BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Ritel Modern dan Market Power

Ritel Modern dan Market Power

Written By gusdurian on Selasa, 05 Mei 2009 | 11.43

Ritel Modern dan Market Power


Komisi Pengawas Per-saingan Usaha (KPPU) kembali membidik korporasi ritel asal Prancis, Carrefour, sebagai sasaran tembak.


Carrefour diduga melanggar Pasal 17 ayat 1 dan Pasal 25 ayat 1 huruf a UU No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal 17 berisi larangan melakukan monopoli, yaitu menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang/jasa tertentu. Sementara Pasal 25 berisi tentang penyalahgunaan posisi dominan yang bisa m e r u g i k a n konsumen dan menghalangi pelaku usaha lain masuk ke pasar serupa.

Lewat dua pasal ini K P P U membidik dua hal: pasar pemasok (upstream) dan pasar ritel modern (downs t r e a m ) . Carrefour diduga melakukan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam industri jasa ritel nasional untuk kelas hipermarket dan supermarket.Menurut bukti awal KPPU, pangsa pasar Carrefour di sisi hulu naik dari 44,75% menjadi 66,73%, sedangkan di hilir naik dari 37,98% jadi 48,38%.Itu terjadi setelah Carrefour mengakuisisi Alfamart tahun 2008.

Kasus ini masih dalam penyelidikan awal KKPU (31 Maret–12 Mei 2009). Carrefour terancam denda maksimal Rp 25 miliar.Atas semua tuduhan KPPU, Carrefour membantah hal tersebut. Menurut Carrefour, mengutip riset AC Nielsen, setelah akuisisi Alfamart pangsa di ritel modern menjadi 17% dan pangsa di pasar grosir 6,3%. Sejauh ini ekspektasi masyarakat terhadap KPPU begitu besar dalam mengatasi permasalahan persaingan usaha di bisnis ritel yang disinyalir kian tidak sehat.

Kehadiran peritel berskala besar (hipermarket) seperti Carrefour, Giant, dan Clubstore diyakini mengancam kelangsungan hidup usaha ritel berskala kecil. Di sisi lain, kehadiran ritel besar juga amat bermanfaat bagi konsumen: tempat belanja yang nyaman, kelengkapan produk dengan harga bersaing, bahkan terkadang lebih murah. Tak aneh bila gerai-gerai hipermarket seperti Carrefour dan Giant atau Hypermart selalu dipadati konsumen.

Sulit memastikan kehadiran hipermarket sebagai pembunuh ritel kecil dan pasar tradisional. R i s e t o l e h SMERU (2006) yang menyigi dampak supermaket pada pasar tradisional perkotaan di Depok dan Bandung menemukan: kehadiran supermarket berdampak signifikan pada penurunan jumlah pegawai pasar tradisional. Sebaliknya, keuntungan pedagang tradisional tak banyak terpengaruh.Kemerosotan kinerja pasar tradisional lebih banyak disumbang masalah internal: kurangnya dana pengembangan usaha, persaingan dengan PKL, infrastruktur yang minim,dan daya beli merosot. Hasil riset ini sepertinya kurang up to date.

Sebab,dalam 3–4 tahun terakhir ekspansi hipermarket demikian pesat. Hipermarket merangsek ke sejumlah penjuru kota, bahkan berdampingan dengan pasar tradisional. Carrefour misalnya, sejak masuk tahun 1998 kini sudah memiliki 60 gerai di 9 kota di Indonesia. Dengan gerai yang banyak dan tersebar,hal itu membuka peluang bagi pemasok melego banyak produknya di gerai-gerai Carrefour.

Terciptalah ketergantungan pemasok terhadap Carrefour. Kondisi ini membuat Carrefour memiliki bargaining power yang besar. Power inilah yang di kemudian hari jadi sumber aneka masalah. Misalnya, Carrefour memaksakan syarat-syarat perdagangan (trading terms) yang kurang menguntungkan, bahkan tidak masuk akal,buat pemasok. Ini pernah terjadi pada 2005. Carrefour memberlakukan aneka syarat perdagangan seperti fixed rebate, listing fee, term of payment, minus margin, regular discount, common assortment cost, opening cost/new store, penalty.

Dari keseluruhan ini, listing fee dan minus margin dianggap amat memberatkan dan merugikan. Listing feemerupakan biaya dalam memasok produk baru ke tiap gerai Carrefour. Ini berfungsi sebagai jaminan bila barang tidak laku. Listing fee hanya diterapkan sekali dan tidak dikembalikan.Besar listing fee berbeda antara pemasok kecil dan pemasok besar. Hanya peritel besar yang bisa menerapkan listing fee. Ada korelasi positif antara listing feedengan kekuatan pasar (market power) peritel (Bloom,Gundlach and Canon, 2003).

Penghasilan Carrefour pada 2004 dari listing feemencapai Rp25 miliar. Listing fee yang semula dimaksudkan sebagai jaminan apabila produk pemasok tidak laku atau sebagai salah satu sarana pendistribusian tempat yang terbatas yang dimiliki peritel, dalam perkembangannya justru dijadikan sebagai salah satu metode untuk mengalihkan keuntungan yang dimiliki pemasok kepada peritel secara tidak langsung.

Listing fee juga bisa menjadi instrumen peritel raksasa untuk menekan peritel berskala lebih kecil yang menjadi pesaing untuk meningkatkan biaya marjinalnya (marginal cost). Minus margin merupakan jaminan pemasok bahwa harga jual produk mereka paling murah. Bila C a r re - four mendapati bukti tertulis pesaingnya dapat menjual produk yang sama dengan harga lebih rendah, Carrefour meminta kompensasi dari pemasok. Ini jadi jaminan produk yang dijual di Carrefour lebih murah ketimbang di tempat lain.

Seperti listing fee, minus margin juga jadi instrumen ampuh menekan pesaing, selain bentuk pengalihan keuntungan pemasok ke peritel. Pada 2004, Carrefour meraih Rp1,9 miliar dari denda minus margin 99 pemasok. Atas praktik ini Carrefour didenda KPPU Rp1,5 miliar. Carrefour dinyatakan terbukti melanggar Pasal 19 huruf a UU No.5/1999. Fakta ini menunjukkan, market power yang dimiliki hipermarket bisa menekan pemasok lewat pendiktean standardisasi.

Lewat standardisasi inilah ritel modern menguasai pasar dengan mempraktikan perjanjian jualbeli tidak fair, membentuk harga kartel, mendepak perusahaan lokal dari pasar, dan membeli komoditas pemasok dengan harga supermurah. Misalnya,Wal-Mart di AS memanfaatkan suplai berlebih untuk mendepak penyuplai lama dan menekan harga pisang dari 1,08 euro (2002) menjadi 0,74 euro (2004).

Akibatnya, petani pisang di Kostarika sebagai penyuplai merugi dan tak bisa membayar buruh dengan upah minimum. Sebab, tiap USD1 harga pisang di Kostarika 57% jatuh ke korporasi, termasuk ritel. Artinya, standardisasi juga bisa merugikan petani. Market power ini makin mekar karena disokong sistem rantai pangan (agrifood chain).

Sistem ini menghubungkan mata rantai sejak gen sampai rak-rak di supermarket tanpa ada titik-titik penjualan.Tidak ada price discovery.Ayam misalnya, mulai dari pembiakan hingga pemrosesan sama sekali tidak melibatkan penj u a l a n . Ayam ini hanya ditukar dengan uang saat muncul di supermarket. Artinya, sektor ini––mulai produksi, perdagangan, pengolahan hingga ritel—tak hanya terindustrialisasi dan mengglobal, tetapi juga terkonsentrasi di tangan segelintir korporasi transnasional.

Berpijak dari fakta ini, penyelewengan market power oleh ritel modern seharusnya jadi batu pijak bagi KPPU buat menyusun guideline yang mengatur permasalahan penerapan tambahan biaya yang memberatkan pemasok. Dengan cara ini, penyalahgunaan market power bisa ditekan.(*)

Khudori
Pemerhati Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/235670/
Share this article :

0 komentar: