Intelektual,Politik,dan Pilpres
Ditanyakan kepada saya, bagaimana sebaiknya posisi intelektual di dalam
tim-tim sukses calon presiden (capres) kita saat ini,apakah patut
ataukah tidak? Tentu saja pertanyaan ini susah, justru karena jawabannya
bervariasi, yakni patut-patut saja atau sebaliknya tidak patut sama
sekali atau setengah patut setengah tidak alias wagu.
Namun, coba marilah kita tarik ke pertanyaan yang barangkali lebih
menarik ke akarnya: bagaimana posisi intelektual dalam politik? Atau,
bolehkah intelektual berpolitik? Namun, makhluk apakah intelektual itu?
Setidaknya apa prasyarat seseorang disebut intelektual atau setidaknya
quasi-intelektual?
Banyak pembahasan mengenai ini,termasuk salah satu pengertian dari situs
internet berikut: an intellectual (from the adjective meaning “involving
thought and reason”) is a person who uses his or her intelligence and
analytical thinking, either in a profession capacity, or for personal
reasons. Saya kira pengertian ini sudah termasuk yang longgar. Bahwa
intelektual adalah orang yang berpikir––walaupun kadang agak rancu juga
apabila mendudukkan intelektual sebagai suatu profesi alias bidang
pekerjaan yang rigid. Intelektual bukan suatu profesi tersendiri karena
setiap orang yang bekerja di sektor apa pun bisa menjadi intelektual.
Dosen saya pengajar mata kuliah sosiologi di
UniversitasIndonesiadulumengibaratkan intelektual ini sebagai “orang
aneh”. Posisinya di gardu ronda kalau bincang-bincang malam hari cerdas
dan mencerahkan, motivasional, dan mampu menjadi faktor pengubah
kehidupan kampung menjadi lebih baik. Berpikir, mencerahkan, dan
mengubah itulah kata-kata kunci pentingnya. Jadi, rupanya intelektual
itu tak sekadar berpikir,justru karena diboboti oleh nilai-nilai.
Dia tak hanya berpikir menciptakan sesuatu titik, tapi lupa memikirkan
dampak dari yang diciptakannya itu. Mungkinkah intelektual bebas nilai?
Mestinya tetap dengan nilai, khususnya nilai kemanusiaan. Karenanya,
intelektual tetaplah harus bekerja untuk membela dan menegakkan
“kebenaran”, bukan “pembenaran”, walaupun tentang dua hal ini terkadang
bedanya setipis kulit bawang.
Menawar Politik
Ketika sang intelektual masuk ke dunia politik, suatu dunia yang boleh
dirambah siapa saja, ia diharapkan mampu untuk berpikir cerdas dan
strategis untuk memenangi sebuah kompetisi politik. Karena itulah sang
intelektual kita ini sesungguhnya sudah menjadi politikus, setidaknya
organ politik yang dibutuhkan pemikirannya agar sang politikus menang.
Itu sah-sah saja.
Namun, bagaimana kalau dikaitkan dengan persoalan etika? Dari sinilah
orang (awam) khawatir, kalau intelektual masuk politik, dikhawatirkan
pekerjaannya hanya akan berkutat pada upaya melakukan
“pembenaranpembenaran”. Ada pandangan klasik yang menegaskan bahwa
intelektual itu seharusnya independen,menyuarakan sesuatu yang lepas
dari kepentingan politik-kekuasaan. Kalau intelektual merambah dunia
politik, larut dalam kompetisi kekuasaan, atau menjadi pembela
penguasa,dia dapat dikategorikan ke dalam apa yang disebut oleh Julien
Benda sebagai “pengkhianatan intelektual” alias la trahison des clercs.
Pandangan Benda itu memang bikin miris kalau didengar para intelektual
politik. Benda seolah membatasi betul agar intelektual itu harus sama
sekali independen, menyuarakan “kebenaran walaupun pahit”, dan lepas
dari motivasi pragmatisme-kekuasaan. Lantas, pandangan demikian dianggap
terlampau ekstrem; posisi intelektual dalam politik pun ditawar dan
dimoderasi, bahwa intelektual tidak perlu risau berpolitik selama,
setidaknya, mampu mewujudkan halhal berikut.
Pertama,yakin pada sesuatu yang diperjuangkannya, Kedua, memperjuangkan
keyakinannya itu dengan etis, baik, fair, dan bermartabat.Ketiga, tetap
mampu menunjukkan kepada publik integritasnya sebagai sosok yang kritis
dan obyektif. Hubungan intelektual, publik, dan politik memang
dekat-dekat saja karena sering bersentuhan.
Intelektual publik, suatu istilah yang diterapkan ke intelektual yang
sering berinteraksi dengan publik, menyampaikan gagasangagasannya secara
terbuka di media massa dan forum-forum publik lain, biasanya terbagi ke
dalam dua kategori, yakni intelektual publik yang “independen”dan yang
jelas identitas atau label politiknya. Gampang cara menelusuri rekam
jejaknya.
Misalnya,A selama ini dikenal sebagai intelektual publik. Kalau namanya
tercantum ke dalam organisasi politik, misalnya menjadi anggota dewan
pakar atau sejenisnya, dia diragukan independensi politiknya.Namun,
biasanya, sang intelektual publik menolak apabila dikatakan tak independen.
Keikutsertaannya sebagai anggota dewan pakar partai A dikatakannya
sebagai partisipasi dan solidaritas biasa saja dan dirinya membiarkan
namanya dipinjam. Di era multipartai yang cair, memang intelektual
publik biasa jadi rebutan partai-partai. Sementara biasanya sang
intelektual permisif saja. Dibutuhkan ya ayo, tak dibutuhkan ya tak
masalah, silakan saja namanya dipajang.
Terbang Ramai-Ramai
Ketika perkembangan dunia politik formal dominan sekali pasca-Orde Baru,
keberadaan intelektual organik (istilah yang dipinjam dari Antonio
Gramsci) yang bergerak di basis-basis civil societysemakin langka.
Intelektual yang bergerak tanpa dukungan kekuasaan, bahkan menegaskan
posisinya yang sering berhadapan dengan kebijakan kekuasaan, memang
harus siap miskin kehidupannya, sepi dari gebyar kegelimangan kekuasaan,
serta merana dalam mempertahankan prinsip. Hal itu secara manis
dirangkum dan dicatat dalam hampir setiap akhir artikel almarhum
dosen-intelektual yang saya kagumi dari Universitas Gadjah Mada Prof Dr
Riswandha Imawan,“Eagle flies alone.” Kalau mau jujur,
intelektualpolitikus, termasuk yang ada dalam tim-tim capres, menemukan
beberapa dilema.
Di antranya, pertama, kesulitan untuk melakukan upaya-upaya
objektivikasi atas kemauan patron politiknya.Kedua, upaya untuk
merumuskan strategi pemenangan kandidat, terkadang terbentur oleh
hal-hal yang terlampau pragmatis di luar kewajaran. Ketiga, ada banyak
hal yang betulbetul membuat reputasinya dipertanyakan: intelektual atau
politikus atau intelektual politik ataukah intelektual yang bekerja di
lembaga independen tetapi memperoleh pesanan proyek pemenangan politik
dari kandidat tertentu.
Terhadap dilema-dilema seperti itu dan dihadapkan pada berbagai benturan
“politik”yang ada, terkadang sang intelektual masih merasakan betapa
dirinya seperti eagle flies alone, justru di tengah gegap gempita
kekuasaan.Namun, karena ternyata “banyak temannya”, khususnya yang
dikenal sebagai intelektual publik lain,dia segera merasa tak terbang
sendiri, melainkan ramai-ramai.
Perlu Berpihak
Terkait dengan judul tulisan ini, perlu ditegaskan bahwa intelektual
perlu berpihak.Bahwa intelektual juga punya hak politik.Karena itu,tidak
dapat dipengadilankan atau dibuat suatu undangundang yang melarang para
intelektual berpolitik.
Yang perlu ditegaskan adalah dimensi kepatutan dan justru hal ini
sangatlah terkait dengan pertaruhan reputasi dan integritas.Apakah ada
di dalam atau di luar kekuasaan, mestinya intelektual memunculkan suatu
makna tersendiri.Tidak larut dalam gebyar kekuasaan bila ikut berkuasa.
Sebaliknya, tetap sabar dalam “penderitaan”dan kesederhanaan kalau tak
ikut berkuasa.
Kalau sudah ikut yang berkuasa kok makin sombong, tak pandai lagi
berempati kepada publik, terlampau larut dalam “pembenaranpembenaran”
yang “membodohkan”, serta sudah jauh dari kilauan pencerahan, dia
semata-mata sudah menjadi abdi penguasa.Aspek pendidikan dan pencerdasan
politik tak boleh dilupakan,tempat di mana-mana biasanya intelektual itu
tetap bersahaja.Dalam wayang, “para intelektual bersahaja” itu justru
ditunjukkan oleh punakawan, pendamping setia tuannya, selalu kritis dan
mengingatkan agar tuannya tidak terlalu “mabuk kuasa” dan semena-mena.
Bahkan kalau tuannya otoriter sekalipun, Togog selaku “intelektual”
terus nyerocosmengkritik.Tugas intelektual adalah bersuara.Mereka adalah
“tukang kritik”dengan caranya masing-masing. Maka,tugas para intelektual
di sekitar capres tak semata-mata memenangkan jagonya, tetapi lebih dari
itu ikut bertanggung jawab dalam merumuskan visi-misi dan program yang
konkret terukur serta menjaga agar kelak kalau terpilih konsekuen dan
konsisten.
Tugas mereka berat. Karenanya tak boleh larut dan berusahalah berpihak
pada “kebenaran”.Yang terakhir itu memang cukup normatif dan
abstrak.Tapi,masak lantas tak ada bedanya antara yang intelektual dengan
yang tidak?(*)
M Alfan Alfian
Universitas Nasional, Jakarta
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/246379/
Intelektual,Politik,dan Pilpres
Written By gusdurian on Jumat, 12 Juni 2009 | 14.10
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar