Buruh Migran sebagai Tumbal
*Wahyu Susilo Filosofi*
”korban sebagai tumbal” diperlihatkan para petinggi negeri ini saat
merespons kasus-kasus penganiayaan keji yang dialami buruh migran
Indonesia (tenaga kerja Indonesia), terutama pembantu rumah tangga yang
bekerja di luar negeri.
Ilustrasi yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat
merespons kasus Siti Hajar dengan menceritakan perjumpaannya dengan 50
TKI asal Arab Saudi yang di Bandara Soekarno-Hatta ”hanya” ditemukan
tiga TKI bermasalah (detik.com, 11/6/2009) menyiratkan penegasan,
sebenarnya TKI yang menjadi korban (TKI bermasalah) ”hanya sedikit”.
*700 TKI meninggal*
Mengecilkan penderitaan TKI korban penyiksaan, apalagi dengan
angka-angka kuantitatif, dan membandingkan dengan sejumlah besar TKI
yang tidak menjadi korban, sama dengan melegitimasi pengorbanan TKI
sebagai tumbal pembangunan. Tindakan ini yang tidak jauh berbeda dengan
sikap yang selalu mengelu-elukan TKI sebagai pahlawan devisa, tetapi
alpa pada upaya perlindungannya.
Penderitaan Siti Hajar (dan puluhan ribu TKI lain yang mengalami
penganiayaan, pemerkosaan, bahkan berujung kematian) adalah buah
kegagalan kebijakan penempatan TKI yang selama ini lebih berorientasi
pada kepentingan ekonomi ketimbang upaya pemenuhan hak warga negara
untuk bekerja secara aman.
Amat mengherankan dan menyedihkan jika para petinggi negara terus
berdiam diri saat nyawa-nyawa TKI di luar negeri melayang dan
dipertaruhkan dalam kerentanan tanpa perlindungan. Menurut catatan
Satgas Perlindungan WNI KBRI Kuala Lumpur, sepanjang 2008, ada 700 TKI
yang meninggal dunia di Malaysia. Artinya, setiap hari ada dua TKI yang
mati. Catatan kematian ini belum termasuk mereka yang meninggal di
Singapura, Hongkong, dan Timur Tengah. Hingga kini terdaftar 175 TKI
terancam hukuman mati (data Migrant Care, 2009). Penderitaan itu belum
berhenti hingga hari ini. Atau mereka telah memaklumi, ternyata ”hanya”
700 TKI yang mati, masih banyak yang berhasil dan mengalirkan remitansi
sebesar 8,6 miliar dollar AS (atau sekitar Rp 100 triliun) ke Tanah Air.
Kepedulian dan keprihatinan para petinggi negara terhadap nasib TKI
hanya ditunjukkan lima tahun sekali sebagai komoditas politik. Setelah
itu tak ada perubahan kebijakan berarti, sama dengan kebijakan yang
menempatkan TKI sebagai komoditas ekspor nonmigas. Jika kali ini
korbannya Siti Hajar, lima tahun lalu korbannya Nirmala Bonat.
Kasus Nirmala Bonat terungkap pada Mei 2004, waktu yang sama saat para
calon presiden berkompetisi mendulang simpati. Saat itu, semua capres
menyatakan prihatin atas kasus Nirmala Bonat, tetapi tak ada yang peduli
lagi saat persidangan Nirmala Bonat berlangsung maraton selama empat
tahun. Hingga kini Nirmala Bonat belum mendapatkan keadilan sejati.
Meski majikan Nirmala Bonat divonis 18 tahun penjara, vonis itu bisa
dibeli dengan jaminan. Majikan Nirmala Bonat hanya berada di penjara
selama seminggu dan kini bebas dengan jaminan.
*Bukan pelajaran*
Pemerintah Indonesia tidak menganggap kasus Nirmala Bonat sebagai
pelajaran berharga untuk melindungi TKI. Dalam perundingan MoU tentang
penempatan TKI di sektor PRT ke Malaysia yang ditandatangani pada 14 Mei
2006 di Bali, Pemerintah Indonesia sama sekali tidak berkutik pada
kehendak Malaysia. MoU itu memberi keleluasaan bagi majikan untuk
menahan paspor TKI yang bekerja kepadanya.
Inilah salah satu sumber masalah mengapa penganiayaan keji terhadap TKI,
terutama perempuan yang bekerja sebagai PRT, di Malaysia terus
berlangsung. Terjadinya penganiayaan keji terhadap Siti Hajar selama 34
bulan karena paspor Siti Hajar disandera. Dia tak bisa keluar dari
tempat kerja untuk menghindari penganiayaan tanpa membawa paspor.
Peraturan keimigrasian Malaysia amat mudah mengkriminalisasikan
pendatang yang tidak membawa dokumen imigrasi meski warga pendatang yang
melarikan diri itu adalah korban penganiayaan majikan.
Dalam studi penulis terkait perbandingan Indonesia-Filipina tentang
dokumen perjanjian bilateral penempatan buruh migran, ditemukan
perbedaan perspektif mendasar tentang posisi buruh migran. Dalam dokumen
perjanjian bilateral yang dibuat Indonesia bersama empat negara penerima
TKI, tak satu pun pasal mengandung kata protection. Sementara dalam
dokumen perjanjian bilateral Filipina dengan 14 negara penerima buruh
migran, selalu terkandung kata protection, mulai dari pasal perekrutan,
penempatan, serta tanggung jawab negara pengirim dan penerima.
*Sebagai tumbal*
Dalam kebijakan mengantisipasi krisis ekonomi, TKI juga dikorbankan
sebagai tumbal. Alih-alih mengalokasi dana stimulus fiskal sebagai
jaring pengaman TKI yang di-PHK dan keluarga yang ditinggalkan,
pemerintah malah mendorong pengiriman TKI sebanyak mungkin ke luar
negeri agar remitansi kian lancar mengalir ke Indonesia, menggerakkan
ekonomi dan memperkuat keseimbangan fiskal.
Arahan Presiden SBY dalam Sidang Kabinet Paripurna membahas antisipasi
dampak krisis keuangan, 6 Oktober 2008, secara eksplisit meminta
Menakertrans RI menggenjot pengiriman TKI sebanyak mungkin guna meraih
devisa pengaman neraca pembayaran. Hingga 2009, Pemerintah Indonesia
menargetkan perolehan remitansi dari keringat TKI sebesar Rp 168
triliun. Karena itu, dana stimulus fiskal sektor ketenagakerjaan
disiapkan untuk memperlancar arus migrasi tenaga kerja ke luar negeri.
Sebagian besar dialokasikan untuk revitalisasi balai latihan kerja.
Selama Pemerintah Indonesia tetap memperlakukan TKI sebagai komoditas
dan tumbal pembangunan, jangan harap kasus serupa Nirmala Bonat dan Siti
Hajar akan berhenti. Siapa pun presidennya, nasib TKI tak akan berubah
jika hanya mengharap dan menargetkan aliran remitansi dari keringat TKI.
/*Wahyu Susilo* Analis Kebijakan di Migrant Care (Perhimpunan Indonesia
untuk Buruh Migran Berdaulat; Aktivis INFID)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/15/05443129/buruh.migran.sebagai.tumbal
/
Buruh Migran sebagai Tumbal
Written By gusdurian on Senin, 15 Juni 2009 | 14.36
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar