luwes dan berirama dalam sistem yang sebelumnya bahkan
bisa jadi diharamkan. Di dalamnya, semua pihak diperdengarkan, ikut
berpartisipasi, mengemukakan gagasan, dan ikut bekerja dalam skema
kebangsaan. Tentu bukan dalam pemilu yang baru lewat saja, yang
terpenting ialah demokrasi mampu menegaskan jalan Islam kewargaan dan
semakin menyumirkan jalan Islam kekerasan.

Eksperimentasi Islam dan demokrasi yang terus berlangsung ini menjaga
harapan yang baik. Pemikir Swiss yang cucu pendiri Ikhwan al-Muslimun
Hasan Al-Banna, Tariq Ramadan (2008), bilang: "/l'absence de démocratie
appauvrit l'évolution de l'islam/" (ketiadaan demokrasi mengurangi
perkembangan Islam). Itu bisa dibaca bahwa demokrasi merupakan ladang
jihad baru yang paling menjanjikan bagi penyemaian nilai-nilai Islam
yang merahmati.

Jika kini wajah Islam politik semakin banyak berpartisipasi dalam
demokratisasi, sesungguhnya tak perlu dikhawatirkan. Mereka terus
membuka diri terhadap kehadiran "yang lain", dan menyadari bahwa
ketertutupan adalah kematian politik. Islam politik tidak akan
mengurangi kekuatan garda depan Islam Indonesia, NU dan Muhammadiyah,
dalam menyemai keadaban. Mereka adalah jemaah muslim demokrat yang
sedang berjuang untuk keindonesiaan. Dalam konteks itu, mereka akan
memilih apakah akan memperbarui pemahaman keagamaan mereka atau
intoleran sama sekali. Dan pilihan terakhir tampak tidak cocok bertumbuh
dalam ladang demokrasi.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/05/22/Opini/krn.20090522.165863.id.html
Share this article :

0 komentar: