BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kapitalisme Rambut Hitam

Kapitalisme Rambut Hitam

Written By gusdurian on Rabu, 24 Juni 2009 | 12.34

Kapitalisme Rambut Hitam

SALAH satu pernyataan kampanye calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) yang banyak dibicarakan kalangan bisnis adalah penolakannya
terhadap ”kapitalisme rambut hitam”.


Di Kupang, SBY berpidato, ”Kita tidak suka kapitalisme global yang
sering mendominasi. Kita juga tidak mengharapkan ada kapitalisme rambut
hitam yang mendominasi perekonomian di negeri sendiri. Ini penting agar
perekonomian kita lebih adil dan merata,” (14/6/2009).

Pernyataan SBY tersebut mirip dengan pidato cawapresnya, Boediono, pada
deklarasi pasangan ini di Bandung, ”Di awal abad ke-20 Bung Karno di
Kota Bandung ini menyatakan Indonesia menggugat. Waktu itu Indonesia
menggugat penjajahan yang menjadikan negara terbelenggu dan merasa
kerdil. Di awal abad ke-21 ini, Indonesia juga selayaknya menggugat.
Kini yang kita gugat adalah penjajahan oleh kekuatan dari luar dan dari
dalam,” (15/5/2009).

Menarik pula mengaitkan isi pernyataan tersebut dengan apa yang dulu
pernah disampaikan Bung Karno dalam salah satu pidatonya yang sampai
sekarang masih sering dikutip, ”Perjuanganku lebih mudah karena mengusir
penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu
sendiri.” Istilah ”kapitalisme rambut hitam” yang digunakan SBY terasa
lebih eksplisit dibanding istilah ”kekuatan dari dalam”(Boediono) atau
”bangsamu sendiri” (Bung Karno). Karena lebih eksplisit, istilah
tersebut potensial melahirkan pro dan kontra.

Pernyataan tersebut bisa ditafsirkan antipertumbuhan borjuasi
nasional.Padahal,salah satu tujuan pembangunan adalah melahirkan kelas
menengah yang kuat, yang antara lain terdiri atas kelompok pengusaha
yang lebih mandiri.Kelompok pengusaha ini diharapkan menjadi motor
penggerak dinamika ekonomi nasional. Kelompok pengusaha yang mandiri ini
diidealkan menjadi antitesis dari kelompok pengusaha komprador yang
bekerja untuk kepentingan asing.

Mereka inilah yang diharapkan mampu menjadi pengimbang (countervailing
power) terhadap kekuatan imperialis global.Dengan kata lain,kelompok ini
diharapkan menjadi kapitalis sejati yang mengusung kepentingan nasional.
Bahkan konsep besar seperti ”Japan Incorporated” dan sejenisnya, yang
pada intinya merupakan penggabungan komponen kekuatan utama suatu
bangsa,sangat mengandalkan kekuatan borjuasi nasional yang mampu
melakukan akumulasi modal, sehingga tidak tergantung pada kekuatan luar.

Kaum kapitalis adalah mereka yang bekerja dengan keinginan untuk memupuk
keuntungan dan modal secara terus-menerus. Mereka akan melakukan
berbagai cara untuk menjamin terjadinya proses akumulasi modal,bila
perlu, seperti yang pernah diingatkan oleh Adam Smith (1776), dengan
melakukan berbagai praktik bisnis yang tidak sehat.

Itu sebabnya, untuk menjaga kepentingan publik dari dominasi, oligarki,
dan hegemoni kekuatan modal,pemerintah harus berperan secara proaktif
untuk menegakkan aturan main yang tegas dan adil, serta membangun
perangkat kelembagaan yang transparan dan demokratis. Tentu kita
memahami,sebagaimana konteks pernyataan SBY, yang tidak diinginkan
adalah tumbuhnya kaum kapitalis yang berwatak komprador,yang
menghalalkan semua cara untuk mempertahankan dan mengembangkan imperium
bisnisnya.

Jadi, bukan ”konglomerat hitam” yang dulu dipopulerkan oleh Kwik Kian
Gie. Tentu saja harus dipahami,pertumbuhan kelas kapitalis nasional yang
kuat juga membutuhkan peran strategis negara.Badan usaha milik negara
(BUMN) tidak hanya berperan sebagai salah satu pelaku ekonomi yang
terpenting, sebagaimana amanat konstitusi,tetapi juga harus menjadi
tempat persemaian (breeding-ground) tumbuhnya kelas pengusaha baru yang
mampu memanfaatkan peluang-peluang bisnis yang terus bermunculan.

Keberpihakan terhadap pengusaha domestik untuk selang waktu tertentu
merupakan salah satu kebijakan yang harus dilakukan, agar pengusaha
domestik memiliki waktu untuk belajar dan memiliki daya saing minimal
untuk bertahan dalam persaingan pasar terbuka. Upaya untuk terus
menciptakan struktur pasar yang sehat (workable competition) harus
dilakukan, sebab proteksi yang berlebihan tidak akan melahirkan kelas
kapitalis yang tahan banting, sementara liberalisasi berlebihan juga
akan melahirkan tirani dari kekuatan ekonomi yang lebih besar.

Persoalan yang pantas direnungkan adalah,seberapa mungkin pemerintah
tetap mampu menjaga independensi (kedaulatan) dalam interaksi dengan
kekuatan kepentingan lain? Soalnya, kepentingan bisnis tidak jarang
telah jauh menusuk jantung proses pengambilan keputusan politik. Biaya
politik besar dalam pentas demokrasi kita secara tidak langsung
menggambarkan pertarungan sumber-sumber dana politik di balik kontestasi
para calon.

Jika kita percaya dengan pernyataan ”tidak ada makan siang yang
gratis”,maka sesungguhnya kontestasi politik juga menyiratkan terjadinya
rivalitas antarjaringan pengusaha. Bila yang terjadi adalah persaingan
antarbandar,antarsponsor, maka ”kapitalisme rambut hitam” tetap akan
memainkan peran pengendali dan belum akan berlalu hanya dengan sebuah
pidato.***

PROF HENDRAWAN SUPRATIKNO PH.D*
Guru Besar FE UKSW, Salatiga


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/249616/38/
Share this article :

0 komentar: