BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Jangan Ada Dusta di Antara Kita

Jangan Ada Dusta di Antara Kita

Written By gusdurian on Rabu, 24 Juni 2009 | 14.40

Jangan Ada Dusta di Antara Kita

Menjelang digelarnya pilpres langsung,8 Juli 2009, suhu politik nasional
makin menghangat seiring kampanye yang dilakukan oleh tiap pasangan
capres-cawapres.

Salah satu isu yang menjadi “bahan kampanye” adalah keberhasilan
perdamaian Aceh. Wapres JK yang juga maju ke persaingan sebagai capres
terkesan mengklaim secara sepihak keberhasilan tersebut. Sebagaimana
disampaikan saat kampanye di Banda Aceh belum lama ini di mana JK
mengatakan bahwa dirinyalah yang paling berjasa dalam proses perdamaian
Aceh.“Coba periksa, tidak ada tanda tangan siapa pun kecuali tanda
tangan saya di dalam perjanjian perdamaian Helsinki itu”,katanya.

JK juga menyatakan bahwa Presiden SBY awalnya tak setuju soal partai
lokal. Yang tak kalah pedas, JK mendeskripsikan bahwa Presiden SBY hanya
manggut-manggut saat dilapori soal perkembangan perundingan damai
Aceh.Tak berhenti di situ, JK lalu “menyerang” SBY perihal peran SBY
saat pemberlakuan darurat sipil. Bagi masyarakat awam ataupun elite
politik yang tidak tahu proses, klaim-klaim JK soal perdamaian Aceh di
atas tampaknya menarik dan simpel.Padahal faktanya tak sesederhana itu.

SBY sejak sebelum menjadi presiden dikenal sebagai tokoh yang
menghendaki perdamaian Aceh melalui dialog dan perundingan. Road map
perdamaian Aceh sudah disusun SBY sejak 2001. Pada waktu itu SBY sebagai
Menkopolkam mengusulkan dikeluarkannya instruksi presiden (inpres).
Walau mengusulkan sesuatu yang visioner, SBY tak pernah mengklaim hasil
sendirian. Di matanya, pemerintah itu satu kesatuan dan harus saling
menguatkan.

Akhirnya inpres dikeluarkan oleh presiden dan menjadi jalan baru dalam
pendekatan ke kelompok- kelompok di Aceh.Setelah itu,pada 2002–2003,SBY
berkomunikasi secara intensif dengan tokoh-tokoh GAM,yang anti-GAM, TNI,
dan parlemen. Kegagalan Cessation of Hostilities Agreement (COHA) di era
sebelumnya menjadi catatan bagi SBY dalam merajut damai Aceh di masa depan.

Karena saat itu hanya sebagai Menkopolkam, SBY tak memiliki wewenang
luas. Secara operasional, kegagalan COHA dipengaruhi tidak adanya
dukungan dari pemerintah pusat, TNI, dan parlemen. Ketiga pihak ini
mutlak harus memberikan dukungan karena perannya sangat besar.

Beyond Crisis

Begitu terpilih sebagai presiden pada 2004, SBY memiliki ruang yang luas
untuk menjalankan gaya politiknya dalam mendekati Aceh.Bencana tsunami,
Desember 2004, menjadi faktor tersendiri yang turut memengaruhi jalannya
perundingan. Saat itu konsentrasi pemerintah pusat dan daerah tercurah
pada upaya rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh.

Tak ada orang yang berpikir jauh ke depan pada waktu itu.Namun SBY
berani mengambil inisiatif,bahkan memanfaatkan krisis menjadi peluang.
Dengan keyakinan dan tekad menyatukan kembali rasa persaudaraan dan
kebangsaan, SBY memanfaatkan betul a narrow window of opportunity itu.
Ya, memang bukan sebuah peluang yang langsung datang, melainkan hanyalah
celah kecil. Namun celah itu harus dimanfaatkan, sebab jika tidak akan
hilang ditelan zaman.

Kepercayaan antara TNI dan GAM waktu itu nyaris tak ada. Bahkan
masyarakat awam masih “anti”dengan GAM.Dalam situasi yang sulit, dengan
segala risiko, SBY memutuskan untuk merajut jalur damai baru. Sebuah
jalur yang berbeda dari sebelumnya karena dipenuhi rasa kepercayaan
antarkedua pihak. Hal ini bisa terjadi karena SBY sebelumnya menerapkan
sejumlah langkah simpatik dan nyata.

Dia meminta agar TNI memfokuskan diri pada penanggulangan efek bencana
tsunami dan menghentikan segala bentuk operasi militer terhadap GAM.
Pada saat yang bersamaan,SBY juga mengimbau agar GAM menghentikan
aktivitas perlawanan merekadanmembantusesamakorban. Kontak dengan
komandan militer GAM di Aceh juga langsung dilakukan. SBY berbicara
langsung dengan Muzakkir Manaf untuk mengajak GAM kembali ke pangkuan
ibu pertiwi. Singkat cerita, GAM di Aceh menyerahkan sepenuhnya
perundingan damai kepada pimpinan mereka di Swedia.

Setelah itu, Presiden SBY menyetujui masuknya Crisis Management
Initiative (CMI) pimpinan Martti Ahtisaari sebagai fasilitator. Namun
SBY menggarisbawahi bahwa perundingan nantinya harus frontal dan direct.
Maksudnya, kedua pihak langsung berhadaphadapan di meja
perundingan.Tidak seperti peran HDC saat COHA gagal di masa sebelumnya.
Para petinggi GAM di pengasingan yang sebelumnya kerap bersikap keras
mulai luluh.Mereka melihat ada iktikad baik yang nyata dari Jakarta
untuk mengakhiri konflik bersenjata.

Niat untuk merdeka juga tak lagi menjadi prioritas, terutama setelah
usulan self governmentatau otonomi khusus di bawah NKRI disepakati.
Dalam tujuh kali putaran perundingan, peran SBY sangat nyata.Dia sering
menelepon Wapres JK untuk meminta laporan perkembangan perundingan.
Bahkan SBY juga mengoreksi kata demi kata draf memorandum of
understanding(MoU) sehingga hasilnya dapat diterima kedua belah pihak.
Di sinilah kehati-hatian seorang SBY sebagai seorang pemimpin negara
besar ditunjukkan.

Dia tidak ingin MoU langsung ditandatangani sebelum dipastikan isinya
sesuai dengan kepentingan dan aspirasi rakyat Indonesia. Mengingat draf
MoU seluruhnya ditulis dalam bahasa Inggris, Presiden merasa harus
membaca beberapa kali agar maksudnya tak bias atau meleset. Setiap kata
dalam MoU adalah mengenai kedaulatan negara Indonesia itu sendiri.

Semua Berjasa

Peran JK dalam perundingan damai Aceh hingga terwujudnya MoU tidaklah
kecil. SBY sendiri mengakui hal tersebut.Namun jika JK mengklaim itu
hanya berkat hasil kerja kerasnya, dia sama saja dengan melupakan sejarah.

Jangan ada dusta di antara kita mengingat semua stakeholder di bangsa
ini memiliki sumbangan. Peran paling besar justru dari rakyat Aceh
sendiri karena memberikan dukungan penuh kepada pemerintah. Sebelum
perundingan putaran pertama dilangsungkan, Martti Ahtisaari menelepon
Presiden SBY untuk meminta jaminan keabsahan perundingan atau payung
politik.SBY memberikan dukungan sepenuhnya kepada Martti dan CMI untuk
membantu kedua pihak menemukan kata damai.

Dukungan SBY adalah legitimasi politik yang menentukan jalan tidaknya
perundingan tersebut. Sebagai kepala negara, sokongan SBY ibarat modal
politik formal yang menjadi fondasi tahapan selanjutnya. Dengan
demikian, tak terlalu tepat jika JK menganggap dirinya yang berperan
sendiri. Faktor lain yang membuat perundingan Helsinki berjalan relatif
mulus adalah karena adanya dukungan dari PBB. Sebagaimana pembicaraan
antara SBY dan Sekjen PBB Kofi Annan, apa pun arah perundingan Helsinki,
NKRI adalah harga mati bagi Indonesia.

Dukungan PBB tersebut secara moral berdampak positif bagi tim perunding
dari kedua pihak. Rakyat Aceh tidak menutup mata atas kerja keras SBY
ini.Pada pemilu legislatif lalu Partai Demokrat menjungkirbalikkan
sejumlah prediksi dengan menyabet suara terbesar, di Aceh sekitar 43%.
Menurut beberapa analis politik di Aceh, kemenangan Demokrat tersebut
merupakan wujud “rasa terima kasih”rakyat Aceh atas kerja keras SBY
selaku Ketua Dewan Pembina Demokrat. Mereka menyadari bahwa tanpa
dukungan Presiden, sebagai pemimpin nasional, perdamaian Aceh yang
dinikmati sekarang mungkin belum akan nyata.

Pengakuan atas prestasi SBY tak hanya datang dari rakyat Aceh. Dunia
internasional melihat perdamaian Aceh sebagai keberhasilan resolusi
konflik yang patut ditiru negara lain. Atas semua prestasi memimpin
Indonesia selama empat setengah tahun, majalah Time menetapkan SBY
sebagai salah satu tokoh berpengaruh di dunia pada 2009. Dia dianggap
sebagai “Pemimpin dan Tokoh Revolusioner” yang mewujudkan perdamaian dan
kesejahteraan secara nyata.

Di kategori tersebut, nama lain yang masuk antara lain Barack Obama,
Edward Kennedy, Gordon Brown, Nouri al-Maliki, dan Hillary Clinton.
Bukan hanya itu, sebelumnya sejumlah penghargaan internasional lain juga
didapat SBY seperti dari International Association of Political
Consultant (IAPC) dan Freedom House.

Intinya adalah, semua capres yang bersaing di pilpres kali ini
seharusnya memaparkan visi dan program nyata yang nantinya akan
dijalankan. Jangan sebaliknya, mengklaim hasil secara sepihak demi
keuntungan pragmatis dan jangka pendek yang tidak mendidik. Jangan ada
dusta di antara kita!(*)

H Sudi Silalahi
Sekretaris Kabinet RI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/249512/
Share this article :

0 komentar: