BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Cincin Emas Rakyat

Cincin Emas Rakyat

Written By gusdurian on Jumat, 12 Juni 2009 | 14.13

Cincin Emas Rakyat

Kemarin diberitakan bahwa anggota DPR akan memperoleh cenderamata
sebagai tanda penghargaan di akhir masa jabatan mereka (2004–2009).


Cenderamata itu akan berupa cincin emas dan anggaran yang disiapkan
untuk keperluan aksesori itu berjumlah Rp5 miliar. Pertanyaan publik
adalah berhakkah mereka memperoleh cincin emas di akhir masa jabatannya?
Pimpinan DPR tentu akan menjawab, seperti biasanya, bahwa cenderamata
itu memang sudah dianggarkan. Masalah kita tentu bukan soal legalitas
dari anggaran itu, tetapi moralitas dari pemberian cincin emas.

Cincin emas adalah lambang dari penghargaan publik pada prestasi,
dedikasi, dan integritas seseorang.Jadi pertanyaan etisnya adalah
layakkah anggota parlemen memperoleh penghargaan itu bila selama lima
tahun ini moralitas parlemen justru jatuh di mata publik? Bukankah
korupsi dan berbagai skandal anggota parlemen justru mendominasi berita
media massa selama ini sehingga publik justru mempertanyakan kapasitas
etis dan etos dedikasi mereka?

Survei internasional tentang persepsi terhadap korupsi (Global
Corruption Barometer) yang dipublikasikan beberapa hari lalu oleh
lembaga Transparansi Internasional memperlihatkan bahwa parlemen kita
adalah lembaga yang dianggap paling korup oleh masyarakat. Tentu saja
persepsi publik tidak jatuh begitu saja dari langit. Terus-menerus mata
publik diarahkan pada parlemen.Yang ditatap adalah perilaku wakil
rakyat, yaitu mereka yang dimandati oleh rakyat untuk memperjuangkan
keadilan.Terutama dalam soal itulah sesungguhnya demokrasi diselenggarakan.

Artinya,menjalankan politik parlemen, khususnya melalui fungsi
legislasi, berarti mengupayakan terjadinya distribusi keadilan bagi
rakyat. Inilah sesungguhnya etika tertinggi parlemen. Ia adalah tempat
demokrasi diolah secara etis dan dari situ hasilnya didistribusikan
secara adil kepada rakyat.

*** Mengolah demokrasi dengan cara etis memerlukan sejumlah prasyarat
berat. Sang anggota parlemen sudah harus memahami prinsip tertinggi dari
politik representasi, yaitu bahwa dia adalah pelayan rakyat. Bahkan
lebih jauh lagi,dia adalah budak dari keadilan. Dengan titik pijak
imperatif inilah anggota parlemen bekerja. Pelayan rakyat berarti dia
hanya bekerja untuk kepentingan dan demi keadilan bagi rakyat. Demi itu,
dia mengabaikan godaan korupsi, kepentingan diri, dan keangkuhan jabatan.

Dipandang dari sudut itu, tuntutan etis adalah primer bagi anggota
parlemen.Perilaku dan pikirannya harus mencerminkan kepedulian
tertingginya kepada rakyat. Kita harus menagih sikap itu dari mereka
karena hanya itu yang menjadi ikatan antara rakyat dan parlemen.Artinya,
parlemen memang hanya didirikan untuk mengolah keadilan sosial. Jadi,
sikap sosial seorang anggota parlemen harus ditampilkan sebagai sikap
publik. Dia harus mampu mengorganisasi kepribadiannya agar mampu
menundukkan arogansinya dalam melayani rakyat.

Masalah fundamental kita harihari ini adalah bahwa instalasi demokrasi
kita tidak dikelola dengan sikap etis yang otentik. Defisit etika publik
secara kasatmata kita saksikan pada kasus-kasus korupsi yang pelakunya
justru adalah anggota DPR yang dimandati untuk berbuat adil. Etika
publik adalah acuan primer untuk mengukur kepekaan keadilan seorang
wakil rakyat. Dalam tuntutan imperatif etis tertinggi, si wakil yang
adalah budak rakyat seharusnya tidak boleh lebih berkuasa dan lebih
makmur daripada rakyat yang adalah tuannya.

Sayang sekali prinsip utama ini tidak dipahami oleh wakil rakyat.
Anggota DPR kita justru menganggap berkedudukan lebih tinggi daripada
rakyat. Dia lupa bahwa dia adalah pengemis suara rakyat pada waktu
pemilu.Jadi bila arogansi kekuasaan datang menggantikan etika
publik,tidak mungkin dapat diharapkan sikap keadilan mengalir dari diri
sang anggota DPR.

*** Tentu kita perlu mengusut lebih jauh penyebab defisit etika publik
ini.Hal pertama yang segera tampak jelas adalah kondisi sistem
kepartaian kita. Partai-partai politik kita memang tidak didirikan atas
dasar kesadaran politik publik. Artinya, partai-partai itu memang bukan
milik rakyat, melainkan milik pendirinya. Jadi, sejak awal sudah
terkandung sifat elitisme dalam kehidupan kepartaian kita. Sifat
elitisme ini tampak jelas dalam struktur kepemimpinan partai: kekuasaan
pendiri partai sangat menentukan. Dengan kata lain, elemen feodalisme
sesungguhnya masih sangat kuat menentukan proses politik dalam partai.

Akibatnya kaderisasi partai tidak berjalan karena kepentingan elitis
para pendiri partai tetap menjadi acuan utama pengambilan
keputusan.Dilihat dari aspek feodalisme internal partai ini, mudah
dipahami bila anggota DPR memang tidak dilatih berempati dengan
kepentingan publik. Kepentingan elite partailah sesungguhnya yang lebih
dilayani ketimbang kepentingan publik. Dengan kata lain, kepekaan pada
keadilan publik memang tidak diajarkan dalam politik partai.Dalam
kondisi semacam inilah perpolitikan koruptif tumbuh.

Artinya,kekuasaan tidak dipahami sebagai alat untuk mendistribusikan
keadilan,melainkan alat untuk mengakumulasi kekayaan pribadi.
Jadi,parlemen tidak lagi dipandang sebagai asosiasi kepentingan publik,
melainkan sekadar sebagai lokasi lobi dan transaksi kepentingan-
kepentingan privat. Soal lain yang berkaitan dengan kondisi koruptif
dari partai dan parlemen kita adalah tidak adanya politik oposisi yang
sesungguhnya.

Politik oposisi yang kita rasakan sekarang lebih sebagai upaya balas
dendam politik dari elite yang kalah dalam pemilu dan bukan sebagai
upaya mencerdaskan publik. Karena itu kita tidak melihat suatu distingsi
ideologi yang ketat dalam praktik oposisi. Artinya, oposisi tidak
dijalankan berdasarkan perbedaan garis perjuangan politik. Itulah
sebabnya kita menyaksikan kerja sama antara dua partai yang sebetulnya
secara ideologis berbeda,tetapi kepentingan kekuasaan telah
menyatukannya demi transaksi politik jangka pendek.

Tidak adanya partai oposisi yang sungguh-sungguh mengambil jarak dari
kekuasaan mengakibatkan politik kita bekerja secara superpragmatis.
Akibatnya, nilai-nilai yang seharusnya menjadi sumber pegangan kebijakan
publik diganti oleh kepentingan- kepentingan tukar-tambah kekuasaan
jangka pendek di antara elite partai. Dengan kata lain, publik dijauhkan
dari pelajaran hak-hak kewarganegaraan dan politik justru dipraktikkan
di dalam pasar gelap kekuasaan.

Selama satu dekade Reformasi ini kita sebetulnya baru memiliki peralatan
untuk menjalankan demokrasi (partai,parlemen,Mahkamah Konstitusi), tapi
belum mempergunakan peralatan itu untuk mendistribusikan keadilan kepada
publik.

*** Kebutuhan kita untuk menjadikan demokrasi sebagai percakapan politik
warga negara memerlukan pegangan etika publik yang kuat.Hal utama yang
kita perlukan sekarang ini adalah pendidikan etika publik bagi anggota
DPR sehingga minimal para wakil rakyat itu mau merendahkan hati di depan
kepentingan publik. Hanya dengan sikap itu dia berhak secara moral
mengenakan cincin emas rakyat di akhir masa pengabdiannya.(*)

Rocky Gerung
Dosen Filsafat Universitas Indonesia


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/246381/
Share this article :

0 komentar: