BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kampanye, Agama Dijadikan Memedi

Kampanye, Agama Dijadikan Memedi

Written By gusdurian on Rabu, 17 Juni 2009 | 14.57

Kampanye, Agama Dijadikan Memedi
Oleh: Abd A'la

*SEMUA* misi agama-agama besar, khususnya Islam, menekankan pada
pengembangan moralitas luhur dalam kehidupan. Agama-agama dihadirkan
untuk pengentasan manusia dari kebiadaban, menuju pencerahan dalam arti
senyatanya.

Melalui agama, manusia dituntut untuk membangun komunikasi secara
vertikal dan horizontal dalam kerangka nilai-nilai moralitas luhur
tersebut. Misal, interaksi antar sesama perlu dikembangkan dalam
kerangka kesetaraan, kasih sayang, keadilan, dan solidaritas kukuh.
Nilai-nilai sejenis juga menjadi perhatian utama agama dalam menuntun
manusia untuk mengolah alam dan kehidupan secara arif.

*Realitas Kontemporer*

Jika kita mau jujur, misi luhur tersebut dewasa ini nyaris terkelupas
dari agama. Gejala keberagamaan yang berkembang kuat adalah keberagamaan
yang kering dari nuansa moral spiritual. Implikasinya, agama tidak mampu
lagi menyejukkan hati manusia, apalagi mendewasakannya, terutama dalam
menyelesaikan persoalan kehidupan dan kemanusiaan. Alih-alih, klaim
kebenaran sepihak dan dogma-dogma dikotomis yang hitam putih menjadi
karakteristik utama.

Fenomena model keberagamaan itu -sampai batas tertentu- tidak bisa
dilepaskan dari sikap dan perilaku sebagian pemuka agama yang
menghadirkan agama tak lebih sebagai memedi untuk menakut-nakuti
manusia. Untuk itu, tafsir-tafsir agama yang sarat dengan ancaman neraka
serta hukum halal-haram mengenai beragam persoalan atau yang serupa
dengan itu menjadi isu dominan dari waktu ke waktu. Doktrin agama
dogmatik yang mengerikan diangkat secara parsial dan lebih dikedepankan
daripada kearifan keagamaan yang memperbincangkan serta menyentuh akar
dan seluk-beluk di balik persoalan.

Dampaknya adalah menguatnya formalisme agama. Di sembarang tempat dan
ranah publik bertebaran simbol-simbol agama yang kaku dan eksklusif.
Keberagamaan itu juga cenderung melakukan /othering/ yang rentan memicu
kekerasan. Nyaris tidak ada satu celah pun di ruang publik yang terlepas
dari cengkeraman simbol agama semacam itu. Namun, di saat yang sama,
kebejatan moral, mulai korupsi hingga kekerasan yang mengatasnamakan
agama, terus membayang-bayangi kehidupan, khususnya di bumi pertiwi ini.

Agama sebagai memedi berpeluang lebih menguat pada saat-saat tertentu
ketika sangat "diperlukan" untuk justifikasi. Saat ini, ketika kampanye
pilpres dihelat, agama bisa dijadikan alat untuk memaksa masyarakat agar
memilih pasangan capres-cawapres tertentu, sebagaimana pula dapat
dijadikan sebagai media untuk menakut-nakuti masyarakat supaya tidak
memilih pasangan capres-cawapres lain. Semua itu sekadar bertujuan
mendulang suara dan meraih kekuasaan sesaat.

*Pengembangan Agama*

Merajalelanya formalisme keberagamaan semacam itu tidak hanya akan
meminggirkan peran luhur agama dalam kehidupan, tapi sekaligus
memberikan peluang lebih besar bagi meruyaknya kekerasan yang
diatasnamakan agama. Agama tidak akan berperan lagi dalam mengembangkan
kehidupan yang lebih beradab dan manusiawi. Karena itu, tugas seluruh
umat beragama, terutama kalangan elite dan pemuka, untuk mengembalikan
agama kepada substansi holistisitas nilai-nilai yang dikandung.

Untuk itu, para elite agama perlu mengakui secara jujur esensi pesan
agama yang dianut, yang seutuhnya bersifat moral. Moralitas paling utama
tentu kebenaran agama itu sendiri. Dari kebenaran agama tersebut, lahir
moralitas agung lain, seperti keadilan dengan segala turunannya,
ketulusan, kesejahteraan, serta kedamaian. Nilai-nilai moralitas
tersebut menjadi kembaran kebenaran agama karena merepresentasikan
kebaikan perenial yang merupakan sisi lain lembaran yang sama.

Pengembalian agama kepada misi yang /genuine/ sangat signifikan. Sebab,
tanpa itu, agama akan menjadi sekadar pembenar bagi paham, ideologi,
fatwa, atau tindakan yang belum tentu memiliki kebenaran sesuai dengan
nilai agama serta belum tentu membawa kemaslahatan bersama.

Dalam konteks Islam, hal tersebut meniscayakan rekonstruksi hubungan
teologi sebagai sumber moral dengan syariat atau fikih sebagai norma
dalam kehidupan. Memodifikasi penjelasan David L. Johnston dalam
/Epistemology and Hermeneutics of Muslim Theologies of Human Rights
/(2007:154), interdependensi antara teologi dan fikih perlu dipertajam
sekaligus dilabuhkan dalam kehidupan.

Dengan demikian, keberagamaan tidak hanya akan terpaku pada pandangan
dikotomis hitam putih, melainkan sanggup menyelami akar persoalan
manusia dan kehidupan serta dapat memberikan tawaran-tawaran solutif
yang tidak rigid maupun sepotong-sepotong. Selain itu, agama diharapkan
tidak dijadikan alat pembenaran kepentingan-kepentingan tertentu yang
sektarian dan sejenisnya.

Melalui itu, keberagamaan yang berkembang bukan lagi sekadar memedi
untuk menakut-nakuti anak kecil. Agama bakal lebih eksis sebagai rujukan
dan pedoman yang menyejukkan serta mencerahkan, bukan hanya bagi
penganut agama masing-masing, tapi juga bangsa dan umat manusia. *(*)*

/*). Abd A'la, pembantu rektor 1, guru besar IAIN Sunan Ampel, Surabaya

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=showpage&kat=7
Share this article :

0 komentar: