BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Arti Ekonomi Kerakyatan

Arti Ekonomi Kerakyatan

Written By gusdurian on Kamis, 04 Juni 2009 | 11.16

Arti Ekonomi Kerakyatan

*Wahyu Prasetyawan*
PENELITI SENIOR LEMBAGA SURVEI INDONESIA, DOKTOR EKONOMI-POLITIK LULUSAN
UNIVERSITAS KYOTO, JEPANG

Menjelang pemilihan presiden, istilah ekonomi kerakyatan mulai ramai
menjadi bahan perbincangan umum dan diskusi publik. Beberapa kandidat
yang bertarung kali ini menyatakan dirinya sebagai pendukung ekonomi
kerakyatan dengan caranya masing-masing. Ini sebetulnya tanda baik,
karena kini isu ekonomi menjadi tema pokok dalam pemilihan presiden.
Cuma, masalahnya, istilah ekonomi kerakyatan ini cukup membingungkan
karena dipahami secara amat terbatas. Hal itu terjadi karena istilah
ekonomi kerakyatan digunakan sebagai slogan politik yang digunakan untuk
menarik pemilih ketimbang sebagai suatu rumusan paket kebijakan ekonomi
yang utuh. Istilah ekonomi kerakyatan disodorkan oleh para penganjurnya
sebagai paham ekonomi yang berpihak kepada rakyat. Titik. Siapa rakyat
yang dimaksudkan? Mungkin yang dimaksudkan adalah rakyat miskin. Jadi,
ekonomi kerakyatan adalah paham ekonomi yang berpihak kepada rakyat
miskin. Dalam konteks ini, tampaknya istilah ekonomi kerakyatan sengaja
digunakan sebagai tandingan atas ekonomi yang dipersepsikan tidak/kurang
berpihak kepada rakyat miskin. Pertanyaannya: apakah ada kebijakan
ekonomi yang tidak memihak rakyat miskin sehingga perlu muncul istilah
ekonomi kerakyatan?

Pertama-tama dan yang paling penting, istilah ekonomi kerakyatan tidak
dikenal dalam literatur ekonomi dan ekonomi politik. Yang terdapat dalam
pembahasan ekonomi adalah kategorisasi suatu populasi berdasarkan
pendapatannya. Maka, kemudian dikenal adanya masyarakat berpendapatan
tinggi atau kaya dan masyarakat berpendapatan rendah atau miskin.

Kedua, berdasarkan kategori tersebut kemudian dibuat analisis dampak
dari suatu kebijakan ekonomi terhadap masyarakat yang tingkat
pendapatannya berbeda. Hasilnya, dampak kebijakan ekonomi dirasakan
berbeda-beda pada kelompok masyarakat berdasarkan tingkat pendapatan,
gender, dan umur. Bayangkan suatu kebijakan ekonomi dalam bidang
pertanian. Ada dua kelompok petani: yang kaya dan yang miskin. Petani
yang lebih kaya dapat mengadopsi bibit baru dan meningkatkan
produksinya. Dan karena produksi meningkat, harga cenderung turun.
Sementara itu, petani miskin tidak dapat membeli bibit baru sehingga
produksinya tidak bertambah dan pendapatannya tetap atau bahkan
berkurang. Dari contoh ini dapat ditarik kesimpulan suatu kebijakan
ekonomi akan memberikan dampak yang berbeda terhadap dua kategori
masyarakat dengan tingkat pendapatan yang tidak sama.

Bagaimana ekonomi menangani masalah ketimpangan distribusi tersebut?
Yang pasti bukan dengan mengusung ekonomi kerakyatan. Pertumbuhan
ekonomi yang selama ini terjadi tidak mengubah ketimpangan, karena
proporsi manfaat pertumbuhan dirasakan sama oleh masyarakat kaya dan
miskin. Sumber daya masyarakat miskin terbatas, maka tidak mengherankan
jika pertumbuhan ekonomi kemudian lebih banyak dinikmati oleh masyarakat
kaya karena mereka memiliki lebih banyak sumber daya.

Dari kenyataan tersebut kemudian dirumuskan suatu kebijakan ekonomi yang
berpihak kepada masyarakat miskin. Tujuannya, agar kelompok ini dapat
menikmati pertumbuhan ekonomi secara lebih baik dan mereka juga dapat
lebih jauh terlibat dalam aktivitas ekonomi. Inilah yang dikenal sebagai
/pro-poor growth/ (kebijakan pertumbuhan ekonomi yang berpihak kepada
masyarakat miskin).

Asal-usul kebijakan ekonomi ini berawal dari kegagalan pendekatan yang
mengutamakan pertumbuhan dan mengabaikan distribusi. Kebijakan ekonomi
ini dapat dilacak pada 1970-an ketika Chenery dan Ahluwalia mengenalkan
konsep "pertumbuhan dengan pemerataan". Pada 1990-an Bank Dunia
mengadopsi model tersebut dan memberikan nama /broad-based growth/
(pertumbuhan dengan basis yang luas). Dalam World Development Report
yang diterbitkan pada 1990 oleh Bank Dunia, istilah ini tidak pernah
didefinisikan. Hingga akhirnya pada 1990-an, istilah /broad-based
growth/ berubah menjadi /pro-poor growth/. Elemen penting yang saling
terkait dalam pertumbuhan yang berpihak kepada rakyat miskin:
pertumbuhan, kemiskinan, dan ketimpangan. Intinya, kebijakan ini
berupaya mengurangi kemiskinan dan ketimpangan melalui pertumbuhan
ekonomi yang lebih berpihak secara jelas.

/Pro-poor growth/ sengaja dirancang untuk memberikan kesempatan lebih
banyak bagi masyarakat miskin untuk terlibat dan menikmati hasil
pembangunan. Caranya dengan melibatkan masyarakat miskin dalam kegiatan
ekonomi, agar mereka mendapatkan manfaat dari kegiatan ekonomi. Selain
itu, kebijakan ini memerlukan dukungan politik yang kuat karena biasanya
menyangkut sektor publik yang menyedot dana besar seperti bidang
pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, akses kredit atau modal, dan
promosi UKM.

Ambil kebijakan pendidikan sebagai contoh. Pendidikan diyakini sebagai
pilar yang menyokong pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Barro 1995 dan
2000). Namun, untuk Indonesia, pendapat tersebut dapat diperdebatkan.
Hingga kini pertumbuhan ekonomi di Indonesia lebih banyak ditopang
investasi dan konsumsi domestik. Tingkat pendidikan belum terlalu banyak
menyumbang kepada pertumbuhan ekonomi. Kita punya persoalan serius
dengan pendidikan, maka tidak mengejutkan bahwa pendidikan belum banyak
menyumbang kepada pertumbuhan ekonomi. Rata-rata orang Indonesia baru
menempuh pendidikan setara 5,8 tahun. Itu artinya belum lulus sekolah
dasar. Dengan tingkat rata-rata pendidikan yang belum lulus SD, dalam
jangka panjang pertumbuhan ekonomi yang terjadi menjadi amat layak untuk
dipertanyakan.

Kebijakan mendorong pendidikan tidak dapat dinikmati secara cepat.
Program pendirian sekolah secara massif pada 1970-an terbukti memberikan
dampak positif bagi pertumbuhan sumber daya manusia. Untuk setiap
sekolah dasar yang didirikan bagi 1.000 anak, berhasil ditingkatkan
rata-rata tingkat pendidikan dari 0,12 menjadi 0,19 (Duflo 2001).
Peningkatan diikuti peningkatan pendapatan dari 1,5 menjadi 2,7.
Intinya, bertambahnya tingkat pendidikan meningkatkan pendapatan, karena
tingkat pengetahuan dan keterampilan meningkat.

Kembali kepada pertanyaan di atas, apakah ada ekonomi kerakyatan?
Jawabnya jelas, istilah ini tidak dikenal dalam literatur ekonomi. Yang
dikenal adalah /pro-poor growth/. Kebijakan ekonomi akan berpihak kepada
rakyat miskin, jika pemerintah memberikan alokasi lebih banyak dalam
bidang pendidikan dan juga secara khusus menyusun kebijakan pendidikan
bagi masyarakat miskin, sehingga dapat dikatakan pemerintah sudah
mengadopsi kebijakan yang memihak masyarakat miskin. Kebijakan dalam
pendidikan ini akan lebih baik lagi jika didukung oleh kebijakan lainnya
dalam bidang peningkatan nutrisi bagi masyarakat miskin.

Bagi masyarakat miskin, kecukupan nutrisi masih menjadi barang mewah.
Padahal kebutuhan nutrisi yang minimum amat diperlukan agar anak-anak
miskin dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Tanpa nutrisi yang baik,
konsentrasi anak-anak miskin tidak bertahan lama. Kebijakan ekonomi yang
memihak masyarakat miskin mesti dijalankan dengan serius dan bukan
sekadar slogan politik. Bantuan yang sifatnya karitatif tidak akan
banyak membantu pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Negeri ini
membutuhkan kebijakan ekonomi yang berpihak kepada masyarakat miskin
yang komprehensif, karena dua alasan penting: menjaga pertumbuhan
ekonomi jangka panjang dengan meningkatnya kualitas SDM, dan memperkecil
ketimpangan.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/04/Opini/krn.20090604.167130.id.html
Share this article :

0 komentar: