BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Benang Merah Agenda Ekonomi

Benang Merah Agenda Ekonomi

Written By gusdurian on Jumat, 12 Juni 2009 | 14.13

Benang Merah Agenda Ekonomi

Pertarungan agenda ekonomi pasangan presiden dan calon presiden semakin
menarik untuk disimak.Terlebih paham neoliberalisme telah menjadi bahan
berdebatan yang semakin tidak konstruktif.

Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman bahwa siapa pun calon
presiden yang akan terpilih sebetulnya agenda ekonomi telah menanti
untuk segera dilakukan.

Perencanaan Pembangunan

Pembahasan tentang agenda pembangunan ekonomi nasional selalu dimulai
dari Undang- Undang Dasar 1945 yang dijabarkan dalam tiga payung hukum,
yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Jangka Panjang Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) 2005–2025, dan
Peraturan Presiden RI No 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) Nasional tahun 2005–2009.

Peraturan presiden ini merupakan penjabaran visi, misi, dan program
presiden hasil Pemilu 2004 dan tentu saja RPJM 2005–2009 akan segera
diubah dengan RPJM yang baru tahun 2010–2014 setelah pasangan calon
presiden dan wakil presiden terpilih.Sebagai catatan, dalam RPJM
2004–2009 telah ditetapkan 33 tema pembangunan nasional yang terbagi
dalam tiga agenda pembangunan. Pertama, agenda menciptakan Indonesia
yang aman dan damai.

Kedua,agenda menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis.Ketiga,
agenda meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam RPJP 2005–2025
sebetulnya telah disebutkan tahapan dan skala prioritas utama RPJM
2010–2014, yaitu mendorong pertumbuhan ekonomi,menekan angka
pengangguran dan kemiskinan, membangun tata kelola pemerintahan yang
baik,peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), meminimalkan jurang
ketimpangan pembangunan antardaerah, peningkatan nilai tambah ekonomi,
dan menjaga kualitas lingkungan hidup.

Jika diperhatikan, penekanan visi dan misi ekonomi dari pasangan
SBY-Boediono lebih banyak pada sisi pemerintahan yang baik (good
governance).Pasangan Jusuf Kalla-Wiranto lebih menekankan sisi
kemandirian dan kesejahteraan (prosperity) dan pasangan Megawati-
Prabowo fokus pada isu kemiskinan (pro-poor policy). Jika dikaji secara
lebih mendalam, sebetulnya titik berat pembangunan ketiga pasangan calon
sebetulnya saling melengkapi (complementarity objecitves) dan tidak ada
yang dapat berdiri di atas salah satu tujuan/isu dengan mengabaikan
tujuan/isu lain.

Membandingkan visi,misi,dan program ekonomi para calon presiden dengan
RPJM 2010–2014 yang ditetapkan dalam Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2007
tentang RPJP Tahun 2005–2025 sebetulnya tidak memperlihatkan suatu
perbedaan yang mencolok, bahkan dapat dikatakan agenda kerja dalam RPJM
jauh lebih berat dan komprehensif.Sebagai contoh secara tegas RPJM
mengatakan bahwa pembangunan ekonomi tidak hanya pro-growth, pro-job,
dan pro-poor, tetapi juga proenvironment.

Dengan demikian, langkah yang paling penting adalah bagaimana agar visi,
misi, dan program tersebut dapat dicapai secara cepat dan tepat.Dalam
tahap awal,tentu saja, hal ini akan sangat terlihat pada tiga kunci
utama kebijakan. Pertama, komposisi kabinet yang baru dibentuk,
khususnya posisi kementerian keuangan, koordinator ekonomi, perdagangan,
industri, badan usaha milik negara/ BUMN,dan tenaga kerja. Kedua,
pernyataan atas program kerja 100 hari, termasuk dalam hal ini
pernyataan umum atas tujuan-tujuan pembangunan secara umum.

Pernyataan tersebut harus dilengkapi dengan aksi reformasi yang cepat
yang menunjukkan kepada masyarakat dan dunia bisnis bahwa pemerintah
memiliki niat yang kuat untuk meningkatkan perekonomian. Ketiga,
penyiapan rencana pembangunan jangka menengah yang koheren seperti dalam
hal peningkatan kualitas infrastruktur, mendorong nilai tambah ekonomi,
integrasi dengan pasar global, deregulasi di pasar tenaga kerja,
program-program sosial, penyederhanaan prosedur administrasi, serta
memperjelas hubungan pusat dan daerah.

Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan sebetulnya tidak murni ditentukan oleh
pemerintah, tetapi baik pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat dapat
bekerja sama. Kekuatan suara di parlemen dan kemenangan dalam pemilihan
presiden (pilpres) akan menjadi indikator penting bagi kebijakan
pembangunan ekonomi agar berjalan lebih efektif.

Pemerintahan yang kuat jika tidak mendapat dukungan dari parlemen
membuat proses pembuatan peraturan perundangundangan hingga pembahasan
APBN juga akan berjalan sulit.Dengan kata lain, tidak mudah untuk
melakukan langkah reformasi yang signifikan jika tidak ada kesepahaman
antara pemerintah dan DPR. Tidak harmonisnya hubungan antara pemerintah
dan DPR juga akan berdampak besar terhadap kebuntuan dalam menentukan
skala prioritas kebijakan dan lambatnya pengambilan keputusan dalam
masa-masa yang sulit.

Sebagai contoh 10 partai politik melakukan penolakan atas Perppu No 4
Tahun 2008 yang memungkinkan pemerintah dan Bank Sentral untuk secara
bersama-sama memberikan bantuan likuiditas darurat tanpa terlebih dahulu
mendapat persetujuan dari DPR. Alasan penolakan perppu tersebut adalah
akan menimbulkan salah penggunaan dan akan mengurangi pengawasan publik
atas potensi pembayaran terhadap sistem finansial.

Demikian pula pembangunan infrastruktur, khususnya yang berskala kecil
dan bersifat padat tenaga kerja, juga tidak berjalan mudah karena tidak
disetujui oleh anggota DPR yang menilai bahwa kebijakan ini akan
memberikan keuntungan politis bagi pemerintahan berjalan menjelang
pelaksanaan pemilu. Kondisi ketidakharmonisan antara ekonomi dan politik
akan menambah ketidakpastian pasar.

Sebagai contoh relatif panjangnya pembahasan pelabuhan bebas
Batam-Bintan-Karimum (BBK) ataupun kawasan ekonomi khusus membuat minat
investasi ke wilayah tersebut juga tertunda walaupun pada akhirnya UU
pelabuhan bebas (BBK) berhasil diundangkan. Demikian pula, tidak
mengherankan, dalam kondisi fundamental ekonomi yang baik, nilai tukar
dan indeks saham dapat terpengaruh ketika rumor negatif beredar di
pasar. Misalkan ketika pemerintah melakukan suspensi pada saham-saham
tertentu, kebuntuan dalam mendiskusikan stimulus fiskal, defisit
anggaran, subsidi energi ataupun besaran bantalan fiskal.

Visi,misi,dan agenda ekonomi akan diturunkan dalam bentuk program dan
kegiatan. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa skala prioritas
kegiatan pemerintah pusat dan daerah bisa saja berbeda.Hal yang penting
bagi pemerintah pusat belum tentu mendesak untuk daerah. Demikian pula
program pembangunan yang saling tumpang tindih antarinstansi membuat
sumber daya menjadi banyak terbuang. Selanjutnya, dengan banyaknya
kepala daerah yang terlibat kasus korupsi, kegiatan pembangunan menjadi
terhambat.

Belum lagi, banyak pejabat yang menduduki jabatan tetapi tidak memiliki
kemampuan profesional di bidangnya. Kondisi ini jelas membuat
implementasi kebijakan di level daerah menjadi hal yang tidak mudah.
Akhirnya,siapa pun pemenang dari pemilu presiden haruslah mampu
menjalankan pemerintahan secara lebih efektif melalui peningkatan
kualitas birokrasi.

Data menunjukkan, dalam hal indeks efektivitas pemerintahan yang
mengukur kualitas jasa layanan publik (public services), kualitas dari
pegawai negeri dan tingkat independensi dari tekanan politik, kualitas
dari formulasi kebijakan dan implementasi, serta kredibilitas atas
komitmen pemerintah untuk menyatakan kebijakan, Indonesia masih berada
jauh di bawah indeks lima negara ASEAN lain (Singapura, Malaysia, Brunei
Darussalam, Thailand, dan Filipina).(*)

Maxensius Tri Sambodo
Ekonom dan Peneliti LIPI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/246386/
Share this article :

0 komentar: