BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mewaspadai Papua Memanas Lagi

Mewaspadai Papua Memanas Lagi

Written By gusdurian on Selasa, 05 Mei 2009 | 11.45

Mewaspadai Papua Memanas Lagi
Oleh Chusnan Maghribi

AMUKAN ratusan prajurit Batalyon 751 Sentani, Papua, 29 April 2009, menuntut petinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI) hirau terhadap pemenuhan peningkatan kesejahteraan hidup segenap prajurit. Sebab, ujung amukan (protes) yang bermula dari aksi solidaritas terhadap kematian Pratu Joko itu adalah tuntutan akan pemenuhan peningkatan kesejahteraan prajurit, khususnya mereka yang ditugaskan di Kabupaten Sentani dan Papua, serta segenap prajurit TNI umumnya.

Tak ada pilihan lain bagi pemerintah maupun institusi TNI kecuali memenuhi tuntutan tersebut. Apalagi, suhu politik di Papua akhir-akhir ini memperlihatkan isyarat mau memanas lagi.

Rangkaian tindak kekerasan yang terjadi belakangan ini -mulai teror dan peledakan bom di sejumlah tempat seperti di Jembatan Muara Tani, pembakaran kantor Rektorat Universitas Cenderawasih (Uncen) dan Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Papua, sampai penyerangan terhadap kantor Polsek Abepura maupun satuan Brimob Papua yang menewaskan Briptu Dence Musa serta enam anggota Brimob lainnya luka-luka di Kabupaten Puncak Jaya- merupakan ''percik-percik api'' yang berpotensi ''membakar'' lagi Papua.

Karena itu, pemerintah pusat bersama Pemerintah Daerah Papua maupun Papua Barat (Irian Jaya Barat/Irjabar) harus mewaspadainya sembari bergerak cepat melakukan segala sesuatu untuk mencegah suhu politik khususnya di Provinsi Papua memanas lagi.

Pemerintah sekarang ini perlu segera menempuh sekurangnya tiga langkah untuk mencegah api konflik Papua membara lagi. Pertama, menempatkan pasukan militer di objek-objek vital di seluruh wilayah Papua, mulai gedung-gedung pemerintah dan gedung-gedung sekolah maupun berbagai sarana infrastruktur penting lain sampai objek-objek ekonomi seperti proyek pertambangan emas Freeport di Kabupaten Mimika.

Penempatan kekuatan militer tersebut sangat dibutuhkan setelah aparat kepolisian di sana kerap dijadikan target penyerangan dan diperkirakan tak akan mampu meredam gejolak keamanan yang kelewat serius akibat ulah gerombolan anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM). Berdasar pengalaman masa lalu, anggota OPM selalu menjadikan objek-objek vital tersebut sebagai sasaran penyerangan.

Kedua, mengintensifkan operasi intelijen. Jelas, saat tengara OPM menggeliat melakukan berbagai kekerasan (penyerangan) seperti sekarang ini, dinas intelijen Republik Indonesia dituntut bekerja ekstrakeras, cermat, dan optimal guna menuai hasil maksimal.

Salah satu tugas penting yang mendesak dilakukan intelijen saat ini adalah menyelidiki dugaan keterkaitan kepulangan Nicolaas Jouwe (salah seorang tokoh OPM yang sejak 1965 bermukim di Negeri Belanda) di Papua pada 23 Maret 2009 dengan serangkaian tindak kekerasan belakangan ini.

Penyelidikan dilakukan guna mengetahui apakah Nicolaas berdiri di belakang aksi-aksi kekerasan itu ataukah tidak. Intelijen juga harus ''mengendus'' apakah sekarang ini ada pihak asing yang ikut ''bermain api'' di Papua atau tidak. Intelijen RI harus cerdas membuktikannya.

Ketiga, mengevaluasi dan merevisi kebijakan. Pemerintah Indonesia perlu mengevaluasi kebijakannya -terutama kebijakan otonomi khusus (otsus) yang dibingkai dalam UU Nomor 21 Tahun 2001- untuk Papua. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui sejauh mana UU Otonomi Khusus Papua itu sudah diimplementasikan dan sejauh mana implementasi otsus tersebut telah berdampak positif bagi peningkatan kemajuan, kemakmuran, serta kesejahteraan penduduk asli Papua.

Apakah implementasi otsus selama sekitar delapan tahun terakhir sudah memberikan kontribusi signifikan (efektif) bagi peningkatan kemajuan, kemakmuran, dan kesejahteraan penduduk asli Papua ataukah belum?

Jika ternyata belum efektif, pemerintah pusat maupun Pemda Papua harus melakukan introspeksi objektif sembari bertanya di mana letak kekurangan (kesalahan) implementasi otsus hingga belum memberikan kontribusi maksimal bagi peningkatan kemajuan, kemakmuran, dan kesejahteraan warga pribumi setempat. Setelah itu, pemerintah pusat maupun Pemda Papua dituntut serius melakukan perbaikan-perbaikan demi efektivitas kelanjutan implementasi otsus Papua kelak di kemudian hari.

Itu secepatnya wajib diwujudnyatakan agar tidak lagi terjadi kecemburuan sosial (social incomtemptuous), ketidakadilan ekonomi (economic injustices), serta benturan budaya (cultural shock) hingga makin memperkuat integrasi seluruh wilayah Papua ke dalam pangkuan RI.

Sementara itu, revisi kebijakan -terutama UU No 21/2001 tentang Otsus Papua- dipandang perlu dilakukan guna menyesuaikannya dengan realitas geografis-demografis-politis Papua yang relatif baru setelah Papua -berdasar Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan UU Nomor 45 Tahun 1999 mengenai Pemekaran Papua- dimekarkan menjadi dua provinsi, yaitu Provinsi Papua dan Papua Bagian Barat (Irjabar).

Salah satunya merevisi pasal 1 huruf a agar eksistensi Provinsi Irjabar terakomodasi dalam UU No 21/2001 tersebut. Untuk itu, Majelis Rakyat Papua (MRP) diharapkan mau mengambil inisiatif untuk memfasilitasi pertemuan antara gubernur Papua, gubernur Irjabar, dan DPR Papua guna melakukan rekonsiliasi untuk merevisi pasal-pasal tertentu, sehingga bisa mengakomodasi keberadaan Irjabar.

Jika tidak segera dilakukan revisi, dikhawatirkan hal itu bisa ''dipermainkan'' pihak-pihak yang tidak menginginkan politik dan keamanan di Papua stabil, terutama OPM yang sejak didirikan pada 1964 memang menjadi ''benalu'' yang selalu meresahkan.

Dengan segera melakukan ketiga hal tersebut, diharapkan tengara pemunculan api konflik di Papua sekarang ini bisa cepat diredam, api konflik tidak jadi membara lagi di Bumi Cenderawasih itu.*

*) Chusnan Maghribi, penulis lepas, alumnus Hubungan Internasional Fisipol UMY, tinggal di Jogjakarta

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=67314
Share this article :

0 komentar: