BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Capres Berlomba Jualan Isu HAM

Capres Berlomba Jualan Isu HAM

Written By gusdurian on Senin, 29 Juni 2009 | 11.57

Capres Berlomba Jualan Isu HAM
Oleh: Mustofa Liem

/"Karena masa lalu gagal menerangi masa depan, benak manusia mengelana
di tengah kabut." (Tocqueville, 1805-1859)/

---

*Tiba*-tiba, isu tentang pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa silam
menjadi jualan dalam kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009. Yang
terbaru mencuat ketika Wiranto, salah seorang cawapres, berkunjung ke
Kantor YLBHI di Jakarta, Rabu (10/6). Saat hendak masuk Kantor YLBHI,
puluhan orang, misalnya Suciwati (istri mendiang aktivis HAM Munir), dan
mereka yang tergabung dalam Ikohi berteriak-teriak, "Adili Wiranto!"

Menariknya, Wiranto justru mendukung upaya pengadilan pelanggaran HAM
masa silam. Wiranto juga mendukung pembentukan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) untuk menyelesaikan pelanggaran HAM. Dalam dialog
yang juga dihadiri Ketua Dewan Pembina YLBHI Toeti Heraty serta pendiri
YLBHI Adnan Buyung Nasution, Wiranto sepakat untuk menyelesaikan beban
masa lalu. Harapannya, tak ada lagi penyakit yang terus merongrong kita
sebagai bangsa.

Lebih menariknya, ketika para capres atau cawapres lain ditanya soal
pelanggaran HAM masa silam, jawabannya nyaris senada dengan jawaban
Wiranto. HAM hanya menjadi bagian dari politik pencitraan untuk merebut
simpati publik alias meraih suara dalam pilpres.

****

Kalau tidak memberikan jawaban seperti di atas, pasangan capres-cawapres
jelas tidak akan laku dalam Pilpres 8 Juli 2009. Apalagi, dalam
pergaulan masyarakat internasional, pemihakan kepada HAM menjadi
pertimbangan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Jadi, jawaban Wiranto
sebenarnya hanya jawaban normatif. Kalau menjadi capres atau cawapres,
boleh jadi kita juga akan memberikan jawaban senada.

Sejak tumbangnya Soeharto pada 1998 hingga Juni 2009 ini, sesungguhnya
penegakan HAM mengalami kemacetan. Para korban HAM dan keluarganya terus
menunggu keadilan dalam rentan waktu sangat panjang dan tak pasti.
Keadilan yang mereka harapkan tak juga kunjung datang.

Macetnya penegakan hukum atas kasus HAM jelas merupakan kegagalan
terbesar bagi bangsa Indonesia. Pada saat yang sama, Argentina atau
Afrika Selatan serta bangsa-bangsa lain sudah bisa menyelesaikan beragam
pelanggaran HAM masa silamnya dalam bingkai rekonsiliasi.

Ini aneh. Sebab, di negeri kita sudah ada regulasi, seperti
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Juga ada
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi yang disahkan Presiden Megawati pada 6 Oktober 2004.
Puncaknya, di negeri ini juga sudah dibentuk Komisi Nasional (Komnas) HAM.

Tapi, mengapa penegakan hukum atas pelanggaran HAM di tanah air tetap
macet, termasuk di era pemerintahan SBY-JK? Penyebabnya, penegakan hukum
harus berhadapan dengan para pelanggar HAM yang notabene merupakan
aktor-aktor negara dan elite politik. Mereka berada dalam institusi
yang, tampaknya, /untouchable/ alias tak tersentuh, seperti militer atau
intelijen.

***

Oleh karena itu, janji-janji capres atau cawapres untuk menegakkan hukum
atas pelanggaran HAM masa lalu jelas hanya merupakan retorika. Sulit
dibayangkan, ketika terpilih, mereka akan berani berhadapan dengan para
aktor pelanggar HAM tersebut.

Penulis memang selalu menekankan, penegakan hukum atas pelanggaran HAM
masa lalu tidak bertujuan untuk melahirkan kebencian baru, tetapi
mewujudkan keadilan bagi korban HAM dalam suatu spirit rekonsiliasi.
Untuk itu, menurut Haryatmoko, pengajar filsafat UI, ada empat tahap
yang harus dilakukan, khususnya oleh presiden atau Wapres terpilih kalau
mereka ingin mengupayakan rekonsiliasi.

/Pertama/, hukum dan masyarakat mengakui adanya pelaku kejahatan dan
korban kejahatan. /Kedua/, keadilan harus ditegakkan, berarti
dilaksanakan retribusi (sanksi hukum) terhadap pelaku dan restitusi
(pemulihan korban). /Ketiga/, ada pemisahan antara pengampunan dan
kepastian hukum. /Keempat/, bila hukum positif tak mampu menjangkau,
penyelesaiannya harus mengacu ke prinsip /epiekeia/ (yang benar dan adil).

Indonesia memang membutuhkan pemimpin baru yang berani menegakkan HAM.
Kalau kita membicarakan penegakan HAM, jangan memaknainya sebagai
pesanan dari Barat atau pihak asing. Sebab, HAM menyangkut martabat
manusia sendiri.

Akhirnya, sebagai bangsa, kita perlu menuntaskan persoalan HAM masa
silam tersebut demi melapangkan perjalanan kita ke depan. Kita perlu
terlepas dari beban sejarah masa lalu. Dengan terus mencoba lari dari
tanggung jawab alias menciptakan kabut, seperti dikatakan Tocqueville,
negeri ini akan susah menggapai masa depan yang cerah. Jadi, jangan
berjualan isu HAM atau sekadar beretorika. Diperlukan komitmen nyata!

/*). Mustofa Liem, dewan penasihat Jaringan Tionghoa untuk Kesetaraan

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=76522
Share this article :

0 komentar: