BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Etika Komunikasi Kasus Prita

Etika Komunikasi Kasus Prita

Written By gusdurian on Kamis, 04 Juni 2009 | 11.38

Etika Komunikasi Kasus Prita

Kemarin (Rabu, 3/6), Prita Mulyasari dibebaskan dari LP Wanita Tangerang
semenjak masuk sel pada tanggal 13 Mei 2009. Sebelumnya dia dimasukkan
sel setelah Kejaksaan Negeri Tangerang menjeratnya dengan Pasal 27 (3)
UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Prita dijadikan tersangka pencemaran nama baik RS Omni
Internasional,Alam Sutera, Tangerang setelah menulis keluhannya lewat
internet. Kalau terbukti bersalah dia diancam dengan pidana hingga 6
tahun penjara. Prita ”beruntung” karena kasus menjadi pusat perhatian
publik. Tak kurang dari 10.000 Facebooker mendukung pembebasannya. Ini
merupakan bentuk solidaritas sosial yang luar biasa.

Sekalipun melalui saluran maya, tak kepalang menimbulkan opini yang
layak diperhitungkan oleh aparat kejaksaan. Apalagi Dewan Pers juga
memberi dukungan kepada Prita. Iklim politik juga berpihak pada Prita.
Setidaknya dua capres tampil menjadi ”pembela” Prita. Beberapa kalangan
menilainya demi citra politik jelang pilpres 8 Juli 2009.

Kemarin siang,Megawati didampingi putrinya, Puan Maharani, Sekjen PDIP
Pramono Anung dan Ketua FPDIP Tjahjo Kumolo membesuk Prita Mulyasari di
LP Tangerang. Adalah capres Jusuf Kalla yang memberi jaminan pembebasan
Prita. Alhasil, sekitar pukul 16.00 atau sejam setelah kunjungan
Megawati pada sekitar pukul 15.00 Prita pun menghirup udara bebas.

Sudah selesaikah urusan Prita? Belum, tentu saja. Pertama, Prita sendiri
hanya dibebaskan dari sel tahanan di LP Wanita Tangerang, tetapi belum
bebas dari status sebagai tersangka. Prita hanya berubah dari status
titipan kejaksaan di dalam sel menjadi status tahanan kota. Bahkan hari
ini Prita rencananya akan menjalani proses sidang di Pengadilan Negeri
Tangerang.

Jaksa Agung sendiri kemarin mengakui bahwa kasus Prita sudah dilimpahkan
ke pengadilan. Menurut Jaksa Agung Hendarman Supandji penahanan Prita
kini menjadi tanggung jawab pengadilan. Kedua, selama Prita––seorang ibu
dengan dua putra—belum dibebaskan dari semua tuduhan, nasib serupa boleh
jadi masih akan mengancam pada Prita-Prita yang lain.

Ancaman hukuman yang dialamatkan ke Prita membuat publik khawatir untuk
menyatakan pendapatnya berkenaan dengan kekecewaannya atas pelayanan
yang diberikan lembaga-lembaga pelayanan umum.Padahal, apatah ada
lembaga-lembaga pelayanan umum sejak sekolah, rumah sakit, transportasi,
perbankan, keamanan, pemerintahan, yang tidak pernah mengecewakan
publiknya?

Mencemarkan Nama Baik?

Seperti banyak diberitakan, Prita ditahan karena dituduh melakukan
pencemaran nama baik terhadap RS Omni Internasional lewat internet.Kasus
ini bermula ketika Prita mengirimkan e-mail sebagai surat pembaca ke
sebuah media dotcomdan kemudian dia kirimkan pula kepada teman-temannya.

E-mail itu berisi mengenai keluhannya terhadap RS Omni Internasional
yang sempat merawatnya. Seperti biasanya, e-mail serupa selalu bergerak
dari satu e-mail ke e-mail dan akhirnya menyebar ke publik lewat
milis-milis. Pertanyaannya, apakah Prita benar-benar melakukan
pencemaran terhadap RS Omni Internasional?

Jika melihat isi e-mailnya berupa surat pembaca di sebuah media dotcom
kemudian kita menganalisisnya dengan metode analisis wacana (discourse
analysis), tampaklah di dalam e-mail-nya itu adalah narasi dalam bentuk
keluhan yang lazim dialami oleh seseorang yang mengalami kekecewaan atas
pelayanan. Dalam e-mail-nya itu Prita hanya menggambarkan pengalamannya
bersinggungan dengan RS Omni Internasional. Isinya adalah keluhan demi
keluhan yang dialami.

Sifat tulisannya pun cenderung deskriptif belaka. Siapa pun akan
melakukan hal sama dengan Prita jika mengalami pengalaman yang kurang
menyenangkan. Untuk sekadar diketahui bahwa analisis wacana (discourse
analysis) adalah sebuah teknik menganalisis naskah (dalam hal ini dalam
bentuk tulisan e-mail yang dibuat Prita) yang bertujuan menemukan “jalan
pikiran” yang terdapat dalam naskah yang dianalisis.

Melalui proses pemaknaan atas bagian demi bagian dari naskah yang
dianalisis dan menghubungkan antarmakna yang timbul dari setiap
bagian,kita selalu analis bisa menyimpulkan “jalan pikiran” yang
dikandung pada sebuah naskah. Tentu saja, setiap pembuatan sebuah naskah
(wacana) seperti dilakukan Prita adalah versi si pembuatnya. Karenanya
kedudukannya merupakan versi pembuatnya, ada dua konsekuensi yang mesti
kita pahami bersama.

Pertama, hendaknya sebuah versi wacana dipahami dari sudut pandang si
pembuatnya. Jika yang bersangkutan membuat wacana itu tanpa fakta dan
data, bolehlah dia disebut berbohong bahkan mencemarkan nama baik.
Tetapi jika yang bersangkutan masih mengacu pada fakta dan data, tidak
bisa dikatakan sepenuhnya berbohong, melainkan hanya mengungkapkan data
dan data menurut versinya sendiri.

Itulah yang namanya versi. Justru karena versi itulah terbuka peluang
versi yang lain.Inilah konsekuensi kedua. Hendaknya sebuah versi wacana
dijawab dengan versi lain. Hanya wacana yang fakta dan datanya lengkap
dan akurat itulah yang mesti dimenangkan. Hal ini pula sebaiknya yang
menjadi salah satu acuan dalam proses pengadilan dalam menghakimi wacana
vs wacana.

Memang RS Omni Internasional telah membuat wacana versinya sendiri dalam
bentuk hak jawab beserta iklan.Namun sayangnya langkah hukum masih tetap
diambil.Apa boleh buat,nasi telah menjadi bubur. Masalah telah
berkembang ke mana-mana dan telanjur masuk ke ranah hukum. Sementara
opini publik sepertinya berpihak pada Prita.

Komunitarian vs Libertarian

Benar, sepertinya semua opini publik seakan-akan –karena didukung oleh
media massa—berada di belakang Prita. Dalam mengungkapkan informasi,
Prita diasosiasikan telah melakukan komunikasi dengan prinsip etika
komunitarian. Bahwasanya, apa yang dia sampaikan ditafsirkan sebagai
upaya untuk kepentingan orang banyak.

Coba tengok kalimat pertamanya dalam tulisan e-mail di surat pembacanya
itu: ”Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia
lain.Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat
berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan titel
internasional karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka
semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan.

”Dalam kalimat ini jelas Prita mencoba mewakili kepentingan
publik,kemaslahatan semua orang. Sebagai kebalikan dari etika
komunitarian adalah etika libertarian. Etika ini dipakai oleh mereka
yang mementingkan diri sendiri atau kelompoknya.Kebebasan yang
ditampilkan tak lebih sebagai upaya mengamankan kepentingan sendiri dan
kelompoknya saja.

Salah satu ciri dari penggunaan etika ini dalam berkomunikasi pada
pe-nonjolan individualisme,pada kebersamaan. Kendatidemikian,danmisalnya
masuk ke babak persidangan, di pengadilan kedua belah pihak masih
terbuka menempuh jalan perdamaian. Jika jalan ini yang dipakai,
selanjutnya adalah peluru sanopini; terutama oleh RS Omni Internasional.

Pihak RS berpeluang untuk mengedepankan wacana menurut versinya sendiri
atas kasus yang menimpa Prita. Bila versi RS lebih kuat dalam data dan
fakta ke-timbang versi Prita, niscaya publik mampu menilainya. Kita
tunggu perkembangan selanjutnya.(*)

Ibnu Hamad
Dosen Ilmu Komunikasi
FISIP Universitas Indonesia


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/244212/
Share this article :

0 komentar: