BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Ancaman Plutokrasi

Ancaman Plutokrasi

Written By gusdurian on Senin, 29 Juni 2009 | 11.03

Ancaman Plutokrasi


*Sudar D Atmanto*

Wakil rakyat di Senayan dan anggota Dewan Perwakilan Daerah akan diisi
banyak wajah baru. Mereka umumnya keluarga pejabat pemerintah/pemerintah
daerah atau keluarga tokoh politik. Faktor dinasti politik, kemampuan
pembiayaan, dan popularitas, mereka manfaatkan. Terkait fenomena itu,
sejarawan Inggris, Prof Hugh Seton-Watson (1960), membagi bentuk
pemerintahan menjadi tiga. Pertama, pemerintahan demokrasi yang
dicirikan kekuasaan di tangan rakyat. Kedua, pemerintahan otokrasi yang
dicirikan kekuasaan dipusatkan pada beberapa orang. Ketiga, pemerintahan
plutokrasi, dicirikan kekuasaan dikelola sekelompok golongan berduit.
Dengan sistem demokrasi dan model pemilu legislatif ini, tampaknya
ancaman terwujudnya pemerintahan plutokrasi kian nyata.

Pemilu legislatif dan pemilu presiden-wakil presiden tahun 2009
memerlukan biaya sekitar Rp 47,5 triliun. Selain itu, para caleg dan
capres, dalam kampanye juga harus mengeluarkan biaya. Menurut Business
News (6/5/2009), sepasang capres-cawapres dalam pemilu memerlukan biaya
sekitar Rp 20 triliun. Untuk calon anggota legislatif DPR atau DPD,
dalam kampanye memerlukan biaya rata-rata minimal Rp 500 juta. Bahkan,
beberapa caleg perlu mengeluarkan biaya hingga Rp 2 miliar.

Adapun caleg anggota DPRD provinsi diperkirakan mengeluarkan biaya
kampanye sekitar Rp 300 juta. Untuk calon anggota DPRD kabupaten/kota,
diperkirakan mengeluarkan biaya sekitar Rp 100 juta.

Data KPU menunjukkan, jumlah calon anggota DPR sebanyak 11.219 orang,
calon anggota DPD 1.109 orang, calon anggota DPRD provinsi 32.263 orang,
dan calon anggota DPRD kabupaten/kota 246.558 orang. Dengan demikian,
seluruh jumlah caleg sebanyak 291.504 orang. Dari jumlah caleg itu, jika
dikalikan biaya kampanye yang dikeluarkan oleh tiap caleg, mencapai
sekitar Rp 39.947,75 miliar atau sekitar Rp 40 triliun.

Jika jumlah itu ditambah dengan biaya yang dikeluarkan pemerintah
sebesar Rp 47,5 triliun, jumlah keseluruhan mencapai Rp 87,5 triliun.
Jika ditambah biaya kampanye capres-wapres, biaya keseluruhan akan lebih
dari Rp 100 triliun. Luar biasa.

Sistem pemilu kita, di satu sisi, memberi peluang kepada warga negara
untuk dapat mencalonkan sebagai anggota legislatif. Namun kenyataannya,
hanya para caleg yang mempunyai biaya yang akan mampu berkompetisi.

Sistem demokrasi pemilu kita telah bergeser dari ”demokrasi musyawarah”
menjadi ”demokrasi pasar”. Akibatnya, munculnya fenomena wakil-wakil
rakyat dari kalangan keluarga pejabat pemerintah, keluarga politisi
lama, pengusaha, dan artis- selebritis. Akibatnya, wakil rakyat yang
jadi tidak didukung kapasitas sebagai aktivis dengan pengalaman
”kerja-kerja politik” di masyarakat.

*Ancaman plutokrasi*

Robert Dahl dalam Demokrasi dan Para Pengritiknya mengatakan, sistem
demokrasi seharusnya memberikan ruang kepada semua warga untuk
berpartisipasi politik, tetapi kenyataannya sering dikuasai kelompok
berkemampuan (plutokrasi).

Ancaman plutokrasi di Indonesia disebabkan beberapa hal. Pertama, partai
politik pascareformasi gagal mengembangkan paradigma demokrasi model
Indonesia. Yang berkembang adalah pemahaman demokrasi liberal atau
demokrasi pasar.

Kedua, pemerintah dan elite parpol gagal membangun sistem demokrasi
politik nasional yang memberi peluang (affirmative action) wakil
masyarakat bawah di lembaga perwakilan politik.

Ketiga, tidak berkembangnya kekuatan masyarakat dan civil society
organization pascareformasi dalam mendesakkan sistem demokrasi politik
yang mampu mengakomodasi aspirasi masyarakat menengah-bawah.

Sebentar lagi pemilu presiden-wakil presiden dilaksanakan. Presiden
terpilih nanti diharapkan mampu menyusun sistem demokrasi politik yang
mempunyai ciri keindonesiaan, yaitu yang mengakomodasi sistem
keterwakilan politik semua komponen masyarakat, bukan bangunan demokrasi
pasar liberal yang menyisihkan si lemah.

Hasil pemilu legislatif yang menghasilkan wakil rakyat dari kelompok
sosial tertentu harus direspons dengan melakukan komunikasi politik yang
substansial antara presiden terpilih dan pimpinan parpol dengan agenda
utama membangun demokrasi politik yang berorientasi kerakyatan, bukan
liberal-market oriented.

Sudar D Atmanto /Wakil Direktur LP3ES

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/26/04491838/ancaman.plutokrasi
Share this article :

0 komentar: